Dean - Carpe Diem (White Edition)
Carpe Diem
Tidak menjadi sebuah alasan bahwa memiliki
seorang pacar harus memiliki faedah dan manfaat. Setidaknya itu bagi Olivee.
Seorang remaja menjelang dewasa yang sedang berpikir keras. Berkali – kali Olivee
mencoba untuk paham arti dari sebuah hubungan dan pentingnya mendalami
perasaan. Namun, sepertinya usahanya sia – sia. Seperti hari ini, Olivee sedang
berkutat dengan novel romansa best seller
yang kabarnya bisa menginspirasi sejuta remaja yang sedang jatuh cinta. Seperti
karakter tokoh utama pria didalam novel itu. Romantis, manis, dan puitis. Tapi
apalah daya, realita sangat jauh dari ekspektasinya. Jika kau memiliki pacar
yang super tegang dan perhitungan, kehidupan percintaanmu tidak akan berjalan
sebagaimana mestinya. Menatap lembaran kertas dengan bosan, Olivee mengetukkan
jarinya gemas.
“Kapan kau akan menyudahi aksi mendongkolmu
kawan?” protes seorang perempuan diseberang Olivee.
Melirik sedikit kearah entitas di depannya, Olivee
kembali memberengut dengan angkuh.
“Sepertinya terlalu banyak membaca cerita
romantis membuatmu kelebihan gula kawan. Sehingga sulit membedakan kenyataan
dan khayalan” sindiran yang tepat sasaran.
“Berhentilah
menggodanya Dean. Jangan memperpanjang daftar dosamu.” Itu suara perempuan
disebelah kiri Olivee.
“Aku tidak punya dosa. Kau tahu aku makhluk suci Lewis. Yeah, kau tahu persis.” Dean
berlagak sombong dan tersenyum miring.
“Suci dalam mimpimu” Lewis menjawab ketus.
Terlibat dalam percakapan tidak penting dan
adu lempar sarkasme. Sepertinya Dean dan Lewis menikmati momen ini. Melupakan Olivee
yang sedang gundah gulana. Hari semakin sore, namun ketiga insan itu sepertinya
tidak begitu peduli. Entahlah karena besok adalah akhir pekan atau karena malas
beranjak untuk pulang. Perdebatan Dean dan Lewis sudah mulai reda namun mendung
di hati Olivee belum kunjung hilang. Ah, sepertinya Olivee harus ingat untuk
meminum obat anti depresi setelah ini.
“Hei Ol. Ayo kita singgah di kedai Mr.
Baconn. Aku sedang ingin makan burger sosis ham keju.” seru Dean,
dengan perut nya yang kelaparan.
“Yeah, sepertinya ide bagus. Penjaga gerbang
tidak akan mengunci kita diluar. Hanya terlambat 30 menit, tidak lebih. Sebentar
saja” Lewis membenarkan ide gila Dean untuk melanggar jam malam.
Olivee sangat maklum dengan versi ‘sebentar’
teman - temannya . Olivee masih enggan untuk berkata – kata, dia hanya
mengangguk dan membereskan sisa – sisa perjuangan mereka. Dean menyebutnya,
‘proyek liburan setelah ujian yang menyenangkan’. Meskipun menangkap belut di
lumpur persawahan dan memberi makan babi hutan bukan termasuk kategori
menyenangkan menurut Olivee. Setidaknya makan siang di kedai nasi Ms. Woana
cukup oke. Makanan disana lumayan enak dan lebih baik dari pada bubur produksi
kantin asrama. Sial bagi Olivee dan Lewis menjadi bagian rencana licik si rubah
bersayap angsa bernama Dean. Tentu saja itu sarkasme. Seingat Olivee yang
mendapatkan detensi untuk membantu pekerjaan penduduk desa adalah Dean dan Nico.
Namun, sungguh tragis, detensi itu berlaku juga untuk Olive dan Lewis. Sebut
saja bakti kepada teman dan pengalihan patah hati. Perjalanan menuju kedai burger cukup hening. Hingga Dean membuka
percakapan.
“Aku sudah tidak tahan lagi. Hei, setidaknya
kau bersuara Ol. Kau membuat kami seperti berbicara dengan batu” Dean masih
saja bersikeras membuat Olivee yang berjalan disampingnya berdecit, paling
tidak sedikit.
“Menyerahlah idiot. Olivee sedang makan hati”
Lewis menambahi.
“Patah hati sayang” Dean membenarkan. Lamat-
lamat langkah kaki mereka menjadi semakin gaduh. Sepertinya seorang lagi bergabung
meramaikan.
“Berhentilah mengoceh nona – nona manis.
Kalian membuat belahan jiwanya Harold semakin cemberut” suara seorang pria dari
arah belakang, mengejutkan Olivee, Dean, dan Lewis.
“Astaga!” ketiganya terkejut dan melonjak
kaget.
Mereka berbalik serempak dan mendapati
seorang makhluk yang tinggi, tengil, dan minta dihajar tersenyum kearah mereka.
Yeah, lebih tepatnya menyeringai. Olivee dan Lewis dengan cepat tersadar,
kemudian menatap menyelidik ke arah entitas didepan mereka. Sedangkan Dean
menatap bingung si sosok misterius dengan mulut terbuka lalu kemudian tertutup.
Kehilangan kata – kata.
“Baik
sekali kau Nico. Ingin mempercepat kami terkena serangan jantung ?” Olivee
geram setengah mati. Baru ini dia berbicara sejak siang tadi, dan kini dia
harus melakukannya dalam keadaan kesal.
“Bisakah
kalian berdua menyelesaikan urusan pribadi di belakang kami ? Aku jadi kesal
melihat kalian berdua.” Lewis dengan sepenuh hati menyalahkan Nico dan mengikut
sertakan Dean kedalamnya.
“Tunggu dulu. Aku salah apa?” Nico membela
diri.
“Pikir saja sendiri. Ayo Lewis aku jadi ingin
makan burger ham keju ukuran jumbo” Olivee
tampak semakin jengah dan bergerak menjauh.
Mempercepat langkah kaki menuju kedai Mr.
Baconn, Olivee dan Lewis tampak kompak. Tanpa peduli Dean yang masih belum
bergeming dan Nico yang masih bingung karena seakan – akan jadi pelampiasan
amarah dua anak perempuan yang mengamuk. Samar – samar percakapan Dean dan Nico
terdengar mengikuti langkah Olivee dan Lewis.
“Berhentilah
menguntitku Nico. Aku sedang tidak ingin berurusan denganmu” Dean menghardik
kasar setelah mendapatkan suaranya kembali.
“Aku tidak menguntitmu, kakiku yang membawaku
ke arahmu. Jadi apa salahku?” membela diri.
“Oke, bilang pada kakimu untuk berhenti
berjalan kearahku sebelum kujadikan kaki brengsek itu menjadi kaki panggang dengan taburan keju” mendesis murka.
“Percayalah Rab. Tubuhku bukan milikku lagi.
Jadi aku tidak bisa sesukaku menyuruh – nyuruh” mencari alasan.
“Pertama. Jangan panggil aku Rab. Dan...”
mendesis dengan ganas.
“Dan?” mengangkat alis dengan angkuh.
“Dan,
Kedua. Katakan kepada pemilik kaki mu
serta anggota tubuhmu yang lain, agar jauh - jauh dariku” semakin murka.
