Dean's Diary - Cahaya Merah jambu pertama


Dean's Diary
"Cahaya Merah Jambu Pertama"


18 Mei 2017

Gejolak aurora di ufuk Selatan. Frekuensi yang penuh dengan misteri, menyentakkanku dari lamunan di bawah senja berwarna jingga. Perkenalkan namaku Efthemia Deandra. Banyak teman memanggilku Mia. Namun, itu tinggal cerita. Masa Remaja yang menyenangkan dengan nama yang manis, sungguh menawan.
Sedikit menyapa dengan penuh ketulusan. Ini adalah tulisan pertamaku semenjak aku mengenal kosakata terkutuk bernama patah hati. Malam yang penuh perenungan di momen kontemplasi yang tak terduga. Ternyata kelinci masih belum melupakan jerapah. Itu perumpamaan ? Tentu saja. Lebih kurangnya adalah sketsa akan suara hati yang mencoba jujur namun gagal total.
Jatuh cinta itu sulit, namun lebih sulit lagi untuk melupakan. Benar, aku tidak akan berkomentar mengenai hal itu. Karena setelah mengalaminya, sungguh tidak benar bahwa perempuan patah hati adalah cengeng. Mereka hanya mengekspresikan rintihan jiwa yang bergelora tiba – tiba.
Malam ini aku tersadar bahwa aku masih suka padanya, sebagaimana dulu aku suka. Tidak peduli seberapa keras aku mencoba menyangkal perasaan yang berkhianat. Suka tetaplah suka. Cahaya merah jambu akan tetap merah jambu. Tidak akan berubah menjadi merah.
Namun, segalanya berbeda sekarang. Tidak ada lagi saling tatap, bertengkar, atau berbagi cerita dimalam yang dingin dan sepi. Tidak ada lagi curi pandang, atau sekedar saling goda ataupun saling hina. Tidak ada lagi kenangan manis dibalik Monumen sakral penebus Dosa. Tidak ada lagi dia.
Dia sudah memilih jalannya. Dia telah menemukan cahayanya. Lalu aku ? Tentu saja aku memilih cahayaku, meskipun aku tahu akan sulit bagiku merasakan jatuh cinta remaja lagi. Aku juga tahu segala sesuatunya akan berubah dengan sangat cepat.
Akhir - akhir ini aku marah dengan romantisme dan segala racun yang namanya cinta. Aku kesal dengan fakta - fakta menyebalkan tentang pertumbuhan pasangan yang begitu cepat disekelilingku karna ulah sesuatu bernama cinta. Lucu memang. Tapi begitulah nyatanya. Aku digerogoti oleh perasanaan aneh bernama Kecekewaan. Aku terjatuh di lubang yang dalam yang bernama keputusasaan.
Aku cemburu dengan wanita yang selama ini bersandar dibahuku dan kutopang tumitnya agar dapat berdiri teguh. Entitas yang kusukai lebih dekat dengannya saat ini. Mereka menghabiskan banyak waktu bersama. Bertukar lelucon dan cerita masa muda. Aku muak dengan mereka, dan merekapun sepertinya juga demikian. Kami pun tidak berbicara. Saling melirikpun enggan. Jika pun harus bersuara, itu karena jika ada keperluan, bukan atas dasar kemauan pribadi.
Aku tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang. Tapi, aku tahu perasaanku.
Aku marah, kecewa, kesal, dan  banyak emosi tidak berguna lainnya yang menguras energi. Wajar saja demikian. Aku kehilangan Cinta dan kehilangan teman. Namun aku tidak menyesal dengan keputusanku. Setidaknya aku menjadi semakin dewasa. Aku tidak dibudak lagi oleh rasa bersalah dan rasa setia kawan yang menyesatkan. Seperti kata seseorang, aku tidak bisa membahagian semua orang. Mungkin suatu saat aku akan bertemu cinta lainnya. Mungkin saja. Tetapi aku tahu itu butuh penantian panjang. Dewa cinta hendak mempermainkanku untuk beberapa saat sampai aku pulih dan siap untuk disakiti dan tertawa (lagi). Terimakasih cinta tiga tahun yang beraneka rasa. Aku akan rindu untuk sekedar bercakap - cakap denganmu. Menertawakan tingkah konyolmu. Atau bahkan Membicarakan masa depan kita.
Sekarang Kau lebih dekat kemimpimu. Raihlah dan jangan menoleh kebelakang. Kau nantinya hanya akan menjumpai gadis buruk rupa yang terluka. Aku sudah pasti akan tetap kuat. Sakit selama tiga puluh enam bulan bulan cukup menempa tubuh lemahku menjadi sekokoh baja. Jika kebetulan kita bertemu dan bertatap muka, anggaplah aku hanyalah satu dari sekian orang yang tidak sengaja kau jumpai ditengah kesibukanmu. Karena aku akan berbuat demikian terlebih dahulu. Bukan. Aku bukannya gagal melupakanmu. Aku hanya merasa sedih hanya sekedar melihatmu. Aku seperti menatap lubang hitam yang penuh ambisi. Bahkan mataku nyaris salah mengenalimu yang sekarang, bukan hanya hatiku. Aku tidak suka mengasihani orang lain. Terlebih jika orang itu adalah kau. Cinta sekian tahunku.
Aku hanya akan menanti dan menanti. Suatu saat Sang Pencipta akan mengirimkan utusannya untuk berbagi kasih denganku, dan menjadi teman hidupku. Esok, nantinya, dan sampai yang akan datang. Pada saat itu aku sudah lupa pernah mneyimpan rasa padamu. Semua akan baik baik saja.
Aku tersentak, dan baru memahami semuanya dengan sudut pandang yang baru.
Yeah, sepertinya memang semua ini adalah perjalanan menuju pendewasaan.
Dewasa dalam kasih, iman, dan pengharapan.
.
.
.

-Tertanda salam.
Dean


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SUDAHKAH GMKI MENJADI SEKOLAH PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN NILAI – NILAI GMKI ?

REFLEKSI DIRI : PAHLAWAN SAMAR DALAM MEMORIAL

Perkenalan Edisi I