Dean . Lembar Pertama.
DEAN.
Kehidupan baru. Masalah baru.
Sebenarnya
aku tidak bermaksud untuk bertransformasi menjadi gadis pendiam di awal semester
ini. Namun, orang-orang disini tidak memberiku pilihan yang bagus.
Tindak-tanduk mereka terasa asing, dan well
wajah-wajah mereka juga asing. Tentu saja ! aku berada jauh dari teritori ku
dan berada dilingkungan yang jauh berbeda dari yang kujalani selama ini. Sebut
saja demi menuntut ilmu yang lebih baik, atau apalah mereka menyebutnya. Bagiku
ini cukup menyenangkan. Setidaknya disini jauh terasa lebih bebas dari pada
disana (maksudku tempat asalku, tentu
saja.). Tidak ada yang akan mengomeliku dengan deretan kalimat-kalimat yang
memusingkan, tidak ada yang mencecokiku dengan cerita-cerita remaja yang menjengkelkan,
dan tidak ada yang akan menginterupsi waktu-waktu santaiku lagi. Aneh ? mungkin
ya, aku sudah muak dengan lusinan peraturan yang harus kupatuhi selama tujuh
belas tahun terakhir ini. ‘Dean jangan
lakukan itu!’ jujur aku benci sekali
dengan kalimat itu. ‘sudah berapa kali
Ibu katakan untuk membereskan kamarmu Dean’ well itu sebenarnya tidak
terlalu menyebalkan, tapi jika ibumu adalah perempuan dewasa yang galak dengan
tangan berkacak pinggang, memasang kuda-kuda seperti akan bertarung satu-lawan-satu-sampai-mati. Itu
menjelaskan semuanya terasa lebih menyebalkan. Atau‘ambilkan dulu sepatu itu Dean ! dan jangan lupa untuk mengangkat
cucian itu !’ dan yang barusan itu sangat menjengkelkan. Sungguh ! Tapi
sudahlah, yang penting sekarang aku sudah bebas. Yah setidaknya untuk saat ini.
Karena aku tahu, kehidupan yang memusingkan dan berliku-liku ini tentu tidak
akan membuat semua berjalan begitu mudah bagiku. Ayolah, seharusnya kalian
mengerti. Tidak ada yang sederhana dalam cerita hidup Dean. Selalu saja ada
hal-hal kecil yang memberi warna berbeda setiap harinya. Sebut saja hal remeh-temeh
seperti uang jajan, guru, teman (maksudku
tentu saja wanita), teman kencan (yang
ini tentu tidak perlu penjelasan gender kan ? kalian tahu, aku mungkin akan
menertawakan kalian yang masih bingung. Percayalah ! Dean bisa sangat kejam),
atau hal lain seperti kegiatan sekolah yang melelahkan. Garis bawahi kegiatan.
Aku serius.
Setelah melihat sekolah
sebesar ini dan penghuni-penghuninya
yang super cuek dan terlihat menyebalkan, sepertinya aku menarik kembali
kata-kataku mengenai kebebasan. Aku merasa lebih dan lebih sesak lagi disini.
Hey, jangan menertawakanku. Jika kau berada ditempat yang asing dengan ratusan
orang asing yang tidak mengenalmu dan tidak menunjukkan tanda-tanda ramah-tamah
sedikitpun, kau juga akan merasa jengah dan jengkel. Ditambah dengan bonus
lusinan peraturan yang menyambutmu dengan sumringah. Percayalah, sama sekali
tidak membantu. Untuk beberapa hari ini aku masih dalam mode mendengar dan memperhatikan. Untuk
sementara sifat-sifat asliku sebaiknya kutidurkan saja, berharap tidak bangun
dengan cara yang memalukan, misalnya saja menabrak orang lain yang sedang
santai berjalan karena kebiasaanku yang tidak memperhatikan sekitar, ceroboh,
cuek, dan meskipun kuakui itu keren kok! (well,
aku ingat saat aku hampir menabrak seekor, eh ralat maksudku seorang anak pria
tinggi aneh. Kuulangi tinggi ! dan aku tidak main-main soal itu. Ampun deh!