“Haha lucu sekali kau. Seharusnya kau mengatakan
itu ke dirimu sendiri Rab. Kau yang punya kendali penuh.” berbasa – basi.
“Siapa yang punya kendali ? Kau sudah tidak
punya otak? Atau jangan – jangan sudah rusak ?” Dean semakin menggeram kesal.
“Yep, memang. Karena otakku akhir – akhir ini
macet jika dekat – dekat denganmu.” Sesaat hening.
Sepertinya keduanya mencoba untuk memahami
percakapan yang baru saja terjadi. Dari kejauhan hanya terdegar suara Nico yang
mengaduh kesakitan dan Dean yang memaki – maki dengan isi kebun binatang. Olivee
paham betul kedua temannya itu. Paling – paling mereka berdua akan berakhir
dengan detensi lagi minggu depan. Tersenyum miring, Olivee pun bergegas
memasuki kedai didepannya. Lewis hanya geleng – geleng kepala melihat Dean dan Nico
dari kejauhan. Bagaimana mereka bisa begitu bodoh dan tidak menyadari kebenarannya.
Hei, kakek tua yang sudah pikun saja bisa peka dengan hubungan kedua setan bar
– bar itu. Mengapa mereka tidak ? Sudahlah itu bukan urusannya. Lewis pun
memasuki kedai dengan malas. Beberapa menit kemudian Olivee dan Lewis sudah
keluar dari kedai dengan bungkusan besar yang beraroma sedap. Dean dan Nico
sudah lenyap, entah bagaimana caranya. Olivee sudah tahu itu akan terjadi. Tidak sekali dua kali kedua
orang itu menghilang, lalu kembali muncul dengan wajah memerah penuh dendam. Olivee
tidak mau tahu. Suara – suara hewan malam mulai terdengar. Olivee dan Lewis
mempercepat langkah mereka menuju asrama. Setidaknya mereka lebih cepat dari
dugaan awal. Terlambat 28 menit setidaknya lebih baik daripada terlambat 30
menit. Begitu pemikiran Olivee yang sudah dia anggap cukup cerdas. Tetapi
lupakan saja, hari sudah terlampau malam untuk bertindak layaknya seorang
jenius.
.
.
.
Koridor asrama tampak lengang, nyaris seperti
kuburan. Pagi seharusnya menjadi waktu
yang sangat efektif untuk menghirup udara segar dan menikmati keindahan
semesta. Namun, pagi di awal Juni ini tampak lebih menyeramkan dari pada momen
akhir oktober. Hallowen tahun lalu cukup untuk membuat seluruh rambut di tubuh Olivee
meremang. Ingatan yang menyeramkan, persis seperti suasana di pagi ini.
Menapakkan kakinya dengan tergesa – gesa menuju taman belakang asrama, Olivee
tidak ingin membuang waktu. Cukup kemaren saja, Olivee merasa buruk dan patah
hati. Hari ini ia harus mengisi energi dan mencoba untuk berekspresi lebih
cerah. Dedaunan yang berembun di kala pagi adalah pemandangan yang sangat indah
dan menawan hati. Tumpukan semak berwarna – warni di tengah halaman melengkapi
keanggunan taman ini. Tentu saja semak berwarna itu adalah bunga – bunga yang
sedang mekar – mekarnya di musim semi. Lebih tepatnya, bunga – bunga itu adalah
mawar putih atau Rosa Alba yang disebut juga dengan nama White Rose of
York dalam bahasa Inggris. Rosa
Alba cukup populer dikalangan anak perempuan. Selain merupakan jenis mawar yang paling tua dan
hanya berbunga setahun sekali, Rosa Alba
juga mudah sekali ditemukan di taman – taman kota ataupun taman bunga milik
keluarga. Olivee selalu suka pesona Rosa
Alba dan warnanya yang jujur. Yeah, tidak sepenuhnya putih berarti baik ,
namun Olivee paham betul putih melambangkan kesucian dan impian masa depan.
Memikirkannya membuat suasana hati Olivee semakin membaik. Memetik setangkai Rosa Alba kemudian menyelipkannya kedalam
tas kecil yang disampirkan dibahu, Olivee pun duduk dengan tenang di bangku
taman paling pojok dekat dengan tumpukan mawar – mawar yang sedang mekar. Sayup
– sayup suara percakapan terdengar dari arah koridor yang menghubungkan gedung
asrama putri dengan taman. Awalnya Olivee tidak begitu peduli sampai suara itu
menjadi jelas. Sangat jelas, bahkan tanpa harus melihat wajah mereka, olive
tahu siapa yang sedang menuju kearahnya.
“Kau berjalan terlalu cepat Harold.
Aku tertinggal.” Keluh seorak anak perempuan dengan nada kesal.
“Tidak ada yang menyuruhmu berdandan seperti itu untuk
sekedar melihat taman bunga.” Anak laki – laki itu, Harold menanggapi dengan
cuek.
“Kau sudah setuju denganku
untuk datang kesini pagi ini. Bisakah kau sedikit lebih...” omel anak perempuan
itu dengan geram.
“Sedikit lebih apa ? kau
tidak mengharapkanku untuk bertingkah layaknya laki – laki genit kan ?” ikut
mengomel.
Mereka terlibat percakapan
beberapa lama di sudut taman yang bertolak belakang dengan Olivee berada.
Untung saja, mawar – mawar ini menutupi penglihatan Harold dan perempuan itu,
sehingga olive tidak perlu khawatir eksistensi nya akan diketahui. Luar biasa
penasaran dengan apa yang terjadi sehingga membuat olive semakin merangkak
lebih dekat ke sumber suara.
“Jadi langsung saja Liana.
Sebenarnya apa yang hendak kau katakan?” Harold mulai jengah dengan perempuan
yang bernama Liana itu.
Manis, berlesung pipit, dan
tinggi semampai. Sungguh tipe ideal kebanyakan anak laki – laki. Tetapi tidak
dengan Harold. Penampilan Liana tidak berpengaruh signifikan terhadap
pandangannya terhadap perempuan itu. Riasan wajah dan gaun serta heels yang
dikenakannya tidak begitu menggugah selera Harold. Dia lebih suka bau yang
alami dan tidak muluk – muluk. Oh tidak, sekarang Harold ingin muntah karena
mual dengan wewangian yang dikenakan Liana. Mungkin saja Liana berpikir bau
tubuhnya sudah seperti aktris yang top di televisi. Namun, yang benar saja,
parfum menyengat itu juga ada batasnya. Menjauhkan pemikian yang membuatnya
mual, Harold meneruskan perkataannya.
“Kalau memang tidak ada hal
penting lebih baik kita kembali. Aku ada kelas pagi ini.” Harold bergegas untuk
pergi meninggalkan Liana di taman. Sepertinya ia harus ke toilet sekarang. Rasa
mual nya semakin menyiksa.
“Tunggu dulu.” Liana menahan tangan Harold dengan cepat.
“Aku.. err begini...” Liana nyaris
seperti mengguman.
“Apa yang kau katakan? Aku
tidak mengerti.” Harold semakin bingung.
“Begini... aku, aku...” kehabisan
kata – kata.
“Kalau kau memang sedang
sakit gigi sebaiknya kau ke klinik. Aku benar – benar harus pergi.” Harold sangat
kesal.
“Bukan. Aku tidak apa.
Gigiku baik – baik saja. Tapi begini.. aku...” panik dengan segera.
