Dean. Lembar Kedua.

DEAN.

Tahun ajaran baru. Eh ?

Terik matahari yang menyengat sungguh menyebalkan. Kalian tahu tidak ? well, tentu saja kalian sering kepanasan. Kondisi cuaca di Calpurnia sedang buruk akhir-akhir ini. Hari masih pagi, tetapi suhu udara disini cukup tinggi. Jika sekarang aku secara kebetulan menemukan kolam berenang kosong ditengah kota, tanpa pikir panjang aku akan berendam sampai sore. Tapi, mustahil hal itu terjadi. Apalagi ditengah kerumunan orang yang tidak perlu kuhitung jumlahnya, sedang berkerumun menunggu antrean. Pukul 09.00 a.m . Masih terlalu pagi untuk memulai kesibukan sebenarnya, tetapi orang-orang disini tampak begitu bersemangat mengantre. Kulirik isi tas ku untuk ke sekian kalinya (jujur aku mulai jengkel dengan kelakukanku sendiri). Memastikan aku membawa barang yang benar. Yeah, karena kejeniusan adik kecilku James aku harus berada di kantor pos, tempat paling menyebalkan yang kutemui seumur hidupku. (James meminta -ralat- memaksa ibu untuk membelikannya ipod yang baru,dengan embel – embel keperluan sekolahnya. Sungguh menggelikan. Alhasil, aku harus berkeliling kota untuk mencari barang yang dipesan oleh james, well tentu saja dengan spesifikasi yang dia inginkan, dan finally, berakhir disini. Kantor pos.) Oke, ini mulai berlebihan tapi aku serius. Menyebalkan. Kualihkan pandanganku ke arah pintu  masuk, mengamati dua orang pria yang masuk dengan kikuk dan saling dorong mendorong. Tunggu dulu, aku sepertinya mengenal wajah-wajah menyebalkan itu. “Nico ? Draco ?” bisikku ke diriku sendiri. Namun, seperti nya intuisi mereka sangat kuat.  Mereka menoleh kearahku. Aku benar, ternyata memang mereka. Wajahku berubah suram. Well, pagiku yang sungguh indah telah rusak karena antrean kantor pos yang menyebalkan. Apalagi ditambah dengan bonus gratis, paket malaikat bersayap, Ralat IBLIS bersayap, lengkap dengan asistennya pria tiang listrik yang tidak kalah menyebalkannya. Silahkan saja kalian meledekku dengan perumpaan konyol yang kubuat. Namun, aku sungguh-sungguh tentang mereka. Coba bayangkan, ketika kau dihadapkan dengan keadaan menyebalkan menunggu antrean di pagi – pagi buta (well aku hanya bermajas, tentu saja ini sudah pukul 09.00 a.m), ditemani dengan iblis bersayap (aku berhenti memakai julukan bocah berandalan. Well terakhir kali aku menyebutnya seperti itu, kami berakhir dengan dikejar kejar Penjaga Perguruan. Lupakan ! aku tidak ingin mengingatnya lagi. Sung-guh-me-ma-lu-kan.) dan tidak lupa juga ada si pria tiang. Apa kau akan tahan? Sungguh, aku tidak. Kupandangi mereka yang seketika tersenyum sumringah kearahku. Memasang kuda – kuda waswas, aku berusaha tidak menghiraukan mereka. Perlahan –lahan tapi pasti aku bergeser sedikit demi sedikit ke arah kursi pengunjung yang paling sudut. Mengabaikan bobot paket yang ku bawa, berusaha secepat mungkin menghindar dari mereka. Namun, tentu saja usahaku gagal. Mereka sudah terlebih dahulu memblokir jalanku, “Efthemia Deandra ! sangat kebetulan kita bertemu disini. Sungguh pagi yang indah bukan ?” iblis bersayap memulai basa –basi setelah menghalangi ku mencapai tujuanku, “Kulihat kau kesusahan membawa itu nona, biarkan kami membantu.” Si bocah tiang melengkapi basa basi dengan perilaku sok suci. Aku menatap mereka tajam, lalu tersenyum licik, “Oh hai Nico, Draco. Sungguh menyenangkan bertemu kalian sepagi ini. Bagaimana kabar kalian  liburan ini ? sungguh menyenangkan bukan ?” Ucapku sangat  manis dengan tempo yang dilambat – lambatkan, mendramatisir keadaan. Sedetik , cukup sedetik, mereka berdua melongo. Sepertinya mereka tidak mengharapkan sikap ramah dariku. Well, jika diingat – ingat, sejarah kami memang tidak bisa dibilang bagus. Hukuman setiap minggu, pekerjaan  rumah tambahan, sampai detensi gila – gilaan dari Professor Augur menambah deretan  panjang daftar