Beneran tinggi.). Setidaknya itu tindakan paling bijaksana yang bisa
kulakukan saat ini.
Hari ini adalah hari ke
empat puluh delapan sejak aku menjejakkan kaki di sekolah ini. Sudah terbiasa,
mungkin. Satu-dua hal-hal kecil disini sudah bisa kukenali dengan baik. Bahkan
beberapa senior, proffesor dan
penjual roti ramah di dekat perpustakaan, aku juga kenal (astaga ! kalian pasti suka deh dengan rotinya. Lezat, berkarbohidrat,
dan tentu saja hemat. Tidak perlu sampai melubangi dompet kalian. Apalagi
ditambah pelayanan super ramah pak Breedh dengan gaya Hawainya, yang terkadang
tidur terlentang dengan bertopang tangan dibawah pohon Palem. Menunggu pembeli
datang). Aku juga sudah mengenal beberapa teman dekat, yang dengan ramah
mau berkenalan atau setidaknya mencoba mengenalku. Meskipun dengan mengabaikan
tatapan mata menyelidik dan gelagat anehku, tentu saja. Aku melangkahkan kaki
dengan riang melewati lorong sekolahku yang diapit dua taman raksasa, menuju
kelasku yang terletak tepat disebelah kanan aula sekolah. Langkahk kupercepat
mengingat jarak kamarku dengan kelas
cukup jauh. Hari masih sepagi ini, sedikit murid
yang masih datang (oh ! aku lupa
menyebutkan tentang status belajarku. Singkat saja. Perguruan Tinggi. Semester
satu. Manajemen ekonomi). Aku sampai juga dikelas. Beberapa teman perempuanku
sudah datang. Kuasumsikan saja supir
keluarga mereka bangun pagi sekali, sang bibi perawat rumah (jangan protes aku tidak tega menyebut pembantu
rumah tangga !) telah membangunkan tuan putri agar ke sekolah lebih awal. “Hitung-hitung jadi murid teladan non.” Aku menirukan suara si bibi
dalam hati, tersenyum membayangkannya. Namun, ku usir bayangan itu dengan
cepat, karena tahu hal seperti itu tidak mungkin terjadi di sekolah ini,
maksudku tentu saja Perguruan ini. Kau tidak megharapkan ada jasa supir dan
pembantu rumah tangga di tengah tengah pedesaan bukan ? baiklah lupakan saja, aku mulai berpikir aneh
– aneh. Aku duduk dikursi paling depan yang tentu saja paling dekat dengan meja
proffesor, tidak lupa melemparkan
senyum ‘selamat pagi-jangan ganggu aku’
kepada teman yang duduk paling dekat, yang dengan otomatis menggeser posisi
duduknya menjauhiku, kembali menekuni layar handphonenya. Membuka buku setebal
dua inci, aku mulai membaca. Lima belas menit kemudian, seluruh kursi kelas
hampir penuh. Murid lain mulai
berdatangan satu persatu. “Pagi Dean ! oh astaga kau rajin sekali sepagi ini !”
Med, salah satu teman dekatku, setidaknya tiga perempat bulan ini, berseru
menyapaku. Refleks dia duduk disebelahku, kelihatan tertarik dengan bacaanku. “Pagi juga Med !” aku membalas sapaannya dengan tersenyum
sebentar lalu lanjut membaca. Oh tenang saja itu bukan jenis senyuman ‘selamat pagi-jangan ganggu aku’, aku
sedikit memperhalusnya dengan ‘selamat
pagi-aku sangat menghargai jika kau tidak tanya-tanya mengganggu’. Med
duduk dengan tenang, meletakkan tasnya dibelakang kursi dan mengeluarkan
sesuatu entah-apa dari tasnya. Aku tahu. Ekor mataku menangkapnya saat membaca
lembar bukuku yang paling kanan. Toh aku tidak peduli, asalkan dia tidak mulai
wawancara pagi dengan Dean. Lagi . Aku bukannya membenci karena dia bertanya.