“Aku? Aku - aku apasih ? Sudahlah,
kau kirim pesan saja nanti, kalo memang penting, aku terburu – buru.” Harold
sudah tidak bisa lagi menahan rasa mualnya, ia harus menuntaskan urusannya
dengan toilet secepatnya.
Baru saja beberapa langkah memasuki koridor. Suara
itu menggema.
“Aku menyukaimu!” Liana
berteriak keras sekali.
Begitu keras sehingga
beberapa entitas disekitar mereka berdua, Harold dan Liana, berhenti seketika.
Tupai yang sedang memanjat pohon kenari ditengah taman berhenti untuk mendengar
Liana. Kupu – kupu yang sedang mencuri nektar dari mawar merah di pinggiran
taman juga enggan melanjutkan aksinya. Olivee yang sedang dalam mode memata – matai bak detective profesional juga terperangah. Liana sepertinya sukses
membuat seluruh makhluk hidup jenis apapun di taman menjadi patung dadakan. Hal
itu juga termasuk Harold yang kehabisan kata - kata untuk membalas perkataan Liana.
“Aku.. Sudah lama suka padamu. Sebelum kau
masuk ke sekolah ini aku sudah mengenalmu. Aku tahu kau laki – laki seperti
apa. Kesukaanmu dan yang tidak kau suka. Kebiasaan mu yang normal hingga yang
abnormal. Serta hal – hal kecil seperti kapan kau ke toilet dan kapan kau suka
makan kuaci saat depresi. Aku tahu semuanya.” Liana masih dalam mood yang baik menyatakan perasaannya.
“Tunggu dulu. Caramu mengisahkan tentangku
terlihat mengerikan” Harold bergidik.
“Aku tahu aku mengerikan” Liana
membenarkan.
Olivee hampir saja terbatuk
karena terkejut. Entahlah apa hubungannya, tetapi pengakuan seorang perempuan Bahwa
dirinya mengerikan cukup membuat Olivee terkaget – kaget. Berusaha tetap
bersembunyi Olivee perlahan mendekat dibalik semak semak mawar yang bergitu
rimbun.
“Err kau tahu kan aku sedang
tidak sendiri?” Harold bertanya hati – hati.
“Aku tahu kau dengan
perempuan minim ekspresi yang tampak sombong itu. Tetapi aku tidak bisa berpura – pura tidak suka dengan
mu. Kau tahu aku Harold. Kita berteman sejak kecil. Aku tahu tentang mu
melebihi perempuan itu!” Liana mulai berteriak lagi.
Entah karena depresi atau
karena murka Harold mengungkit – ungkit tentang perempuan sial yang kebetulan
menjadi pacarnya. Yeah tentu saja itu Olivee. Mendengar seseorang menjelek –
jelekkanmu dengan sedemikian rupa dan menyuarakan kebenciannya sepenuh hati
kepadamu, bukanlah hal yang enak didengar. Olivee jadi sakit hati dan ingin
merobek – robek mulut Liana.
“Kau tidak bisa menghina
orang sekehendak hatimu Lil.” Harold menegur dengan lembut, berusaha agar Liana
tenang.
Mendengar percakapan Harold
dan Liana, membuat Olivee sangat amat murka. Jika dipikir – pikir, Harold tidak
pernah memanggil namanya dengan akrab seperti yang dilakukan Harold kepada Liana.
‘Lil’ tentu saja itu nama kecil. Fakta bahwa Harold disukai oleh Liana yang
populer sudah membuat Olivee gundah. Apalagi mengetahui bahwa Liana ternyata
adalah teman masa kecil Harold dan mereka saling bertukar sapa dengan nama
kecil, semakin membuat Olivee marah. Ternyata dugaannya selama ini benar,
sangat benar malahan. Harold punya simpanan, dan Olivee tidak tahu itu.
“Mengapa aku tidak boleh
marah padanya? Dia merebutmu dariku. Aku sudah tidak cukup egois dengan tidak
menjadikanmu pacar sejak dulu. Karena aku tahu kau seperti apa dan ambisimu
untuk menjadi seoarang proffesor yang
sukses. Aku menghargai prioritasmu dan mengkesampingkan perasaanku. Tetapi, kau
malah jatuh cinta dengan perempuan itu dan memutuskan untuk pacaran. Aku tidak
terima.” Liana semakin menggebu – gebu.
“Hei. Kau benar kita telah
berteman lama dan aku tidak membantah bahwa kau punya andil besar dalam
mendukung impianku. Namun, ini tidak ada hubungannya dengan Olivee. Aku suka
padanya, oleh karena itu aku menjadikannya pacar. Well, aku juga suka padamu
tetapi itu dulu ketika kita masih bocah dan belum mengerti suka itu apa dan
sampai mana batas perasaan suka yang kita rasakan. Aku pikir aku suka karena
kau sangat baik padaku Lil. Kau mengerti sifat dan kelakukanku. Kau sudah
seperti saudari bagiku. Tapi jika yang kau maksud suka dalam artian laki – laki
dan perempuan, maaf Lil. Aku tidak bisa.” Harold menjelaskan dengan lugas apa
yang ada dipikirannya, dengan satu tarikan napas.
Olivee yang mendengar
perkataan Harold hanya mematung. Olive tidak pernah membayangkan Harold dapat
berkata – kata dengan penuh perasaan seperti itu. Selama yang Olivee tahu. Harold
adalah orang yang logis dan realistis. Seluruh opini dan teorinya tidak pernah
terkontaminasi unsur emosi. Karena hal itu merepotkan bagi Harold. Menyaksikan
sendiri sisi lain dari Harold yang Olivee tidak tahu, terasa menyakitkan.
Perasaan tertipu dan dikhinati menyelimuti hatinya. Apalagi Harold juga
mengakui ketertarikannya kepada Liana secara terang – terangan tanpa keraguan.
Olivee tidak peduli Harold hanya suka ke pada Liana sebagai saudari. Bagi Olivee,
suka tetaplah suka. Embel – embel seperti suka layaknya saudari, suka layaknya
sahabat, ataupun suka layaknya idola tidak termasuk dalam kamus Olivee.
Perasaan yang semakin campur aduk membuat Olivee memutuskan untuk pergi dari
taman itu. Sepertinya katertarikannya akan Rosa
Alba telah kalah dengan perasaan patah hati yang semakin menjadi. Melangkah
dengan pasti namun berhati – hati, Olivee berbalik arah, memutar melewati taman
ke arah kebun Strowberry. Olivee sudah tidak peduli, dia akan memutari gedung
asrama hanya untuk meninggalkan taman diam – diam, tanpa ketahuan oleh Harold
dan Liana. Rasa letih berjalan kaki tidak akan membuat Olivee pingsan. Pagi itu
menjadi pagi terburuk Olivee sepekan ini. Terus berjalan memutari kebun Strawberry,
menuju ke asrama putri, Olivee menghentak – hentakkan kakinya kesal. Begitulah,
satu lagi hari yang buruk bagi perempuan berkacamata, minim ekspresi, dan punya
penyakit sindrom cemburu berlebih.
.
.
.
Riuh suara yang bercampur
menjadi satu. Saling bertindihan, sehingga membuat siapa saja yang mendengar
keributan itu menjadi dungu. Tidak dapat menangkap pembicaraan yang terjadi.
Terlalu bising. Suara kursi yang derdecit, meja yang bergeser, dan langkah kaki
terburu – buru memenuhi ruangan. Kertas yang berterbangan dari kiri ke kanan.
