LANGIT ABU – ABU


LANGIT ABU – ABU

Teruntuk
Sahabat Terkasih,
Yang nun jauh disana.

Terimakasih untuk kenangan  manis yang terukir di permukaan  hati yang begitu suci. Terimakasih untuk masa yang indah yang boleh terekam menjadi kepingan nostalgia. Terimakasih untuk semangat dan  tawa yang kita rajut bersama. Namun, dahulu seakan  dongeng pengantar tidur belaka. Diingat hanya untuk selintas menjadi memori samar. Dibawah terang rembulan aku kembali teringat kembali akan bayangmu.
Masih ingatkah kau kepadaku ?
Tidak mungkin kau melupakanku secepat itu, bukan ?
Masih kuingat ketika kau  meratap pilu dan bersedih hati. Daya pikat yang sungguh kuingat melekat di tubuhmu membuatku tersentuh. Kulihat dengan jelas gemetar tubuhmu saat itu. Seketika aku jatuh hati ingin mendekapmu. Memerangkapmu dan menenangkanmu. Menunjukkan kepadamu harfiah kehidupan dan benang – benang takdir yang melingkupi Alam Raya. Kuhibur dan kubawa kau ke lembah sejuta impian. Masih jelas kuingat kau terpesona dengan sangat. Kau antusias dengan cepat. Kau sungguh ingin tahu apa ini dan  apa itu. Tentu saja dengan senang hati aku  memberitahumu. Membinamu dan menatahmu menuju citamu. Ibarat kepompong yang terkungkung kau bermetamorfosa menjadi kupu – kupu indah berwarna. Aku senang melihatmu tumbuh dan terbang menyongsong awan. Aku menatapmu dari kejauhan. Kau bagai bintik kecil yang terbang dengan anggun dibawah bintang – bintang. Kau menari dengan elok dibawah cakrawala. Terkadang kau menertawai ku yang jauh dibawahmu. Senyummu merekah dan sungguh melemahkan jiwaku. Sungguh aku telah kalah oleh kemolekanmu.
Semua berjalan baik pada awalnya. Melihatmu berkembang dengan pesat sudah membahagiakanku. Namun, semakin kau terbang semakin kau menghilang. Entah karena terlampau tinggi kau membumbung atau karena aku yang tidak lagi bisa melihat dengan jelas sosokmu. Kau lebih sering diatas awan dari pada menginjak tanah dibumi. Lambat laun sepi menghantuiku. Dahulu kau sering mengisi hariku atau sekedar berisik mengusik ketenanganku. Tetapi sekarang kau sibuk bermain – main bersama matahari, bulan, dan bintang. Aku sabar, mungkin saja kau butuh keleluasaan. Aku sekedar menikmati sore dimalam  minggu menanti kehadiranmu. Kali saja kau akan pulang untuk menyapaku. Detik berjalan dan waktu berlalu. Kau semakin tinggi dan aku tidak dapat menggapaimu. Dibawah basah  langit abu – abu  aku  mendambakan kehadiranmu selalu. Lengangnya malam kulewati dengan berjaga. Masih memiliki secercah harapan akan kepulanganmu. Terus menerus aku  ulangi penantianku. Setidaknya aku sudah berusaha. Begitu pikirku. Namun akhirnya akupun  sadar kau tidak akan kembali. Seribu tahun lamanya pun aku menanti.
Terlintaslah memori  ketika perjumpaan pertama kita. Ketika kau bersedih karena si buas. Dan aku menyambut tanganmu dan mengajakmu  masuk kedalam kehidupanku. Awalnya aku pikir,  kau pergi  dan lupa jalan  kembali. Namun, akhirnya aku sadar kau pergi setelah luka – luka mu sembuh, ragamu pulih, dan jiwamu  kembali bersih. Kau masih mengharapkan sibuas menerimamu dan menyambutmu di kehidupan  liarnya yang tanpa tujuan. Ternyata aku salah  selama ini. Bukan kau yang salah. Bukan. Semua adalah  karena aku saja yang terlalu bodoh dan menganggap kau memang tulus menerimaku. Padahal banyak yang kukorbankan untukmu. Kuajarkan kau untuk mengenali dirimu dan pulih dari pedihnya lukamu. Kubebat kekecewaanmu dengan  mengajarimu banyak hal. Mulai dari hal remeh – temeh hingga hal besar yang memacu semangatmu untuk menumbuhkan sayap pertamamu. Sering juga aku menghiburmu dengan senandung riang gembira. Banyak Nilai yang kutanamkan dinadimu dan  kualirkan didarahmu. Nilai menghargai semestadan Penciptamu hingga nilai menerima sesamamu. Tetapi semua kau lupakan begitu saja.
Tidak ingatkan kau  aku pernah menyentuhmu dengan lembut dan memberikan kehangatan kepadamu ?
Tidak ingatkah kau sumpah yang kau ikrarkan ketika kau menerimaku menjadi bagian hidupmu ?
Dimana kau ketika aku membutuhkanmu ?
            Sepertinya kau hanya menganggapku sebagai tempat persinggahanmu. Tempat dimana kau datang  ketika kau basah karena hujan. Tempat yang kau tuju ketika rumahmu menolak keberadaanmu. Dan tempat pelarianmu ketika kau kehilangan asa. Sungguh omong kosong. Namun akupun pernah termakan omong kosong itu. Tidak apalah untuk dicurangi lagi. Kembali merasakan duka dan sedih. Serta kembali merasakan nanarnya sakit hati. Tidak apa.  Sudah biasa bagiku dimanfaatkan. diambil manis yang kupunya dan dibuang ketika aku  telah menjadi sepah. Dilupakan dan diinjak orang.
 Kau bukan yang pertama. Kau adalah insan yang kesekian yang telah mengkhianatiku. Bagiku sudah biasa menahan pilu. Semoga kau juga demikian. Karena jika kau kembali menuai ratap, aku  tidak akan datang. Karena aku tidak akan jatuh kepadamu untuk yang kedua kalinya dengan muslihat yang sama.
            Cukup untuk sekedar mengenangmu dan menguraikan  masa lalu. Dimanapun kau berada, kau tetap sahabatku. Seburuk apapun kau dan sebengis apapun perbuatanmu aku tetap RUMAHMU. Ingatlah itu. Aku memang bodoh dan selalu dicurangi. Namun aku adalah teman sejati. Kau pernah mengisi hidupku dan kumateraikan dengan simbol persaudaraan yang hidup. Bagiku,  kau  tetap sahabat. Meskipun, mungkin kau tidak kuberi embel – embel ‘sejati’ . Tentu saja, karena kau tidak lagi di sisi. Lain cerita jika kau bertahan dan tinggal.
Terimakasih yang terakhir kuhaturkan kepadamu. Wahai kau yang diatas awan dan berputar – putar mengitari langit abu – abu. Turut berduka untuk pilihanmu mengecap kenikmatan dunia dan basah oleh hujan sengsara.

Tertanda,
Rumah Biru
Yang pernah jadi tempat persinggahanmu menuntut ilmu.






Desy Melati Lubis
Indonesia
03.11.2017
00.11 A.m


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SUDAHKAH GMKI MENJADI SEKOLAH PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN NILAI – NILAI GMKI ?

REFLEKSI DIRI : PAHLAWAN SAMAR DALAM MEMORIAL

Perkenalan Edisi I