Hanya saja itu mulai mengganggu, sekali-dua kali aku masih bertahan, setidaknya
posisinya sebagai teman pertamaku di sini memberi nilai lebih. Tapi seterusnya
aku mulai jenuh, lelah dan jengkel. Tidak ada bedanya dengan diberi rentetan
pertanyaan dari nomor satu sampai sepuluh yang intinya menanyai kabarmu, tetapi
jawabannya harus tiga lembar folio lebih, yang berisi ‘aku baik-baik saja’
tetapi dibuat menjadi seratus bahasa berbeda. Itu baik tentu saja, tapi untuk tipikal orang pembosan tetapi
penyayang sepertiku itu tidak lebih seperti mimpi buruk. Eh penyayang maksudku
lebih ke tipikal tidak bisa menolak permintaan orang lain, bukan penyayang
seperti yang kau pikirkan ibarat mengelus-ngelus kucing kesayanganmu. (aku mulai meragukan makna penyayang disini,
mungkin lebih terdengar seperti idiot.) Aku melirik jam
tangan, delapan puluh lima detik lagi proffesor
akan datang. Aku melirik pintu sekali lagi, tidak ada tanda-tanda mereka akan
datang. Aku menghembuskan napas berat. Tidak habis pikir . ‘Mereka’ maksudku, tentu saja
teman-teman dekatku yang lain. Yang lebih berbeda dari Med. Dia baik tentu
saja. Tetapi mereka ini jauh dari kata baik. aku berkata begitu bukan berarti
bahwa mereka buruk. Mareka hanya empat gadis biasa sepertiku, tapi lebih ribut,
lebih terbuka, lebih ceria, dan tentu saja lebih liar (eh, maksudku adalah lebih bebas ruang lingkup pergaulan dan tentu saja
lebih terlihat seperti anak nakal. Dalam artian lebih sempit tentunya. Kalian
tidak berharap kan aku berteman dengan mafia kelas kakap atau penghuni
rumah-rumah malam kan? Lupakan saja. Karena meskipun itu adalah Dean yang cuek
dan mendambakan kebebasan, dia tidak akan melanggar idealisme nya. Catat itu.).
Habis sudah kesabaranku. Aku mengambil benda pipih seukuran buku saku didalam
tas. Tabletku . Mengutak-atiknya sebentar, kemudian membuka fitur messagerku,
menekan tombol percakapan grup dan mulai menuliskan beberapa kalimat.
‘Kalian tidak berharap
aku akan merekayasa tanda tangan absensi kalian kan? Aku tidak bisa melakukannya.
Ini sudah jam delapan tepat. Prof Augur sebentar lagi akan datang . Jika lima menit lagi kalian tidak datang. Menurut
catatan kontrak belajar dengan proffesor Filsafat kita, konsekuensi
adalah pengurangan poin dan tentu saja tidak boleh masuk kelas. Sebaiknya
kalian bergegas !’
Setelah selesai dengan
urusan ketik-mengetik yang merepotkan, pesan itu kukirim. Benar saja, sedetik
kemudian Prof Augur datang dengan setumpuk map tebal. Menatap sebal kearah kami
dan mulai meraung marah pada setiap murid yang hendak masuk kekelas setelah
dirinya. Delapan puluh menit kemudian aku keluar dari kelas. Mencoba mencari
ketiga batang hidung perusak pagiku hari ini. Tentu saja, karena tabletku
berbunyi dikelas, sebagai tanda ada messeger masuk. Siapalagi kalau bukan
mereka bertiga yang mengirim pesan itu.Hanya mereka bertiga yang tidak masuk ke
kelas pagi ini. Dan Voila, aku
menjadi pusat perhatian seluruh kelas plus Prof Augur. “Nona yang disana. Jika
tidak bisa menahan keinginan untuk berkencan sepulang kelasku ini. Silahkan
keluar. Aku tidak perlu murid yang sibuk
bertukar pesan dengan kekasihnya sepagi
ini.” Prof Augur berseru nyaring, menghasilkan puluhan tawa geli yang jelas sekali
memukul telak wajahku yang memerah karena malu. Mengingatnya saja membuatku
kesal. Dean tidak pernah mengalami masalah pria sebelumnya apalagi dikelas.