kelakuan buruk kami satu semester ini. (percayalah sobat, kami selalu terlibat masalah. Atau lebih tepatnyan masalah selalu melibatkan kami dalam setiap aksinya. Kami – tentu saja maksudku adalah aku dan iblis bersayap, karena aku tidak terlalu sering terlibat dengan si lelaki tiang. Kami sungguh membuat geger satu perguruan selama satu semester ini.) “Tidak seperti kau yang biasanya Rab. Apakah  kau  tidak salah  makan hari ini?” Iblis bersayap menatapku bingung, seakan –akan baru pertama kali melihatku, membuatku muak bukan kepalang. “Berhenti memanggilku seperti itu Nico William Angelo. Aku punya nama. Dan terimakasih untuk perhatian kalian, tetapi aku tidak butuh bantuan.” Ucapku sopan, tidak lupa juga senyuman manis yang tidak lepas dari wajahku. Mereka berdua semakin menatapku bingung. Mungkin kalian bertanya – tanya mengapa aku tiba – tiba bersikap layaknya teman  kepada mereka. Sebenarnya, ini adalah  salah satu strategiku di semester ini. Untuk mengurangi frekuensi adu mulut tidak berguna yang menghabiskan waktu bersekon – sekon. Selain itu, ini juga saran dari Med ketika sesi terapis penenangan jiwa dan raga minggu lalu saat hanya ada aku dan Med di asrama. (Aku curhat habis – habisan tentang iblis bersayap kepada Med. Betapa menderitanya aku selama satu semester ini. Dan dia menyarankanku untuk bersikap manis dan tidak mudah terprovokasi, dengan begitu iblis bersayap akan bosan mencari gara – gara denganku. Begitulah , saran ini sepertinya layak di coba, mungkin saja semester depan -yang berarti seminggu lagi- dapat berjalan dengan tenteram untukku) cukup lama mereka memandangku dengan bingung, hingga lamunan  mereka dibuyarkan  oleh petugas kantor pos yang memanggil namaku. “Miss Park, nomor urut 034. Tujuan Newyarne.” Petugas itu berseru membaca daftar panjang ditangannya. Refleks, aku bergerak menuju petugas tersebut, tanpa menghiraukan dua sejoli yang sedang terbingung – bingung memandang kepergianku. “Saya sir, ini paketnya.” Aku menyerahkan paket yang kubawa kepada petugas kantos pos tersebut. Petugas ini, maksudku paman  ini tampak masih muda, wajahnya cukup tampan untuk ukuran seusianya. Namun, percayalah sikapnya tidak mencerminkan penampilannya. Ketika menerima paket yang kubawa, dia menyempatkan diri untuk mengedipkan matanya genit kearahku. Aku cukup waras untuk tidak berkencan dengan seorang paman seumuran ayahku, sehingga mendengus cukup keras dan mendelik kearahnya. “Kau galak sekali nona, aku hanya bercanda.” Ucap paman  itu, lalu tersenyum genit kembali kepadaku. Muak dengan tingkah si brengsek ini, aku menghardiknya, “Terimakasih atas penilaianmu terhadapku  paman. Tetapi , tolong jaga sikapmu !” serangku  ganas kepadanya. Petugas tersebut terdiam, lalu dengan hening mendata paketku, tampak takut,  lalu menyerahkan  kertas bukti pengiriman kepadaku. “Kau galak juga Rab.” Tiba – tiba ada suara yang mengejutkanku. Siapa lagi kalau bukan si iblis bersayap. Kaget karena serangan mendadak, aku hampir terjungkal kebelakang. Beruntung aku dapat mempertahankan posisiku, meskipun harus bertingkah aneh seperti hendak menari simba. Kedua sejoli terkutuk itu terpingkal – pingkal melihat kekonyolanku. Cukup sudah. Aku sudah membuang banyak energi hari ini, saatnya untuk pergi. “Kau sungguh menawan jika bertingkah seperti tadi Dean, sungguh menggemaskan. Haha” Si lelaki tiang terlihat cukup terhibur karena tingkahku. Iblis bersayap pun tidak mau kalah saing, biarpun tidak mencoba untuk mencelaku, dia mengekspresikannya dengan tawa sumbang yang dibuat sekeras mungkin, sehingga beberapa orang menoleh kearah kami. Hah! Sungguh mulia perbuatan mereka. Tidak tahan lagi melihat mereka berdua, kulangkahkan kakiku menuju pintu keluar secepat mungkin. “Hey, kau mau kemana ? kau harus membantu kami Rab.” Iblis bersayap mencegahku pergi dengan menarik tanganku