Coretan – coretan kecil hasil kreasi jenius mulai dibuka satu persatu. Murid
jaman sekarang sangat tahu tempat paling efektif untuk menyimpan contekan.
Dibawah kursi, di dalam laci meja, di dalam sepatu, diselipkan di buku, hingga
yang paling ekstrim di dalam rok maupun celana. Yeah, tidak dipungkiri perilaku
beradab dan biadab maknanya beda tipis. Pergeseran makna secara hakiki terjadi
di milenium ini. Guru yang dihormati telah berubah menjadi guru yang
menghormati. Sekolah yang menjadi pusat pelatihan bakat dan kepribadian telah
berubah menjadi sarang kenakalan dan taman hiburan untuk bermain. Murid yang
seharusnya belajar menimba ilmu berubah menjadi murid yang suka menimba teman
intim. Benar, sangat lucu memang. Tidak terkecuali seorang dari diantara murid
tersebut yang sedang terdiam di sudut paling depan deretan kursi bagian kiri.
Olivee masih berkutat dengan pikirannya. Jika remaja jaman dahulu umumnya
pusing dan dilema memikirkan bagaimana mereka akan hidup di masa depan dan
bagaimana harus mendapatkan nilai pelajaran yang baik. Murid di jaman mileneal
lebih pusing dan dilema karena pertemanan dan percintaan.
“Hei Ol. Kau sudah
mengerjakan soal yang terakhir?” tanya seorang anak laki – laki bertubuh subur
dibelakang Olivee.
Tidak bergeming, Olivee
merasa tidak perlu untuk sekedar menanggapi pertanyaan yang tidak berfaedah.
“Ayolah. Aku lupa membuat
contekan pagi ini. Bantulah aku sekali ini saja.” Masih merengek meminta
pertolongan.
“Tidak bisakah kau tenang Reon?
Aku perlu berkonsentrasi.” Tegur seorang anak perempuan yang duduk di kursi
kanan disebelah Olivee.
“Aku tidak meminta bantuanmu
Dean. Kau kan pelit.” Cibir Reon.
“Berhentilah membuat
keributan Reon, Dean.” Olivee akhirnya angkat suara.
Keramaian ruangan kelas
membuat Olivee jadi malas berpikir. Tulisan acak – acakan di depannya tidak
begitu dia pedulikan. Fakta bahwa saat ini mereka tengah kuis tidak berpengaruh
pada Olivee. Kejadian pagi ini cukup membuatnya kehilangan gairah. Olivee
menyerahkan kertas lusuh dihadapannya kepada Reon yang ada dibelakangnya dengan
malas.
“Kau memang terbaik Olivee.
Aku cinta padamu. Muah.” Reon menggerakan jari – jarinya kebibir, dan memberi
gestur mencium yang menggelikan.
“Uh. Kau membuatku ingin muntah
Reon. Berhenti bersikap seperti laki – laki mesum.” Dean menggerutu.
Kegirangan menerima lembar
jawaban, Reon pun sibuk menyalinkan jawaban milik Olivee. Waktu terus berjalan
dan keributan masih saja tidak berkurang. Tidak lama kemudian bel berdering dan
seluruh isi ruangan berhamburan menuju pintu. Makan siang, tentu saja. Tidak
ada yang ingin melewatkan lasagna di
hari senin. Menu awal minggu memang paling terbaik. Olivee tahu itu. Semoga
saja makanan dapat memperbaiki suasana hatinya menjadi lebih baik. Olivee
berjalan keluar dari ruangan kelas dengan diapit Dean dan Reon. Mereka menjadi
yang paling terakhir keluar dari ruangan.
“Kau tahu Dean ? aku baru
saja membeli barang bagus. Kau pasti iri.” Reon berbangga diri. Ketiga teman
sejawat itu sedang berjalan menuju kantin asrama.
“Paling – paling majalah
dewasa yang ada foto wanita bugil.” Dean terlihat tidak peduli.
“Kau masih membaca itu Reon?”
Olivee curiga.
“Hei. Kalian membuatku
seperti paman – paman mesum.” Reon tidak terima.
“Terserahlah. aku lebih
tertarik dengan sepiring lasagna
dengan taburan mozarella.” Dean
membayangkan makanan kesukaannya.
"Hmm... aku lebih suka
taburan kacang dan saus mayonaise.” Reon
menimbang – nimbang.
“Aku alergi kacang.” Sambung
Olivee.
“Bagaimana jika ditambahkan
kentang dan saus tomat ? kelihatannya lebih enak. Hmm...” Reon mulai berliur.
Ketiga entitas tersebut
sibuk membicarakan menu makan siang. Sesampainya di kantin, mereka mengambil
tempat duduk paling pojok dekat dengan dapur. Entahlah karena memang nyaman
atau karena kebiasaan. Hilir mudik murid yang keluar masuk kantin asrama
menjadi pemandangan yang biasa bagi Olivee. Menatap kearah pintu masuk, Olivee
sibuk dengan pikirannya. Menyibukkan diri menghitung satu persatu murid yang
keluar masuk ruangan makan.
“Aku akan ke dapur saja.
Kalian berdua tunggu disini dan jangan kemana – mana. Aku akan mengurus makanan
kita.” Dean bergegas menuju dapur.
“Pastikan kau mendapatkan
ekstra mozarella di meja kita kawan.” Reon mengedipkan mata nakal kepada Dean.
“Tentu saja sayang. Perutmu
dan perut ku tidak akan kecewa.” Dean menyeringai senang. Olivee menatap
sekilas kelakukan teman – temannya. Tampak tidak begitu berminat.
“Oh. Tentu saja Ol. Perutmu
juga tidak akan kecewa sayang. Aku jamin.” Dean menepuk – nepuk pundak Olivee
dengan bangga dan melenggang pergi. Yeah, makanan memang selalu membuat Dean
mendadak bijaksana dan dewasa. Olivee tidak terlalu memusingkan Dean dan segala
tingkah anehnya. Olivee kembali melanjutkan aksinya.
Lama mengamati dengan
sepenuh hati, Olivee tampak menikmati. Oh, itu James yang baru saja datang
beserta komplotannya. Dua anak laki – laki yang berjalan bersama james tampak
tidak asing. Olivee tidak terlalu ingat nama mereka. James dan teman – temannya
duduk agak jauh dari posisi Olivee.
Makanan dihidangkan masih sepuluh menit lagi. Olivee melanjutkan aktivitasnya.
Dee dan Erm baru saja mengambil tempat di ujung dekat pintu masuk. Dibelakang
mereka segerombolan anak laki – laki menghambur masuk ke kantin . Cukup lama
waktu yang dibutuhkan Olivee untuk menyadari bahwa salah satu dari segerombolan
anak laki – laki itu adalah Harold.
Suasana hatinya menjadi buruk, Olivee pun mengalihkan pandangan dari pintu
masuk. Masih bersikukuh dengan aksi ngambeknya, Olivee pun tidak menyadari
seluruh mata sekarang memperhatikannya.
“Ada apa ?” Olivee tersadar
akan tatapan mengintimidasi teman – temannya.
“Err... kau tidak berencana
makan siang dengan itu kan ?” Reon tampak ragu – ragu.
“Apa yang kalian katakan?
Makan siang apanya?” Olivee semakin bingung.
“Kau mengotori bukumu kawan.”
bisik Dean tampak ngeri.
“Buku ? apa yang kalian...” Olivee
menoleh ke buku yang diletakkan nya di meja. Oh, yang benar saja. “Sejak kapan...?