Sebelum aku berubah total menjadi makhluk hijau jelek karena kesal tidak
terkatakan (kau bisa membayangkan kan
Dean yang berubah jadi Hulk jika marah ? percayalah lebih buruk dari apapun,
sekalipun itu Hulk yang mengenakan celana dalam Prof Augur), Luna salah
satu dari keempat temanku yang sedari tadi kusungut-sungutkan, muncul entah
dari mana, menggenggam selembar kertas, lalu menyodorkannya padaku dengan
seenak jidatnya saja, hampir membuatku menelan kertas folio bulat-bulat. “Dean.
Ini lembar tugas filsafat Prof Augur. Untung aku sempat menyelinap masuk tadi,
kalau tidak habis sudah. Terimakasih ya Dean.” Aku mengangguk singkat,
memasukkan lembaran itu kedalam tas ransel biru pekat milikku, markas besar
barang-barang pribadiku. Aku hendak mengajak Luna mencari teman-temanku yang
lain, namun saat aku menoleh aku sudah melihat dia berjalan menuju aula, bergabung
dengan sekelompok murid yang sedang bercakap-cakap didepan aula. Bingo ! aku
menemukan mereka sedang duduk disana,
mengobrol dengan pria bertubuh kecil kurus yang posisinya membelakangiku.
Secepat kilat aku menyusul Luna. Dan Secepat itu juga aku menyesal telah datang kesana. Semua berlalu
begitu cepat. Entah bagaimana kejadiannya aku telah diseret oleh Rav (salah satu dari tiga teman yang sedang
kucari tadi tentu saja. Dan yang paling menjengkelkan. Tapi harus kuakui dia
hebat dalam berperan sebagai pengatur
susana.) yang sedari tadi senang sekali melihat wajahku yang senantiasa
merenggut detik per detiknya. Nah, disinilah aku sekarang disebuah bangunan tua
berlantai tiga bercat ungu yang sebagian catnya sudah mengelupas. Aku menatap
ragu pintu masuk bangunan ini. Namun seseorang yang ada di sebelahku menawarkan
diri untuk membuka pintu, ya dia tentu saja pria kurus kecil tadi. Yang diklaim
oleh Susan sebagai ketua organisasi entah apa yang sekarang sedang kami datangi
markas besarnya, atau lebih halusnya gedung kesekretariatan. ”oh namamu siapa
dik ? aku tidak pernah melihatmu bersama Rav, atau Susan, atau Luna, maupun..
eh Greta ya?” pria itu ramah menatapku setelah terlebih dahulu menatap Greta
untuk memastikan dia menyebut nama dengan benar. Menungguku. Aku lantas tidak
menjawab. Sudah jelas sekali bukan ? aku baru kenal dia atau mereka ataupun organisasi entah apa ini. Dia
tidak mengharapkan aku akan ramah tamah
membalas uluran tangannya kan ? Aku sudah ingin meneriakkan “tidak perlu berbasa-basi cukup bukakan
pintu. Itu lebih brilian dari pada menanyaiku dan membuka sesi wawancara siang
dengan Dean di beranda bangunan yang hawanya panas sekali” namun aku
mengurungkannya. Memutuskan meraih tangan kanannya yang sudah tersodor dari
lima detik yang lalu. Dia terlihat ramah, namun aku yakin dia memang ramah dan
baik. feelingku tidak pernah meleset, sejauh ini sih. “Efthemia Deandra.