dan membawaku ke tempat semula, yaitu ke antrean pengunjung. Aku ingin memberontak, namun tenaga keparat ini lebih besar dari tenagaku. “Apa lagi mau kalian? Sudah cukup bukan menertawaiku ?” geramku  kepada mereka. “Bantu kami untuk mengirimkan ini.” Si lelaki tiang menjawab terlebih dahulu, lalu menyodorkan paket berukukuran sedang kearahku,“Kami harus  mengirimkan barang dari kantor pos. Secepatnya.” Iblis bersayap menambahkan”, “Jadi kau  harus membantu kami. Kami tidak biasa melakukan perkerjaan perempuan seperti ini” si lelaki tiang mengakhiri penjelasannya. Cukup lama aku untuk mencerna maksud mereka, sampai akhirnya pemahaman  memasuki diriku, dan membuatku tertawa sejadi – jadinya. Melihat reaksiku yang  meledak – ledak, mereka berdua tampak tersinggung. “Hahahaha.... kalian tidak bisa mengirim barang  dengan kantor pos ? yang benar saja ? dimana kalian tinggal ? hutan ?” aku tertawa tanpa henti mencela mereka. Sungguh sangat lucu. Sepertinya aku akan melupakan saran Med perihal bersikap layaknya teman. Lupakan saja ! begini lebih menghibur. “berhenti tertawa dan bantu kami. Tidak baik menertawai orang yang meminta bantuan kepadamu Nona.” Iblis bersayap memperingatkanku. Aku masih tertawa menanggapi protes si iblis bersayap. Butuh beberapa menit untuk meredakan  tawaku yang meledak – ledak. Setelah aku cukup tenang, mereka kembali mendesakku “Ayolah, kau harus mengirimkan  paket  ke alamat ini secepatnya. Hari ini adalah terakhir pengiriman.” Si lelaki tiang kembali berultimatum. “Apa untungnya aku membantu kalian? Lagipula beberapa menit yang lalu kalian menertawakanku, dan  sekarang kalian berharap aku membantu kalian? Mulia sekali.” Aku mendengus keras – keras dan sok jual mahal. “Kau pelit sekali, ini hidup dan mati kami. Tidak bisakah kau menurunkan sedikit kebebalanmu?” iblis bersayap berkomentar sengit, “Apa katamu ? bebal? Manis sekali caramu  meminta bantuan Angela” aku menaikkan  nada suaraku, “Jangan pernah memanggil nama keluargaku seperti itu Parkinson. Kau akan menyesalinya.” Iblis bersayap mengancamku. “Oh silahkan saja Angela, seperti aku takut saja padamu.” Ucapku tidak mau kalah, yang benar saja dia menyebut keluargaku Parkinson, seperti nama pembasmi hama, hell no . Kami bertatap – tapan cukup lama dengan sengit. Sampai si lelaki tiang menengahi, “Oke oke, sepertinya kalian harus menyudahi perang dingin kalian. Begini Dean, kami tidak bermaksud menertawaimu ataupun menggangumu. Namun hal ini sangat penting, dan kami harus mengirimkan paket ini secepatnya. Batas waktu kami adalah hari ini. Kumohon kau bisa mengerti. Kami akan membalas bantuanmu.” Ucap si lelaki tiang dengan nada memohon. Dapat kulihat si iblis bersayap melotot tidak setuju kepada si lelaki tiang. Sepertinya iblis bersayap tidak suka memohon. Aku terdiam cukup lama memandang ,mereka berdua bergantian. Tampang menyebalkan  iblis bersayap – tampang memohon lelaki tiang – tampang menyebalkan iblis bersayap – dan kembali lagi tampang memohon lelaki tiang. Akhirnya belas  kasihan menguasaiku, dan memutuskan untuk menolong si lelaki tiang. (Aku tidak pernah tega menolak permintaan orang lain, ck.) “Baiklah aku akan membantu. Tetapi ingat ini tidak gratis. Aku akan meminta bagianku  nanti.” Ucapku kepada mereka dengan tegas, lalu segera pergi mengurus pengiriman paket mereka. Tulis ini, tulis itu, tanda tangan disini, tanda tangan disitu, dan stempel dimana – mana. Akhirnya tugasku selesai. Menghela napas cukup panjang aku kembali menemui kedua sejoli menyebalkan itu dan menyerahkan bukti pengiriman kepada mereka. Setelah berbasa – basi yang cukup lama, aku bergegas meninggalkan mereka dan kembali keasrama. Sepertinya satu semester tidak cukup untuk berurusan dengan mereka tertutama si iblis bersayap-brengsek-mengerikan-Angela. Dia selalu berhasil membuatku naik darah.