Oh, menjijikkan.” Olivee mengernyit jijik, melihat buku novel best seller kesayangannya dipenuhi
dengan saus sambal tomat dan bubuk merica.
“Hahaha sepertinya kau butuh
liburan Ol. Kau jadi terlihat mengerikan
karena depresi.” Nasihat Dean.
Olivee menatap bukunya yang
sudah dilumuri cairan berwarna merah pekat dengan bintik – bintik hitam.
Sepertinya kesehatan mentalnya bermasalah karena insiden tadi pagi. Harold
sungguh luar biasa membuat otaknya kacau dan pikirannya melayang bak kepayang.
Begini rupanya rasanya cemburu yang dikolaborasikan dengan patah hati, kepada
seorang laki - laki. Sungguh perpaduan yang mengerikan. Pantas saja dulu ibunya
melarang Olivee untuk pacaran di usia dini. Karena, jiwa serta raga nya akan
kesulitan menahan seluruh gejolak perasaan. Cinta itu rumit, cemburu itu sulit,
dan patah hati itu sakit. Jika dipikir – pikir, ada benarnya juga pepatah ‘jomblo itu bahagia’, tidak perlu
merasakan ledakan perasaan yang memusingkan dan buat sakit kepala.
“Sepertinya aku butuh ke
toilet. Aku jadi mual.” Olivee bergegas membawa buku bertoping sambal merica
miliknya, menuju toilet. Dean dan Reon menatap prihatin.
“Begitulah nak. Mengapa
pacaran itu menyusahkan.” ucap Dean bijak kepada Reon, menatap kepergian Olivee.
“Sarat akan derita dan
berpotensi dukacita.” Reon menambahkan.
“Sukar sekali untuk
merasakan enaknya jomblo bahagia” angguk dean dengan yakin.
“Yeah benar, Menimbulkan
berbagai macam penyakit dan susah buang air besar.” Tambah Reon dengan yakin.
“Apa hubungannya?” Dean
kebingungan.
“Pokoknya rumit lah. Intinya
pacaran itu membawa sengsara.” Reon mengangguk yakin, menyimpulkan.
Di lain tempat, di saat
bersamaan. Olivee mematung di depan cermin di toilet. Pikirannya melayang
kembali pada saat kejadian pagi tadi. Membayangkan wajah Harold yang tersenyum
lembut kepada Liana membuat perutnya semakin mual. Buku bertoping sambal merica
sudah bersarang di tong sampah. Toh, dia akan membeli yang baru. Lama berkutat
dengan bayangannya yang menyedihkan di cermin, Olivee pun membasuh wajahnya
dengan gusar. Apakah dirinya kurang menarik sehingga Harold masih saja punya
banyak pengagum rahasia? Atau bahkan Harold yang terlalu mempesona sehingga Olivee
terdepak dan dapat sisa – sisa klimaks dari kharisma Harold ? mungkin saja.
Semakin berlarut – larut dengan pikirannya membuat Olivee semakin menderta. Olivee
pun memutuskan untuk pergi. Hendak berbalik arah menuju pintu, Olivee
dikejutkan dengan teriakan bernada berat di belakangnya. Insting mengalahkan
kewarasan dan refleks tubuh nya mengalahkan kinerja pikirannya. Diayunkannya
tangannya dengan pasti, dan menerjang tersangka yang mengejutkannya.
Plak !
Suara tamparan yang keras.
Oh, sebenarnya sangat keras. Sejenak hanya keheningan yang tercipta. Mata
bertemu mata. Wajah saling berhadapan. Olivee pun akhirnya tersadar bahwa
seseorang yang menjadi korban malang pukulannya terhuyung dan hampir jatuh ke
lantai. Laki – laki itu berpegangan pada gagang wastafel, terlihat sekali masih
linglung.
“Astaga, kau baik – baik saja?”
Olivee mendadak kalut. Laki – laki dihadapannya hanya terdiam dan memegangi
kepalanya. Olivee takut setengah mati. Apakah tamparan bisa menyebabkan
kematian ? Olivee paranoid sendiri. Jangan – jangan dia akan menjadi tahanan di
usia muda karena tuduhan penganiayaan. Tidak, Olivee masih ingin menikmati masa
remaja dan merasakan sensasi jatuh cinta. Jeruji besi bukan lah pilihan yang
baik untuk tumbuh dewasa. Begitu pikir Olivee.
“Tidak apa – apa. Aku baik –
baik saja.” Laki – laki itu menjawab patah –patah. Masih terlihat kepayahan
untuk berdiri tegak. Sekuat itukah Olivee?
“Err... apa yang kau lakukan
disini?” Olivee memulai dengan hati – hati.
“Uh ? Apa yang kulakukan ? Seharusnya
aku yang bertanya padamu Olivee. Apa yang kau lakukan disni?” tanya laki – laki
itu bingung.
“Tentu saja aku di toilet.
Apa lagi? Apa kau geger otak karena kejadian barusan Willy?” mulai khawatir.
“Maaf ? Di toilet anak laki
– laki?” semakin bingung.
“Apa ? tentu saja ini toilet
anak perempuan. Kenapa kau jadi semakin aneh?” mulai kesal.
“Err... anak perempuan?” Willy
mengulangi pernyataan Olivee dengan mengernyit. Namun tidak lama. Willy paham
situasinya. Mungkin saja Olivee sedang kalut sehingga salah mengira. Yeah bisa
saja. Willy selalu sensitif dengan perasaan manusia. Apalagi tentang Olivee
yang notabenenya adalah rekan satu kelasnya selama hampir setahun belakangan
ini. Willy tahu persis ekspresi perempuan patah hati.
“Halo? Apakah kau
mendengarku?” Olivee melambai – lambaikan tangan di depan wajah Willy. Mencoba
menyadarkan lamunan temannya itu.
“Oh, Tentu saja. Aku
sepertinya salah masuk toilet. Hahaha” Willy mencoba untuk terdengar biasa
saja.
“Lain kali kau harus teliti
melihat tanda pengenal toilet kawan.” Olivee menceramahi.
“Tentu saja Olivee. Tapi kau
tidak perlu menampar sedemikian kuat seperti tadi di lain waktu. Hehe” Willy
mencoba berbasa – basi. Kehilangan bahan pembicaraan.
“Menampar ? Omong kosong Willy.
Aku tidak menamparmu.” Jawab Olivee cuek, mencoba bergurau. Namun, tidak
terkesan humor sama sekali.
“Jadi apa sebutan untuk
tindakan berbahaya mu tadi ? hehe” masih mencoba berbasa – basi.
“Berbahaya ? Kau ada – ada
saja Willy. Aku hanya mengelus pipimu dengan kecepatan tinggi. Tidak sakit sama
sekali.” Mengendikkan bahu santai dan menyeringai.
“Mengelus ? Err.... hehe
tentu saja.” Willy tertawa ragu – ragu.
“Haha tentu saja” Olivee
ikut tertawa, tanpa merasa bersalah.
“ Kalau begitu aku pamit
dulu. Haha, Permisi.” Willy mulai khawatir dengan sikap Olivee dan melenggang
pergi secepat mungkin. Menampar saja diartikan mengelus oleh Olivee. Bagaimana
jika dia benar – benar memukul seseorang. Oh, membayangkannya saja membuat
willi bergidik ngeri.
