SIKLUS - Kebahagiaan
SIKLUS
Terkadang banyak yang merasa
dialah bintang dan terang. Namun, hanya sedikit yang membuktikan kilaunya.
Terkadang banyak yang merasa merekalah yang terluka dan merasakan duka. Namun
setetes air mata pun tak turut jatuh menggenangi pipinya. Terkadang banyak yang
merasa di bohongi dan dicurangi. Namun hanya sekian hati yang merintih
kesakitan. Terkadang banyak yang menyimpulkan dan menjadi jenius dalam
sepersekon. Namun hanya secuil yang dapat memberikan fakta dan realita. Hidup
memang kacau. Yeah, begitulah siklus dunia yang terus menerus berulang. Manusia
– manusia egois. Manusia – manusia serakah. Tetapi tidak untuk beberapa orang.
Mungkin untuk mereka yang membaca dan menyelami buku fana karya sang Pencipta.
Sejak dunia diciptakan, sejak adam dan hawa ditempa dari tanah liat yang kumuh,
semua sudah terlihat dengan jelas. Keterbatasan manusia, kekacauan manusia, dan
keberhargaan mereka juga. Mengerikan, memang. Mereka dapat saling membunuh
hanya demi sebongkah batu berkilau bernama berlian. Mereka dapat saling
menghardik hanya untuk deretan kata berbunyi ‘kekuasaan’. Mereka dapat saling
mendorong dan menjatuhkan hanya untuk sesuatu yang bernama cinta. Sebelum aku
lebih jauh lagi berasumsi dan berdialektika, mari kubawa kalian menuju dunia
dimana manusia memulai siklusnya.
1196 SM (Masa Pemerintahan Ramesses
II ; Abad ke – 19 ; Kekaisaran Mesir Baru)
Kebahagiaan.
Pemerintahan semakin kacau dari
hari ke hari. Sebuah pertanda keruntuhan kekaisaran mesir. Sepertinya Ramesses
II sedang dalam ambang kritis dalam mempertahankan popularitasnya, oh tentu
saja maksudku mempertahankan kekaisaran. Pasukan Yunani semakin menggila
beberapa dekade ini. Membantai, menebas, dan menghancurkan apa saja untuk
memperluas teritorialnya. Kabar terakhir yang didengar Abdias, mereka telah
sampai di semenanjung entah apa namanya, yang penting mereka telah dekat dengan
Kekaisaran pasir emas. Lega ? tentu saja. Akhirnya Abdias memiliki kesempatan
untuk kembali ke kampung halamannya. Terlebih lagi dengan kondisi isterinya yang
sedang membesar, kondisi Mesir tidak membantu sama sekali untuk kelangsungan
hidup bakal bayinya nanti. Bayi ? benar, Abdias sebentar lagi memiliki
keturunan. Mungkin kata yang tepat bukan sebentar, tapi beberapa bulan lagi.
Akhirnya, setelah menunggu berpuluh – puluh bulan lamanya, dewa akhirnya
mengabulkan permintaannya. Zeus mendengarnya. Dia yakin itu. Meskipun jauh dari
negerinya, Abdias adalah seorang pengikut yang setia. Dia tidak akan
menundukkan kepala kepada Horus ataupun Amon Ra. Zeus tetap menjadi panutannya.
Tersadar telah melamunkan banyak hal, Abdias bergegas menuju gubuk nya.
Istananya tercinta. Mempercepat langkah mendaki bukit kerdil dengan bantuan
akar pohon yang mencuat ke permukaan tanah, Abdias pun sampai di puncak bukit.
Tersenyum memandangi gubuk tuanya, dia melihat Alexandra melambai kearahnya. Abdias
terengah – engah karena berlari mendapati isterinya yang berdiri di depan pintu
gubuk mereka. “lama menunggu yang mulia ?” Abdias mengambil tangan isterinya
dan mengecupnya beberapa detik, kemudian tersenyum. “berhenti memperlakukanku
seperti seorang ratu Abdias. Sebentar lagi kau akan menjadi ayah, berhentilah
bersikap kekanakan.” Alexandra tersipu sebentar, sebelum mulai mengomeli
suaminya. Lagi. Yeah, selalu seperti ini. Mereka keluarga bahagia. Hidup jauh
dari jangkauan masyarakat mesir, memainkan drama picisan sebagai keluarga kekaisaran
yang terhormat, dan berandai – andai putera atau puteri mereka akan menjadikan
drama picisan tersebut menjadi kenyataan. Imajinasi ? tentu saja itu mustahil
untuk terealisasi. Mereka tahu itu, tetapi mereka selalu memainkan drama
tersebut, berharap Zeus akan mendengar dan mengirim berkah dari langit.
Langit sudah semakin gelap,
ribuan pasang kaki bergerak teratur. Bak genderang perang, mereka ciptakan
suara mengerikan. Bergerak menuju tujuan yang sama. Mengejar kilauan pasir
emas. “aku dapat merasakan hawa gurun, sebentar lagi kami akan datang.”