Tahun ajaran baru sepertinya membuat banyak orang bersemangat dan antusias. Tidak terkecuali keempat teman sekamarku. Siapalagi kalau bukan Rav, Luna, Greta, dan Susan. Mereka tampak benar benar berkilau semester ini. Maksudku berkilau dalam artian yang sebenarnya. Entah bagaimana caranya mereka mendapatkan pernak – pernik ngejreng yang dikenakan di kepala mereka. “Apa yang lengket dikepala kalian?” aku meneliti dengan awas benda yang menempel di kepala mereka. “Oh, ini souvenir dari konser Bob Hurley minggu lalu Dean, yang benar saja kau tidak tahu ? Tiara ini sedang tren tahu !” Susan dengan segera mencela ketidaktahuanku. “Kalian sebut gumpalan permen karet warna- warni itu sebagai apa ? Tiarap?” aku semakin ngeri melihat benda yang menempel dirambut mereka, besar – terlihat lengket – membuat sakit mata. “Oh, sudahlah Dean, kau memang tidak tahu mode ! dan ini namanya Tiara bukan Tiarap.” Susan semakin jengkel melihatku, dan kembali menata rambutnya. “Kau harus mencobanya Dean, warna merah terlihat bagus untukmu.”Rav menawarkan satu miliknya kepadaku. “Tidak terimakasih Rav.” aku menolak pemberian Rav dengan sepenuh hati, “Aku harus pergi, sepertinya Med mencariku” dan bergegas pamit untuk keluar dari kamar. Jika aku berlama- lama disana, kemungkinan besar Rav akan memaksaku memakai bando aneh dengan gumpalah permen karet berwarna – warni cerah di kepalaku. No way, aku bukan badut opera yang berdandan aneh dan berkeliling dengan rombongan sirkus. Aku cukup puas dengan gayaku yang biasanya, simple present tense. Berhasil kabur dari keempat teman ku yang super unik, aku menuju ke aula asrama, berharap menemukan ketenangan. Ruangan aula masih sangat sepi, hanya beberapa anak semester pertama yang terlihat sedang berbincang – bincang seru, sepertinya mereka sangat antusias memulai sekolah Perguruan, tanpa tahu penyiksaan yang akan mereka rasakan, Tumpukan tugas – detensi – jadwal padat – larangan pacaran sungguh mengerikan – dan lusinan peraturan bodoh lainnya. Sepertinya para murid semester tua alias para senior masih sibuk di kamar mereka. Aku duduk dengan tenang di sudut ruangan, di kursi deretan paling depan yang masih kosong. Kuamati keadaan sekelilingku, sepertinya ada yang aneh dengan interior aula. Seperti ada yang bertambah dan berkurang dari tempat ini. Sekian lama aku berpikir keras merenungi interior aula, tanpa kusadari kursi – kursi aula mulai dipenuhi murid – murid. Disampingku juga telah diambil alih oleh murid perempuan berambut coklat pendek. Med duduk dibelakangku, bersama dengan teman – teman seangkatanku yang lain. Sepertinya hanya aku senior yang duduk di deretan terdepan. Tidak apalah, lagi pula tidak ada peraturan yang melarang senior duduk di deretan depan. Mengendikkan bahu tidak peduli, aku terfokus ke depan ruangan, ke arah panggung kecil yang sekarang telah tersusun deretan meja dan kursi menghadap ke arah kami – para murid. Akhirnya kusadari, perubahan interior ruangan ini karena panggung yang biasanya kosong dipenuhi oleh meja – meja besar dan kursi yang memanjang. Beberapa saat kemudian para proffesor memasuki aula dengan berwibawa dan menempati deretan meja dan kursi diatas panggung. Proffesor Chewhil, yang merupakan kepala perguruan mengangkat tangannya, menenangkan kami yang masih berbisik – bisik menimbulkan  keributan. Dia meraih mic didepannya, “Harap tenang anak – anak...”  dan memulai pidato awal tahunnya. “Selamat datang wahai jiwa – jiwa muda, di Perguruan Tinggi Ussort, Perguruan tinggi Ekonomi terkemuka di Calpurnia, bahkan mungkin di seluruh dunia. Kalian akan dididik menjadi pemimpin – pemimpin masa depan yang akan mengatur stabilitas perekonomian dunia. Perguruan ini memiliki tiga pilihan jurusan,  Accounting, Management, dan Economy . Perguruan kita juga menyediakan asrama elite yang tidak akan mengecewakan kalian. Asrama ini akan dibagi sesuai dengan jurusan pilihan kalian. Mungkin, tidak banyak yang ingin kukatakan kepada kalian, terkhusus murid semester pertama. Seperti biasa, patuhi aturan – aturan yang berlaku disini jika kau tidak ingin terkena hukuman atau detensi. Oh, satu lagi, tahun ini kita punya sedikit peraturan