Olivee menatap kepergian Willy
dengan bingung. Anak yang aneh, begitu pikir Olivee. Membereskan kertas tissue yang
bertebaran, Olivee pun melenggang keluar. Tepat di depan pintu masuk toilet Olivee
berpapasan dengan Erm dan Miran yang sedang bercengkerama.
“Hai Olivee. Sedang apa kau
disini?” sapa erm.
“Oh, Hai. melakukan beberapa
hal. Kalian sendiri, sedang apa?” berbasa – basi.
“Kami ingin ke toilet. Sampai
nanti.” Erm menjawab singkat dan berpamitan pada Olivee. Kedua perempuan itu,
Erm dan Mirand melanjutkan perjalanan mereka dan percakapan mereka yang sempat
terpotong, lalu menghilang di diujung lorong, memasuki toilet perempuan. Olivee
jadi dengki sendiri, kenapa jarak toilet anak perempuan dengan laki – laki
sangat jauh. Merasa seakan – akan melupakan sesuatu Olivee pun semakin merengut
kesal. Hendak berbalik meninggalkan area toilet Olivee melirik sebentar ke
tanda pengenal diatas kepalanya yang tergantung di pintu toilet yang ada
dibelakangnya.
TOILET LAKI – LAKI
Berpikir. Berpikir. Semakin
berpikir. Dan lahirlah kesadaran yang membuahkan hasil yang mengerikan. Olivee
berteriak tanpa sadar dan komat – kamit seperti kesetanan. Demi celana dalam
Proffesor Syafgint ! Dia baru saja mendekam di dalam toilet anak laki – laki
selama hampir satu jam dan baru saja menceramahi Willy yang terang saja sudah
sadar akan ketololannya. Berlari sejauh mungkin dari toilet, Olivee malu bukan
kepalang. Entah kemana tujuannya, Olivee tidak peduli. Jika bisa Olivee ingin
menghilang saja ditelan rawa – rawa.
.
.
.
Waktu kembali bergulir.
Musim pasti akan berlalu. Pergantian suasana sangat cepat terjadi. Segala
sesuatu pasti berubah seiring waktu. Begitu pula dengan pemuda berpostur kecil
yang sedang menatap kelopak sakura yang berguguran tertiup angin dari selatan.
Sesekali terdengar lenguhan napasnya yang tercekat. Gambaran akan kejadian dua
hari yang lalu masih terekam jelas di otaknya. Harold memberengut kesal dan
kembali melemparkan kerikil di tangannya ke tumpukan kelopak sakura di taman
menara timur. Harold masih tidak habis pikir mengapa dari sekian kejadian buruk
yang menimpanya, Olivee harus ikut serta kali ini. Oh tentu saja, siapa juga
yang akan bersantai – santai melihat pacarmu makan berdua dengan orang yang
tidak dikenal. Yeah, sebenarnya bukan sepenuhnya tidak kenal. Hanya saja Harold
berpikir Reon tidak cukup spesial untuk makan berdua dengan pacarnya. Walaupun Reon
adalah sahabat dekat Olivee. Mata Harold menyipit dan perasaannya semakin
buruk. Ingin rasanya Harold melenggang ke asrama putri, menyeret Olivee keluar
dan menyelesaikan drama picisan yang sedang mereka lakoni, “ngambek – ngambek an”. Tetapi, pikirannya
tidak sesederhana itu untuk di lakukan. Harold bukan tipe laki – laki yang suka
merayu apalagi bermanis – manis dengan pacarnya. Bagi Harold hubungan adalah
suatu ikatan sakral dan suci. Jika memang saling mencintai dan saling percaya,
maka jalanilah hari ini dengan baik dan berfokus pada apa yang akan terjadi
detik ini, bukan hanya mencemaskan apa yang akan terjadi di masa yang akan
datang. Sehingga, Harold tidak takut Olivee akan meninggalkannya. Karena Harold
percaya Olivee akan mengerti bahwa hubungan yang mereka jalani adalah berharga
bukan sekedar main – main atau coba – coba. Yeah, berkebalikan dengan Harold. Olivee
adalah tipe yang berpikir jangka panjang. Segala tindakan yang terjadi di hari
ini akan memperngaruhi keadaan masa depan. Perkara kecil hari ini adalah
manifestasi perkara besar di masa depan. Oleh karena itu Olivee rentan untuk
cemas dan khawatir akan hubungan yang mereka jalani. Bagaimana jika orang tua
mereka tidak setuju ? Bagaimana jika suatu saat salah satu dari mereka lambat
laun berubah? Atau bahkan, bagaimana jika Olivee tidak bahagia di masa depannya
dengan Harold ? Harold tahu betul bagaimana pola pikir Olivee. Namun, Harold
menghargai kecemasan – kecemasan dan kegundahan Olivee. Karena bagi Harold itu
adalah wujud dari rasa sayang yang besar dari Olivee kepadanya. Oleh karena
itu, sebisa mungkin Harold mengontrol Olivee di kesehariannya. Agar Olivee
tetap pada jalur yang benar. Tentu saja mencintainya. Harold berpikir Olivee
bisa saja berpindah hati karena pola pikir dan sifat Olivee yang sukar
diprediksi. Sehingga Harold membatasi setiap gerak - gerik Olivee yang terlihat
mencurigakan. Melarang ini dan itu, serta menceramahi Olivee setiap ada
kesempatan. Terlihat tidak adil ? tentu saja tidak bagi Harold. Karena rasa
cinta Harold sudah pasti untuk Olivee. Tidak perlu ada pengawasan yang berarti.
Begitu pikir Harold. Daun terakhir terjatuh bersamaan dengan lamunan Harold.
Musim gugur selalu memiliki kesan yang berarti bagi Harold. Warna-warni musim
gugur merupakan bagian dari proses pohon-pohon mempersiapkan diri untuk
menghadapi musim dingin. Banyak pelajaran yang Harold petik dari musim gugur.
Pohon- pohon yang meranggas daunnya memperlihatkan batas. Setiap manusia pasti
mengalami keterbatasan dan fase jatuh – bangun. Setap manusia pasti mengalami
kegagalan dan kekalahan, sebagai persiapan menuju suatu keberhasilan dan kemenangan.
Begitu halnya dengan suatu hubungan yang sejati akan mengalami fase maju –
mundur. Segala sesuatu membutuhkan pengorbanan. Persiapan menuju sesuatu yang
baik pastilah menyakitkan, begitu pikir Harold. Hal – hal sepele dan tidak
begitu begitu menarik bagi kebanyakan orang adalah bermakna bagi Harold.
Harold bergegas pergi dari
taman. Kelas pada sore hari sangat tidak menyenangkan bagi Harold. Karena
konsentrasi untuk belajar sangat buruk jika hari sudah mulai larut. Kesibukan
dari pagi dan juga kelelahan belajar menimbulkan konsentrasi yang mudah buyar. Harold
hampir meninggalkan taman ketika seseorang tertangkap pupil matanya. Siluet
seorang perempuan yang sedang membaca di bawah pohon akasia di sudut taman
tertangkap penglihatan Harold. Hanya satu nama yang terlintas di benak Harold.
“Dean. Hoi ! ” Harold
melambaikan tangan dan mendekat.
“Oh, kau rupanya. Sedang
apa?” perempuan itu, Dean menjeda bacaannya.
“Hanya berjalan – jalan
membuang penat. Kau sendiri ? Tidak biasanya aku melihatmu disekitar sini.” Harold
berbasa – basi.