Panggil Dean saja. Itu sudah cukup.” aku menjawab singkat dan padat. “Nama yang
bagus. Aku Harold strench” aku tidak merespon kali ini, memilih diam saja dan lantas masuk saat Harold, begitu namanya
katanya, membukakan pintu. Didalam terasa lebih sejuk ketimbang berada diluar
di beranda depan. Aku melewati lorong sempit yang berujung sebuah tangga yang
membelit dinding hingga ke atas, tidak tahu bermuara sampai lantai berapa. Aku
sekilas melihat-lihat kesamping kanan-kiriku. Mengamat-amati setiap pintu yang
kami lewati. Pintu pertama tampak usang, tidak terawat, dan banyak
coretan-coretan disana-sini yang sama sekali tidak niat untuk kubaca. Pintu
kedua lebih baik dari yang pertama, sederhana, terdapat sebuah papan kecil
bertuliskan Welcome Dear dengan tulisan yang melebihi cantiknya tulisan dokter,
menurutku. (tentu saja itu sindiran !)
Kuasumsikan ruangannya pasti jauh lebih besar melihat ukuran ventilasi dan
cahaya lampu terang yang tersorot dari dalam. Kamar ketiga sekaligus terakhir
tampak lebih hidup dan terawat. Aku hanya perlu beberapa detik untuk
menyimpulkan itu kamar perempuan. Aku melewati saja yang satu itu bergegas
menuju tangga, merasa tidak perlu berhipotesis lagi. Kejutan diatas, maksudku
tentu saja di muara anak tangga lebih fantastis dari yang kukira. Puluhan orang
tidak kukenal yang saling sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Mengobrol,
memilah-milah buku, mengutak-atik laptop, mengobrol, bermain kartu, dan
mengobrol lagi. Begitulah klasifikasi sederhana yang kususun sepersekian detik
terakhir, setelah memindai beberapa sampel acak yang ada diruangan ini, di
lantai dua. “Ayo Dean. Kau pasti suka deh, kujamin. Semua anggota disini ramah
sekali, lucu lagi” Rav mencoba menghiburku. Dia tahu aku masih kesal karena
insiden tadi pagi. Lantas menyeretku melewat lorong kecil penghubung ujung
tangga dengan sebuah ruangan yang lebih besar. Seperti tadi, disamping kiri
selalu ada kamar, berjejer tiga pula. Persis sama. Aku sempat bertanya – tanya
bagaimana bangunan sebesar ini bisa ada di tengah – tengah lokasi Perguruan
tanpa diketahui dewan Perguruan. Namun, aku mengurungkan niatku untuk bertanya,
dan memutuskan untuk mengikuti langkah Rav memasuki ruangan yang dia sebut
sebagai aula.
Aku mencoba memprotes,
saat Rav dengan semangat menyeret-nyeretku (aku
tahu dia senang melakukannya. Coba bayangkan Dean yang perkasa diseret seperti
anak bayi. Memalukan.) kesana-kemari menjumpai banyak orang yang tidak
kukenal. Menyebut beberapa kata seperti “ini lo teman yang kemaren kuceritakan”
dia bersemangat menjelaskan pada seorang senior pria seram dengan tatapan genit
yang menyebalkan. “ayolah kak, aku tidak bergurau. Rav ini tahu menilai. Dean
adalah murid cerdas. Atau mungkin paling
pintar sejurusan. Pasti asik kalau dia bergabung” kali ini Rav mencoba mendebat
seorang perempuan berwajah menyebalkan yang menatapku menilai. Oke aku mulai
jengkel dengannya. Perempuan itu tentu saja, bukan Rav. Tidak cukup itu saja.