baru, berdasarkan  rapat dewan perguruan seminggu yang lalu, kita akan menerapkan  beberapa peraturan baru. Pertama, jam  malam akan diberlakukan (Terdengar teriakan protes dari para murid. Well, kebijakan jam malam ini sangat menjengkelkan)  , kedua, segala jenis alat komunikasi akan dilarang mulai dari sekarang, mengingat banyaknya pelanggaran – pelanggaran yang disebabkan penyalahgunaan teknologi (suara protes semakin keras. Sepertinya Perguruan ini mulai mengerikan. Lihatlah, kami akan kembali ke jaman batu kalau begini jadinya), jadi seluruh kebutuhan akan teknologi komunikasi akan difasilitasi oleh Perguruan. Ketiga , Sistem piala asrama akan kembali kita laksanakan. Sebenarnya sistem ini sudah ada berpuluh – puluh tahun yang lalu, namun telah kita tinggalkan, dan kami memutuskan untuk melaksanakannya kembali. (entah mengapa bagian ini, membuat murid – murid bersorak. Dasar hormon muda ! maunya berkonflik terus - menerus.) Karena menurut kami ini penting untuk menunjang kompetisi diantara para murid. Dan yang terakhir, kami memberi kelonggaran kepada organisasi – organisasi  murid untuk dapat aktif bergerak dikampus (Suara sorakan murid semakin kencang. Jujur aku juga senang. Karena aku juga anggota organisasi murid. Kau tahu ? tentu saja,WSM – World Student Movement, organisasi yang menjadi awal mula cerita hidupku di Perguruan ini) sepertinya hanya itu saja beberapa tambahan informasi yang perlu kalian ketahui. Sebelum kalian bubar, murid semester pertama berkumpul di Pusat Sistem Informasi di gedung utara lantai tiga, kalian harus mengisi jadwal rencana studi. Sedangkan untuk murid semester akhir, yang sedang menyusun tugas akhir agar tetap tinggal disini, ada beberapa informasi tambahan. Selebihnya, silahkan bergegas ke kekelas masing – masing. Dan jangan lupa untuk pesta penyambutan murid baru yang akan kita laksanakan lusa. Terimakasih atas perhatiannya.” Kepala Perguruan menutup pidato panjangnya dengan jumawa dan kembali duduk anggun di singgasananya. Aula Asrama kembali bising. Beberapa murid terburu – buru pergi meniginggalkan aula, dan beberapa lainnya terlihat berjalan santai sambil bercengkerama. Termasuk aku dan  teman – temanku, kami sibuk memperdebatkan peraturan baru Perguruan yang cukup menghebohkan. “Aku tidak percaya mereka membatasi jam  malam dan menyita seluruh alat komunikasi kita !” Greta terlihat kesal  luar biasa, wajar saja, dia termasuk aktivis media sosial yang sarat teknologi, pantas saja dia murka. “Aku sepakat dengan Greta, mereka keterlaluan!” Susan  membenarkan mosi tidak percaya Greta. Well, kalau Greta aktivisnya maka Susan adalah Ratunya Media sosial. Aku hanya senewen dengan tingkah Greta dan Susan.. Bisa – bisanya mereka sebegitu hebohnya hanya karena peraturan baru. “Hei, lihat sisi positif nya, WSM bisa lebih leluasa beraktivitas di Perguruan. Lagipula piala asrama tidak terlalu buruk. Kita bisa membalas para Accounting sok pintar dan para Economy sombong itu ” Ucapku menghibur mereka. “Yeah, sepertinya Dean ada benarnya. Peraturan ini imbang. 2-2 “ Luna yang sedari tadi diam, berkomentar. Kami berlima mengangguk sepakat dan  meneguhkan hati berjalan menuju kelas. Sepertinya tahun ajaran baru ini penuh dengan sensasi aneh. Aku dapat mencium bau peperangan dari kejauhan. Semoga saja firasatku  tidak benar. Kami terus melangkah menuju kelas pertama kami, kelas Filsafat. Well, tentunya kalian berpikir yang sama dengan ku. Mengapa harus Filsafat ? akupun  masih mempertanyakan itu hingga sekarang. Sepertinya kurikulim Perguruan ini mewajibkan Mata Pelajaran Filsafat disetiap semester. Walaupun bosan, aku cukup menikmati Filsafat, pelajaran  itu tidak buruk – buruk amat. Namun yang membuat suasana hatiku menjadi buruk adalah fakta setelah  sampai di kelas Filsafat. Bukan karena kelasnya jelek, atau Professor yang mengajar galak. Namun  karena, “Astaga ! terkutuklah Kelas ini. Mengapa kita sekelas dengan mereka?” sepertinya Susan  menyuarakan  pikiranku. Aku benar – benar ngeri melihat rekan  sekelas kami. “Kelas pagi, Filsafat, dan  ternyata bersama Economy. Lengkap sudah” ucapku ngeri membaca jadwal rencana studi ku semester ini. Kami