“Uh ? aku? Haha. Mencari
suasana baru. Perpusatakaan tidak lagi menjadi tempat yang menyenangkan untuk
membaca.” Terlihat ragu – ragu.
“Yeah, tentu saja. Terkadang
kau perlu mencari udara segar sepupuku.” Harold terlihat percaya – percaya
saja.
“Hei. Panggil aku Dean.
Sepupu bukanlah sapaan yang enak didengar” Dean berkedut kesal.
“Oh, ayolah. Kau berlebihan
dean. Sepupu adalah kata sapaan yang cukup sopan.” Harold menceramahi.
“Tidak bagiku.” Masih
bersikukuh dengan keras kepala.
“Terserahlah. Err... kau
tidak bersama dia ?” Harold mengalah dan mencoba membuka topik pembicaraan
dengan apik.
“Siapa? Olivee maksudmu?”
tampak curiga.
“Siapa lagi?” mengendikkan
bahu menyetujui, pura – pura tidak terlalu tertarik. Namun gagal. Dean dengan
cepat mencium gelagat aneh Harold.
“Baiklah. Sepertinya kau
sangat ingin tahu.” Ucap Dean mengalah.
“Tidak juga. Kau tahu aku
tidak begitu penasaran.” Menyangkal dengan enggan.
“Terserah lah.” Dean mulai jengkel,
kemudian melanjutkan. “Kau tahu ? terkadang cokelat tidak selalu enak untuk
dikonsumsi. Yah, jika adonannya tidak baik maka cokelat akan menjadi pahit atau
bahkan terlalu manis. Buah cokelat sebagai bahan baku haruslah pas dan orang
yang membuat adonan cokelat haruslah tangkas. Jika tidak, cokelat tidak akan
seenak yang biasa kau makan sekarang.” Dean menerangkan.
“Apa hubungannya?” Harold
tidak mengerti.
“Biarkan aku melanjutkan
sepupu.” Dean menatap garang. “Cokelat memiliki banyak khasiat. Selain rasa
yang enak tentunya. Cokelat dapat menhilangkan stress, mengurangi tekanan
darah, memperpanjang umur, dan anti depresan yang sangat manjur. Jika kau
menggunakan cokelat dengan baik maka hidupmu akan luar biasa. Begitu pula
dengan cinta kawan. Banyak manfaatnya, tergantung kau ingin menggunakan yang
mana. Dan jika cokelat itu tidak lagi enak, kau perlu koreksi apakah bahannya
yang tidak berkualitas atau orang yang membuat adonan yang tidak berbakat
sehingga salah meracik . Begitu pula dengan hubungan kawan. Apakah kedua pihak
yang sudah tidak saling mencintai atau jangan – jangan kesalah pahaman yang
terjadi.” Dean menutup ceramah panjangnya dengan kedipan mata pertanda puas.
“Aku masih tidak mengerti.” Harold
semakin bingung.
“Kau bisa cari di internet.
Banyak sekelebat fakta yang berguna. Aku harus pergi. Sampai nanti Harold” Dean
menutup bukunya dan melenggang melewati Harold.
Lama termangu karena ceramah
Dean tentang cokelat, Harold menghela napas tertahan. Semakin bingung dengan
pikirannya, Harold memilih pergi menginggalkan taman.
.
.
.
“Darimana saja kau? Ini
sudah sangat larut. Kau memberikan kesempatan kepada Olivee menceramahi kita
lagi tentang disiplin waktu.” Reon mengomel sepanjang perjalan kepada Dean.
“Kkau sudah seperti ibu –
ibu hamil Reon. Aku sudah bilangkan kan. Aku terlambat karena perjalanan
macet.” Dean berseru protes.
“Tahukah kau bahwa perjalan
dari taman menara timur ke tempat ini hanya berjarak 300 meter ? dan sungguh Dean,
aku tidak mengerti macet yang kau maksud. Ini perguruan bukan pasar.” Reon
semakin jengkel.
“Oh yang benar saja Reon,
kau sangat menyebalkan.” Dean mendelik murka dan menghajar bahu Reon dengan
buku yang ditentengnya.
Terlibat perkelahian kecil, Reon
dan Dean sangat mendalami peran. Hingga olive yang melihat kemunculan mereka
berdua beberapa saat yang lalu melerai dengan garang.
“Apakah kalian sudah selesai ? masih ada tugas yang menantikan untuk diselesaikan.” Olivee mengingatkan.
“Apakah kalian sudah selesai ? masih ada tugas yang menantikan untuk diselesaikan.” Olivee mengingatkan.
Mendengar kata tugas, Dean dan
Reon genjatan senjata sementara. Suasana di ruangan kelas cukup sepi. Hanya ada
Reon, Olivee, dan Dean. Hari sudah cukup gelap.
Kelas telah usai beberapa jam yang lalu, namun mereka telah berencana
memakai ruang kelas untuk belajar. Tugas makalah dari Ms. Naru tidak terlalu
sulit sebenarnya. Namun, butuh waktu yang lama untuk mengumpulkan jurnal
penelitian sebagai bahan referensi. Sehingga memerlukan waktu yang lama dan
tenaga yang banyak untuk menyelesaikan beberapa tumpuk kertas yang di jilid
menjadi sebuah makalah. Angin malam berhembus melewati lubang – lubang
ventilasi, membawa semilir beku yang tidak nyaman. Keheningan yang terlampau
menggangu juga menambah kesan misteri di ruangan itu. Tetapi, sepertinya hal –
hal kecil itu tidak berpengaruh kepada mereka. Kesibukan dan pikiran yang
dipaksa bekerja rodi mengalahkan suasana seram dimalam hari.
“Aku tadi bertemu Harold.” Dean
membuka wacana. Bukan karena takut, lebih karena memang perempuan yang satu ini
tidak tenang jika tidak berbicara.
“Dimana kau berjumpa
dengannya? Apa karena itu kau terlambat?” Reon masuk ke dalam alur pembicaraan.
“Bisa dibilang begitu. Tapi
bukan karena itu sih. Hanya tidak sengaja berpapasan tadi, sewaktu di taman.
Yeah, begitulah.” Dean menimang – nimang dengan ragu. Seperti mencoba menemukan
kata yang tepat.
“Kau tidak jadi menemui Harold
siang tadi Ol?” Reon berbalik menatap Olivee . Bertanya.
“Tidak. Aku tidak menemuinya
dimanapun.” Olive tampak jengkel.
“Oh begitu. Bukannya kalian
sudah membuat janji untuk bertemu ya ?” Reon masih tetap bertanya, penasaran.
“Tidak juga.” Olive merengut
kesal.
“Tidak juga? Berarti kau
yang berinisiatif menemui begitu ? ” tanya Dean ikut penasaran.
“Wah, baru kali ini aku
melihat mu mengambil langkah terlebih dahulu.” Reon tampak antusias.
“Ayo ceritakan pada kami.
Ayo , ayo.” Dean semakin bersemangat.
“Sore tadi, nico menemuiku
dan mengatakan bahwa Harold terlihat uring – uringan. Tanpa pikir panjang aku
pergi ke asrama laki – laki dan tidak menemui dia disana. Sammy, teman sekakamar
Harold mengatakan dia pergi sejak siang dan belum kembali ke asrama.” Olivee
menuturkan.
“Dia tadi mencarimu.” Dean
buka suara.
“Apa ? Kenapa kau tidak
bilang?” Olivee bereaksi terlalu cepat .