Sekarang Rav menyeretku kedalam kerumunan lebih besar, setidaknya ada sepuluh
orang. Berseru-seru kencang dengan kalimat yang bahkan tidak berani masuk
kemimpiku “Hei! Ini Dean yang kuceritakan kemarin, yang keluarga nya adaalah
pemilik usaha kontraktur terbesar di Newyarne. Tahu tidak, pagi ini kami
berhutang besar padanya. Menyelundupkan Luna kedalam kelas dengan ide brilian
menderingkan suara Tabletnya, agar Luna dapat mengendap-endap masuk saat
seluruh fokus tertuju padanya. Lalu Voila !! Luna berhasil mengisi absen kami
dengan sedikit rekayasa tanda tangan.” Rav mulai berceloteh menggodaku. Orang –
orang dikerumunan itu tertawa – tawa keras mendengar lelucon Rav dan menatapku
tertarik. Aku hampir pada titik dimana aku bisa mengkanibalisme seisi ruangan
ini sekarang. Tidak ada yang tahu nama keluargaku. Dan tidak ada yang bisa
membuatku seperti anak baru puber yang gila popularitas, membangga-bangakan
nama keluarga ku. Aku membuka mulut, hendak bersuara. Sebelum suara itu
menghentikkanku. Suara yang sangat kukenal, bahkan aku hapal tempo dan intonasinya
mengucapkan setiap kata. Astaga, sepertinya aku lupa menceritakan bagian
menyebalkan selama acara perkemahan persahabatan beberapa hari yang lalu. Kejadian
ini lebih parah dari kejadian manapun yang keceplosan kulakukan karena masih
orang baru (yang kumaksudkan tentu murid
baru). Kejadian yang paling kejam dan tidak berperasaan. Kurasa aku akan
mulai memikirkan membuat prolog dahulu
sebelum memulai adegan pembuka.(lupakan
saja, aku mulai jengkel.) “Astaga ! apa yang Nona linglung lakukan disini?”
seperti dugaanku, tiga puluh detik, tidak kurang tidak lebih, ucapan si bocah
menyebalkan ini berhasil menyita perhatian teman-teman lain disekeliling kami
dari obrolan-obrolan tidak berguna mereka. “eh? Kau mengenal Dean ?” kali ini
Greta angkat suara memecah keheningan. Belum sempat aku memproses kejadian
super cepat yang barusan terjadi. Amunisi kedua telah ditembakkan. Seseorang
yang sedari tadi sedang tidur malas-malasan dikursi membalikkan badan menatapku
lekat lalu bergantian menatap si bocah berandalan menyebalkan ini (aku memutuskan memanggilnya begitu. Setelah
dengan cepat melirik setelan pakaiannya yang acak-acakan dan rambut berantakan
yang kuasumsikan belum menyentuh sisir dari dua hari yang lalu.). Astaga,
harusnya aku menyadari pria yang tidur disofa ini memiliki kaki panjang
mengerikan, yang sejak masuk keruangan ini jelas-jelas sudah kupindai keberadaannya
sebelumnya. Menyebalkan ! moodku semakin buruk mengetahui aku ceroboh dalam
memperhatikan sekitarku. “Eh kau bukannya yang menabrakku di saat Upacara
Pembukaan murid baru ? benarkan ini dia ?” si pria tiang ini menoleh pada
temannya si bocah berandalan, kuasumsikan sih begitu. Meminta kepastian. (lagi-lagi dengan sangat tidak terhormat aku
memutuskan memanggil dia tiang. Jika kau tanya alasan, sudah jelas. Tidak perlu
didebat lagi.) “eh kalian belum menjawab pertanyaan Greta. Kalian kenal
Dean dari mana ?Dean kau kenal ?“ kali ini Rav yang ambil bagian menginterogasi,
setelah terlebih dahulu menoleh kearahku meminta penjelasan. Sepertinya sesi
wawancara sore dengan Dean akan tiba.
Aku menghembuskan napas kasar, mengeluh membayangkannya. “Wah, wah ternyata
nona linglung yang merangkap kelinci paskah ini punya nama toh.” Si bocah
berandalan menatapku tajam, menyeringai mengejek. Aku teringat kembali kejadian
di malam ‘Friendly Camp of Management’
beberapa hari yang lalu. Nama acara nya saja yang enak dibaca, nyatanya agenda
nya parah. Mulai dari begadang semalaman dengan rambut di ikat ekor kuda dengan
ikat rambut bau dengan warna-warni menjijikkan, berguling-guling di tanah
lembab (mungkin panitianya ingin kami
mencoba kasur jenis baru dengan gratis, kasur tanah lembab sehabis hujan.),
dan tidak lupa juga dengan bentak sana-sini, lari sana-sini, oh aku sampai lupa
dengan gantungan badge name hewan pilihan panitia. Awalnya aku memekik senang
dapat kelinci. Setidaknya itu lebih baik dari pada rakun, tikus, ayam, ataupun
cacing kaliber (aku bertaruh itu punya
Susan, tapi dia tidak mau mengaku. Tipikal tuan puteri sekali. Menjaga image.