memang telah menentukan jadwal kami minggu lalu, pada saat registrasi ulang semester baru. Namun, tidak dicantumkan jurusan apa yang akan sekelas dengan kami. Cukup mengejutkan kami dapat Economy sebagai pembuka. Karena biasanya kami tidak pernah sekelas dengan mereka di kelas Filsafat. “Bersikap biasa saja dan berusahalah tidak membuat keributan.” Loly, salah satu dari temanku yang sangat peduli peraturan dan fanatik habis dengan jurusan Management memperingatkan. Sepertinya sistem piala asrama membuat dia memastikan poin asrama tidak akan berkurang walau segelintirpun. “Aye-aye Kapten !” Josh yang tidak sengaja mencuri dengar perkataan Loly, mencibir dan tertawa geli. “Kalau kau berulah lagi semester ini Josh, aku tidak akan segan mencukur rambutmu sampai botak !” ancam Loly. Kami semua tertawa, termasuk Josh, sepertnya Loly menjadi agak rewel semester ini. Kami masih tertawa – tawa terhibur, larut dalam gurauan Josh, hingga segerombolan  makhluk menyebalkan dan tidak berperasaan dengan sengaja mendorong jatuh Josh sampai terjungkal ke lantai. Jika hal ini dalam situasi normal, kami semua pasti tertawa melihat adegan terjatuhnya Josh, namun karena ini situasi berbeda, kami semua mendelik kearah para ‘pelaku’ , “Ups, maaf kami tidak sengaja. Seharusnya kau tidak menghalangi pintu dengan tubuh melar milikmu Petty” ejek salah seorang dari gerombolan brengsek itu, yang bernama Daniel O’Donald. “Kau mau mati ? sialan !” Josh segera bangkit dari lantai dan menarik kuat kerah baju Daniel. “Whoa, kau  sangat  tidak  sopan Petty. Tidak begitu cara bersikap dengan sopan” Daniel mencoba melepaskan diri. “Namaku Josh Petrick.” Geram Josh tidak terima kepada Daniel. Aku mencium bau api yang akan berkobar. Oleh karena itu, dengan cepat kutarik Josh menjauh, mencoba melerai, “Sudahlah Josh, kau tidak perlu meladeni mereka.” Aku menenangkan Josh, setelah berhasil menjauhkannya dari Daniel. Aku merasa tidak perlu menanggapi gerombolan brengsek tidak tahu diri seperti mereka. Kuajak teman – teman ku yang lain menjauh dan segera mengambil tempat duduk, mengabaikan sindiran – sindiran berbunyi pengecut dari belakangku, sampai suara itu menghentikkanku, “Sepertinya kau suka sekali bersikap sok pahlawan Parkinson. Sungguh jiwa yang mulia!” suara memekakkan telinga menyindirku dengan  indahnya. Aku membalikkan  badan secepat kilat dan langsung berhadapan dengan Lelaki berambut berantakan, jangkung, dan  berwajah menyebalkan yang sedang tersenyum sinis. “Apa maumu Angela? Ingin meminta bantuan MENGIRIM BARANG DI KANTOR POS?” serangku ganas dengan penekanan kata yang kulambat – lambatkan agar dapat didengar jelas oleh seluruh isi kelas. Biar malu sekalian ! “Kau ! beraninya,” lelaki itu, iblis bersayap menatapku tajam denga wajah yang memerah pertanda murka. Aku menikmati ekspresinya bodoh nya, dan sepertinya teman –teman sekelas ku menganggap perkataanku adalah gurauan yang lucu, sehingga seisi kelas tertawa. Iblis bersayap menatapku dendam. Dia tidak mampu berkata kata selama beberapa saat, sampai akhirnya -aku tidak tahu  bagaimana caranya dia mempunyai cicak mati di kantongnya- dia menakut – nakuti  ku dengan cicak  mati, yang alhasil membuatku menjerit histeris dan berlari keliling kelas dengan iblis bersayap mengejar – ngejarku penuh dengki. Kami terus berlari seperti orang kesetanan, menjadi tontonan  seisi kelas, tanpa menyadari Proffesor Anna yang masuk kedalam kelas dan tanpa sengaja menabrak iblis bersayap yang gelap mata karena terfokus mengejarku yang menjerit jerit sumbang. Aku tidak tahu bagaimana detailnya. Namun, yang kutahu pasti,  iblis bersayap terjerembab jatuh di kaki Proffesor Anna dan cicak mati ditangannya melayang dengan anggun dan singgah di wajah Professor kami yang malang itu. Seisi kelas tertawa  terpingkal – pingkal melihat kejadian super langka tersebut, tanpa ada yang berniat untuk membantu Professor Anna yang mulai tumbang, terjatuh, dan pingsan. (Kami sungguh tidak tahu Proffesor Anna phobia dengan cicak. Sungguh.) well, seperti biasa, aku berakhir terkena detensi awal semester. Rekor terhebat sepanjang sejarah Perguruan Ussort. Setidaknya begitulah yang