“Aku sudah bilang kan tadi,
aku bertemu Harold. Kau terlihat tidak begitu tertarik.” Dean protes jengkel.
“Benarkah? Aku sangat
penasaran Dean. Aku justru menunggu – nunggu lanjutan darimu. Tetapi cerucut
ini memotong.” Olivee mengklarifikasi ucapan Dean, dan menunjuk Reon
menyalahkan.
“Oh, baiklah. Jika
ekspresimu tertarik memang seperti itu.” Melirik Olivee dari ujung kaki sampai
ujung kepala, Dean menghela napas dan mengalah. Sia- sia berdebat dengan Olivee
perihal eskresinya. Jika teori perbandingan di dunia ini digunakan untuk Olivee.
Batu adalah objek yang cocok. Sejauh apapun dilempar dan sekuat apapun dipijak,
batu akan tetap diam, bergeming. Tidak ada perubahan bentuk ataupun perubahan
warna. Batu, ya tetap batu, sebesar apapun usahamu untuk menyulapnya menjadi
bunga atau kue. Apapun yang kau perbuat kepada batu tidak akan memperngaruhi
komposisi luar nya. Begitulah Olivee. Sekeras apapun kau mencopba untuk
mengejutkan, menghardik, memaki, ataupun bersimpati, Olivee tidak akan
bergeming. Ekspresi output dari wajahnya selalu sama. Datar. Bahkan bila itu
berarti ada bom nuklir yang meledak atau gunung api yang meletus tidak sengaja,
Olivee tetap akan tampak sama. Poker Face
bahasa bekennya.
“Apa yang dikatakannya Dean?”
Reon ikut larut kembali dalam pembicaraan.
“Hanya mennayakan keberadaan
Olivee. Sepertinya kalian harus berjumpa. Kesalah pahaman kalian harus kalian
selesaikan Ol.” Dean menasehati.
“Siapa yang salah paham?” Reon
tampak tidak mengerti.
“Kau diam saja. Ini adalah
urusan wanita. Para pria sebaiknya duduk manis dan menyimak saja.” Dean menyentil
dahi Reon.
“Apa aku harus menemuinya Dean
? Tapi aku tidak tahu harus bilang apa.” Olive tampak dilema.
“Ayolah Ol. Kau pacarnya.
Aneh jika kau tidak tahu harus bilang apa.” Dean menepuk dahinya. Gemas dengan
tingkah pasif Olivee yang kelewat batas.
“Bantu aku. Aku benar –
benar bingung Dean.” Olivee merengek manja.
“Hei sobat. Sekarang lebih
baik pergilah ke taman menara timur. Aku melihat Harold disana tadi sore.
Sepertinya dia akan kesana lagi malam ini.” Dean memberi ide.
“Aku bertanya padamu apa yang
harus kukatakan bukan apa yang harus kulakukan Dean temanku yang baik hati.
Ayolah bantu aku.” Olivee kembali membujuk.
“Kau yang punya masalah
sobat. Bukan aku. Sekarang pergi dan selesaikan.” Dean menarik lengan Olivee
paksa dan menyeretnya menuju pintu kelas.
“Selesaikan sekarang. Atau
tidak sama sekali.” Dean bertitah dan menutup pintu kelas, mengunci dari dalam.
Olivee terdiam cukup lama,
mencoba mencerna kata – kata Dean. Setelah mengerti, mengutuk – ngutuk dalam
hati. Teman macam apa yang menyeret temannya paksa dan menguncinya diluar
kelas. Yeah, tentu saja Dean. Olivee sepertinya lupa bahwa Dean adalah teman
yang tega. Semakin jahat maka semakin sayang, begitulah semboyan Dean.
Menimbang – nimbang ragu untuk waktu yang cukup lama, akhirnya olive memutuskan
pergi. Baiklah. Sekarang atau tidak sama sekali. Olivee bertekad baja.
.
.
.
Semilir angin di kegelapan
berhembus dan menusuk kulit. Dinginnya malam membuat beku banyak entitas yang
sedang beraktifitas di bawah remang cahaya purnama. Bisikan hewan – hewan malam
menjadi musik yang mengalun pelan menemani kesunyian. Langkah – langkah berat
terdengar begitu pilu, menambah kesan kesedihan yang mencekam. Di tengah kursi
panjang yang berdiri kokoh tepat disamping kanan sebuah bonsai raksasa,
seseorang memetik dawai dengan penuh perasaan. Melodi – melodi yang dirajut
menjadi sebuah lagu sungguh menggetarkan raga. Laki - laki itu, tampak sedang
bersusah hati. Terdengar dari musik yang dimainkan olehnya, seakan – akan
mengatakan kebenaran yang menyakitkan. Musik adalah bahasa semesta. Terkadang
perumpamaan itu dianggap klise dan berlebihan. Namun, itu tidak benar. Semesta
selalu memiliki cara untuk berkata – kata dan menunjukkan pesonannya. Musik
adalah salah satu dari bahasa yang digunakannya untuk menegur ataupun menghibur
manusia. Pepohonan, dedaunan, ranting – ranting kering, bahkan deretan kunang –
kunang malam yang terbang membentuk formasi yang mengagumkan turut merasakan
lara karena permainan musik sang pewaris Adam.
Mempesona dan memerangkap dalam sebuah ilusi yang menakjubkan. Aura magis
yang keluar ketika dentingan petikan terakhir dawai tersebut menutup dongeng
indah di kala malam yang senyap di akhir bulan ketiga. Laki – laki itu
meletakkan dawainya dengan hati – hati diatas kursi taman. Kemudian merengangkan
tangannya sejenak yang tegang karena terlalu lama memetik dawai. Amat
melelahkan bermain musik dengan luapan emosi yang dikeluarkan tiba – tiba
setelah cukup lama tertahan. Laki – laki itu kembali meregangkan tubuhnya, di
torehkannya kepala ke kanan dan ke kiri. Urat lehernya terasa kebas. Pada saat
itulah sekelebat siluet tertangkap oleh inderanya. Sosok yang sangat ia ingat
bentuk dan pesonanya. Di kegelapan bayangan pepohonan dan tumbuhan – tumbuhan
malam yang mekar, laki – laki itu, Harold menghujamkan tatapannya. Sosok itu
tampak ragu, antara terkejut karena terpergok sedang mencuri tatap kearah
Harold yang sedang bermain gitar, atau lebih karena ia salah tingkah dan tidak
tahu harus bicara apa. Lama menanti reaksi dari sosok itu, Harold pun
berinisiatif untuk menegur.
“Err... Sedang apa kau
disana Olivee?” Harold memulai hati – hati. Sangat takut membuat Olivee tidak
nyaman dan kemudian lari meninggalkannya. Yeah, itu berlebihan. Olivee tidak
mungkin sedramatis itu.
“Apa? Err... aku hanya
kebetulan lewat” Olivee mencari – cari alasan.
“Oh benarkah ? kemarilah.
Tidak perlu bersembunyi seperti itu.” Harold tersenyum tanggung. Olivee tidak
menjawab. Olivee hanya bergerak maju menuju Harold dan duduk disamping nya di
atas kursi taman. Keheningan dengan cepat menguasai. Tidak ada yang ingin
memulai topik pembicaraan. Senyap yang menusuk menelusup ke pori – pori kulit
sungguh menyesakkan.
(To be Continue) >.<
Komentar
Posting Komentar