Ck .). Tetapi dibandingkan dengan penderitaan bersama nama kelinci yang
tergantung dileherku selama beberapa jam kedepan, kurasa aku akan lebih memilih
cacing kaliber. Atau siput berlendir kalau perlu (aku membaca badge name seseorang yang kurang lebih ada kata put
dan lendir nya , jadi tanpa pikir panjang aku menyimpulkan begitu.).
Dan disinilah aku sekarang berhadap-hadapan langsung dengan pria paling kubenci
sejak beberapa hari yang lalu. Tidak lupa dengan bonus pria super tinggi
berkelebihan hormon yang terkait insiden tabrak-menabrak denganku. “Tidak usah
ribut begitu Rav, saudariku. Sepertinya Dean mu ini pernah bertemu sekali
denganku.” Si pria tiang yang menyebut Rav sebagai saudari berseru pelan (aku mulai tidak suka kata saudari sekarang.),
menatapku jelas tertarik dengan drama di siang bolong yang istimewa ini. Huh !
aku mendengus, bisa-bisanya aku mendeskripsikan situasi ini dengan sebutan
istimewa. Lengkap sudah petualangan hari ke empat puluh depalanku yang menakjubkan.
Aku memutar badanku seratus delapan puluh derajat, berbalik menuju pintu keluar.
Hendak pergi dari tempat ini. Sebelum aku bergegas melangkah maju. Tangan
bedebah sialan itu menarik lenganku, membalikku kembali keposisi semula dengan
sekali hentakan. Menatap kerumunan yang kelihatan semakin banyak. Oh hell ! aku
baru sadar sekarang semua makhluk di lantai dua sedang menonton kami. Dramatis
sekali. Sangat.
Sebelum aku hendak
protes, dan melayangkan tinju berkekuatan kuda milikku, dia sudah menembakkan
amunisi terbaiknya. Telak mengenai ulu hatiku, menembus urat maluku. Membakar
wajahku dengan minyak panas. “Kenapa terburu-buru nona. Hey kalian tentu masih
ingat cerita kelinci paskah yang habis-habisan kukerjai saat FC jurusan
Manajemen kan? Yang lantas dengan idiotnya mengira aku seniornya. Nah, sekarang
aku perkenalkan kalian langsung dengannya. Namanya Efthemia Deandra. Sebut saja
Dean atau apalah-terserah.” Dia berseru geli, jelas sekali menahan tawa. Aku
sudah tidak peduli darimana dia tahu mengenai fakta nama lengkapku. Hanya butuh
lima detik, hingga meledaklah tawa diruangan itu. Usaha yang bagus. Mungkin
saja si tengik ini sudah merangkap komedian disini, yang bertanggungjawab atas
semua lelucon, tanpa memikirkan bahan leluconnya. Seperti aku !
Aku sudah menginjak
kakinya, sebelum dia bisa bereaksi menghindar. Dia mengerang karena ulahku.
Tentu saja itu sakit. Tidak ada perempuan yang mengalahkanku dalam pertarungan
brutal ala bebas bahkan adikku James. Tentu saja seperti yang terjadi sekarang,
dia sedang merasakan injakan ala kuda mikikku. Namun yang kuharapkan tidak
terjadi. Dia tidak marah. Dia hanya tersenyum geli, memandangku tidak berdosa.