dikatakan Proffesor Chewhil, Kepala Perguruan. “Aku tidak mengerti. Kalian berdua selalu berlangganan dipanggil ke ruanganku  setiap bulannya. “ Proffesor Chewhil memijat tengkuknya, tampak gusar. “Aku tidak akan mengirim surat kepada orang tua kalian. Tapi kalian harus benar – benar memperbaiki kelakukan kalian semester ini, atau aku terpaksa menyurati orang tua kalian.” Proffesor Chewhil tampak serius, “Baik Proffesor” entah kenapa kami menjawab dengan kompak. Sepertinya ancaman surat membuat kami jadi sehati. (Aku agak risih dengan pemilihan kata sehati. Ck.) . “Tidak ada ruginya kalian  berdamai. Kalian murid paling brilian di jurusan kalian. Namun, juga paling merepotkan. Cobalah untuk saling berdamai. Aku mencoba membantu kalian.” Proffesor Chewhil kelihatan tampak frustasi , dan memandang kami bergantian. Kami tidak menjawab pernyataan terakhirnya, karena sepertinya baik aku ataupun iblis bersayap paham betul arti kata berdamai, dan sepertinya itu bukan perbendaharaan kata yang cocok untuk kami. Sehingga kami hanya menunduk dalam diam. Proffesor Chewhil yang sepertinya menunggu respon dari kami, akhirnya menyerah melihat keterdiaman kami, “Baiklah, aku jadi sakit kepala karena kalian. Detensi kalian di hari sabtu, lima hari lagi. Temui aku di perpustakaan. Aku sendiri kali ini yang akan memberi kalian hukuman. Sekarang kembali lah ke kelas kalian.” Proffesor Chewhil mengakhiri titahnya dan mempersilahkan kami keluar dari ruangannya. Sepanjang perjalanan dari ruangan Kepala Perguruaan hingga kembali ke kelas  Filsafat kami terhanyut dalam diam. Tidak ada yang ingin memulai pembicaraan. Kami sepertinya lebih tertarik dengan langit langit lorong dari pada mecoba memulai percakapan. Berlama – lama dalam diam bukan tipeku, sehingga aku tidak dapat menahan diri lagi dan menanyakan hal yang sedari tadi mengganggu pikiranku, “Mengapa kau menyimpan cicak mati di kantongmu?” tanyaku menuntut, tanpa berusaha menyembunyikan  nada ketidaksukaan. “Bisakah kau bertanya dengan nada yang biasa saja ?” iblis bersayap tampak geram, “Kau tinggal menjawab satu pertanyaan, apa susahnya?” aku menggerutu, “Bukan urusanmu.” Iblis bersayap tampak pongah menolak menjawab, “Kau sungguh menyebalkan!” ucapku dengan penuh dendam, lalu bergegas berjalan cepat meninggalkannya dibelakang. Tidak terima karena aku meninggalkannya, iblis bersayap mengejarku dan mensejajari langkah kami. “Kau sungguh pemarah.” Ucapnya datar. Aku tidak menanggapinya, dan berpura – pura tidak mendengar. “Kau mendengarku Rab. Seandainya kau bertanya baik – baik aku pasti akan memberitahu.” Iblis bersayap mulai berceloteh lagi. Aku tetap pada pendirianku, mengacuhkannya. Merasa diabaikan iblis bersayap meraih lenganku dan mengentikkan langkah kakiku yang berjalan cepat. Aku sudah hendak protes ketika tiba tiba dia menempelkan telepak tangannya di  keningku. “Apa kau sakit ? atau sedang datang bulan ? kerjamu  marah – marah saja dari tadi Rab.” Ucapnya sok cemas, “Enyahlah dari hadapanku. Dan kuperingatkan kau, jangan panggil aku Rab!” desisku penuh dendam, lalu menyingkirkan  tangannnya dari keningku. Iblis bersayap seketika tampak murka, namun kembali menguasai dirinya. Dia kembali mengulurkan tangannya ke arahku, hendak menyentuh keningku kebali, mungkin saja memastikan aku gila atau tidak. Namun, aku  sudah  mengantisipasinya dengan menutup wajahku. Ternyata aku salah, dia tidak ingin memastikan aku gila atau tidak. Kejadiannya begitu cepat, dia menyentuh rambutku dan mengelusnya singkat, “Aku tidak menyimpan cicak mati, itu hanya cicak mainan untuk menakut – nakuti teman kalian Loly yang sok bossy itu. Namun, kau membuatku marah dan mengeluarkan cicak itu untuk menakutimu.” Iblis bersayap mengakhiri pengakuannya dengan apik dan  pergi meninggalkanku yang melongo di tengah – tengah lorong sepi tidak berpenghuni. Terkadang iblis bersayap bisa bertingkah aneh. Aku menghabiskan banyak waktu untuk termenung sampai akhirnya menyadari bahwa aku masih harus mengahadiri kelas. Aku berjalan cepat menuju kelas Filsafat dan berusaha tidak memikirkan kejadian aneh yang baru saja terjadi. Mungkin nanti aku akan lupa dengan sendirinya.