Lantas berseru lantang, “Ayolah Dean ! aku hanya menggoda sedikit kau langsung
mengamuk” si bocah berandalan ini menatapku prihatin seperti sedang menatap
anak kecil yang berusaha membujuk orangtuanya membeli permen. “Jangan sebut
namaku dengan sok akrab, aku bukan temanmu !” akhirnya suaraku keluar setelah
sekian lamanya terdiam, yang terasa seperti setahun. Aku menjawab seketus
mungkin, kalo perlu biar tersinggung sekalian. “Baiklah sudah cukup kalian
menggoda Dean, jangan sampai dia tidak mau lagi kemari karena olok-olokan kalian” kali ini Harold yang berbicara,
melirik bergantian si bocah berancadalan dan si pria tiang. Memperingatkan
mereka. Hah ! tidak dikomando pun aku tidak akan datang lagi ketempat ini.
Belum sempat aku selesai mengutuk-ngutuk didalam hati. Seseorang atau dua ? entahlah aku tidak
peduli, mengulurkan tangannya kehadapanku. Sungguh aku terkejut, bukan karena
tangan-tangannya muncul tiba-tiba. Itu sudah biasa, dari dulu aku tidak terlalu
memerhatikan sekitar. Aku juga tidak terkejut siapa-siapa saja yang punya
tangan (akhirnya aku menyadari ada dua
tangan kanan. Tentu saja setelah mencoba menghitung jumlahnya sampai tiga kali.).
Karena cepat atau lambat mereka akan
meminta maaf. Harus. Yang aku kejutkan adalah bagaimana cara Harold membuat si
bocah berandalan dan si pria tiang ini mau meminta maaf begitu saja? hei siapa
juga yang akan percaya pada Orang yang baru saja menghinamu, menjatuhkan harga
dirimu. Sama seperti ku. Menatap kedua tangan itu. Keheranan. Bravo, semua
pasang mata sekarang melihatku, menunggu respon. Aku memang kesal dengan mereka
berdua. Tetapi bukan berarti aku sampai mendendam dan tidak mau memaafkan.
Lagipula aku tidak bisa merusak citraku didepan semua orang disini. Aku
memutuskan. Meraih tangan si pria tiang yang berada paling dekat denganku. “Aku
mema...” belum selesai kalimat itu kuucapkan, si pria tiang langsung memotong,
singkat dan lugas “Draco Contry” secepat kilat dia melepas tangan melirik si
bocah berandalan. Aku masih tetap dalam mode astaga-apa-yang-sedang-terjadi tanpa menyadari si bocah berandalan
sudah meraih kembali tanganku yang sempat lunglai karena tidak percaya alur
yang diciptakan dua anak tengik ini. “Wah-wah, salam kenal Dean. Semoga kau betah
berasa disini. Aku Nico. Nico William Angelo.” Si bocah berandalan yang
mengaku bernama Nico itu nyengir kuda, melepas tangannya perlahan dan tersenyum
mengejek kearahku. Cukup sudah, kupikir semua penderitaanku selama tujuh belas
tahun akan berakhir bahagia seperti yang terjadi dalam drama-drama picisan.
Semua masalah-masalah ku yang menyebalkan tidak akan kunjung datang. Dan
kesialan tidak akan mengikutiku sampai terbang ke negeri tetangga. Setidaknya !
tapi apa mau dikata semua hanya setidaknya bukan suatu kepastian. Sekarang aku
harus menerima keberadaanku disini, memulai penderitaan baru yang kupikir tidak
mungkin datang dengan iming-iming kebebasan yang ditawarkan saat masuk ke
Perguruan ini. Susana baru, tempat belajar yang menyenagkan, dan pendidikan
yang berkualitas ternyata hanya angan – angan semata. Tetapi ya sudahlah. Yang
terpenting, sekarang aku tahun membedakan yang mana masalah dan yang bukan. Asalkan saja aku selalu memastikan diriku jauh dari dua
sejoli ‘tiang duet berantakan’ aku
pasti aman. Pasti. (Sepertinya aku harus
menulis surat untuk mom secepatnya. Mungkin saja dia mempertimbangkan untuk
mengembalikanku ke kota asal kami. Gangguan keluarga terlihat lebih baik
daripada gangguan neraka di Perguruan ini.)
Komentar
Posting Komentar