“Filsafat berarti membuka pikiran dan mencoba untuk berpikir kritis. Filsafat akan mencari masalah dan tidak ada pembatas pada objeknya. Salah satu aliran Filsafat adalah Materialisme. Ada yang tahu apa artinya ?” Professor Augur yang menggantikan Proffesor Anna yang sedang pingsan di bangsal Rumah Sakit Perguruan, bertanya kepada murid – murid di kelas Filsafat. Seisi kelas tampak hening, tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Proffesor Augur, mengingat deretan  hukuman yang  menanti  jika kau salah dalam menjawab pertanyaannya. Aku baru saja masuk kedalam kelas dan menempatkan diri di deretan kursi paling belakang. Aku tidak terlalu mendengar penjelasan Proffesor Aaugur, sehingga menghabiskan waktu dengan  melamun. “Tidak ada yang tahu ?” Proffesor Augur mulai tampak mengancam. Seisi kelas masih diam seribu bahasa. Menghela napas kuat, Professor Augur pun menoleh tajam kearahku, dan berseru kencang, “Kau, ya kau, nona yang duduk paling belakang. Jawab pertanyaanku!” perintah Proffesor Augur kepadaku. Seluruh murid menoleh kearahku dengan tampang iba. Aku terkejut dengan seruan tiba – tiba Proffesor Augur. “Well, boleh saya mendengar sekali lagi pertanyaannya Proffesor?” tanyaku ragu ragu. “Kau tidak tuli kan ? aku bertanya apa yang dikatakan Filsafat Materialisme?” Proffesor Augur mengulang pertanyaannya dengan gusar. Aku mencerna pertanyaannya beberapa saat, lalu berdiri dengan percaya diri. “Filsafat Materialisme adalah filsafat yang menempatkan sesuatu berdasarkan logika. Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi.” Aku menjelaskan panjang lebar pertanyaan tersebut dengan satu tarikan napas. Dapat kurasakan seisi kelas menegang, tampak menunggu respon dari Proffesor Augur. Semenit yang terasa seperti setahun, akhirnya Proffesor Augur berbicara, “ Ya, bagus nona Park. Sepertinya kau memperhatikan materi pelajaran sebelumnya.” Ucap Proffesor Augur datar. Aku mengangguk pelan lalu duduk kembali di tempatku. Tentu saja benar, ini pelajaran favoritku, aku tidak mungkin tidak tahu. Tersenyum penuh kemenangan di dalam hati, aku bergerak – gerak senang di kursiku. Tetapi itu hanya berlangsung sebentar, karena aku merasakan tatapan tajam dari sebelah kananku, membuatku menoleh dengan cepat kearah si pemberi ‘tatapan’. Disana, duduk dengan kaki bersila, memainkan pupen dengan jari tangannya, tersenyum sinis kearahku, siapa lagi kalau bukan iblis bersayap. Aku menghiraukannya dan kembali memperhatikan pelajaran. Sepertinya iblis bersayap bertingkah aneh seharian ini. Mengejar – memegang – mengelus – menatap , oh , tidak ada habisnya perilaku anehnya. Biarkan sajalah. Asalah tidak dekat – dekat dengannya aku akan aman untuk beebrapa hari kedepan. Karena dia tidak mungkin berbuat nista padaku beberapa hari ini, mengingat kami telah mengantongi detensi hari ini. Namun aku harus tetap berhati – hati. Iblis bersayap menjadi sangat agresif akhir – akhir ini. Membuat dia terlihat menyebalkan. Yeah,  Semakin menyebalkan. Sepertinya tahun ajaran baru ini sungguh sarat derita.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SUDAHKAH GMKI MENJADI SEKOLAH PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN NILAI – NILAI GMKI ?

REFLEKSI DIRI : PAHLAWAN SAMAR DALAM MEMORIAL

Perkenalan Edisi I