Seseorang berbisik di kegelapan. Suara hentakan kaki kembali memenuhi rimba
hijau yang kelam. Mereka terus berjalan dan terus maju kedepan. Mungkin
beberapa bulan lagi mereka akan sampai tujuan. Cahaya kemerahan dari kejauhan
menghentikan langkah mereka. Salah seorang prajurit berlari tergopoh – gopoh
kearah seseorang di kegelapan tadi. “jenderal, kedatangan kita telah diketahui”
dengan napas memburu prajurit itu melaporkan. “negeri pasir itu masih jauh,
butuh beberapa bulan bahkan tahun untuk sampai kesana. Tidak mungkin kita telah
dilacak” seseorang yang disebut jenderal tersebut mendesis marah. “kami tidak tahu
jenderal Aetos, mereka telah melacak kita. Dua hari yang lalu ada pemburu yang
mengikuti salah seorang mata- mata kita. Kami pikir dia hanya ingin mendapatkan
buruan yang lari. Ternyata dia salah seorang dari bangsa bar – bar itu.” Prajurit
tersebut menunduk takut. Sang jenderal hanya diam tak bergeming. Secepat dia
berbalik pergi, secepat itu pula dia menarik pedangnya dari sarungnya,
menimbulkan bunyi nyaring yang mengilukan, dan menebas kepala prajurit itu
hingga terlepas. Tanpa beban ia berjalan menuju kegelapan. “bersiaplah, kita
akan bertempur saat fajar menyingsing. Karena kesalalahan satu kepala ribuan
kepala akan ditebas besok.” Dia mengucapkan deretan perintah tersebut dan
tenggelam dalam kegelapan, menyisakan sepeleton prajurit yang menonton hukuman
seumur hidup yang baru saja terjadi atau lebih tepatnya mati. Tidak ada lagi
yang berani angkat bicara. Seluruh pasukan berhenti, dan bergotong royong membuat
perkemahan dadakan. Semalaman mereka menyusun strategi dan meletakkan lusinan
peledak disekitar arena perang yang akan berlangsung. Sepertinya akan ada
lautan darah esok hari.
Kabar peperangan yang terjadi
antara Yunani dan Babylonia, sang bangsa pengembara tersiar sampai ke mesir.
Tidak terluput juga dari pendengaran Abdias. Dia mencuri dengar dari seorang
janda di pasar yang berbicara dengan seorang tukang pandai besi. “aku dengar
mereka (Yunani) kalah dalam pertempuran. Dan sisa prajurit mereka kembali ke
negeri asal mereka. Bangsa bar – bar itu sungguh mengerikan. Mereka memilih
rute yang buruk untuk menuju ke sini” janda tersebut bergosip seru dengan
seorang tukang besi. Abdias tidak menyia – nyiakan informasi ini. Dia dengan
cepat berlari menuju gubuknya. Berlari, mendaki, merangkak, menyelam, berlari.
Dia semakin mempercepat perjalananya. ‘Alexandra harus tau ini’ pikirnya.
Didobraknya pintu gubuk yang sudah reyot dan mendapati isterinya tergeletak tak
bernyawa dengan tangan memegang perutnya. Lehernya hampir lepas, seakan – akan
telah di gorok oleh sesuatu yang tajam. Pikirannya kosong. Dunianya hancur. Dia
tidak bergeming untuk beberapa saat. Sulit untuk memproses apa yang sedang
terjadi. Dia mengira dia tengah bermimpi lagi dibawah pohon di siang bolong.
Namun sesuatu mengagetkannya, membawanya kembali kedunia nyata. Ada yang
bergerak di dapurnya. Benda – benda berjatuhan. Piring, sendok makan, panci,
menimbulkan suara berisik yang memekakan telinga. Setelah beberapa saat terdiam
dan mendapatkan jiwanya kembali, Abdias berlari kedapur dan melihat seorang
pria paruh baya bersembunyi ketakutan di sudut ruangan. Seakan – akan bertindak
idiot, mengira Abdias tidak akan melihatnya, di tangannya ia memegang pisau
berlumuran darah. Seluruh tubuhnya gemetaran. “apa yang kau lakukan ?” Abdias
meraung marah pada pemuda itu, ia tidak memperdulikan sopan santun lagi.
Persetan pria itu lebih tua darinya. Kematian isterinya menjelaskan segalanya
dengan lebih mudah. Bunuh orang ini, siksa dia. Maka Alexandra akan hidup
dengan tenang di alam baka. “aa..aku telah memperingatkannya. Dia tidak boleh
melahirkan bayi seorang yunani disini. Di negeri ini, dia tetap seorang mesir.
Keluarganya akan membencinya. Mereka akan membencimu ! kau telah mencuci
otaknya” pria itu meracau tidak jelas, dan mencoba mengacungkan pisaunya ke
arah Abdias. Namun, itu tidak bereaksi sama sekali, semakin pria itu membual, Abdias
semakin ingin membunuhnya secepat mungkin. Abdias bergerak mendekati pria itu.
“berhenti ! atau aku akan membunuhmu ! tidak, aku akan membunuh diriku dengan
begitu kau tidak akan bisa membunuhku! Haha benar, kau takut . aku, aku...
aargggghhhh!” pria itu bergerak – gerak melambaikan pisau ditangannya ke arah Abdias
dengan gemetaran, lalu berteriak frustasi. Dia ketakutan. Abdias semakin
mendekat, dan hal itu membuat pria itu semakin takut. Dia memutar arah pisau
ditangannya menghadap dadanya, mencoba menikam dirinya sendiri. Dia mengangkat
pisau itu tinggi dan, blam ! Abdias dengan cepat menendang pria itu sehingga
pisau terlepas dari tangannya dan terlempar beberapa meter jauhnya. “kau pikir
aku akan membiarkan kau mati begitu saja IDIOT ?!” Abdias memukul pria itu
tepat diwajahnya dan menimbulkan suara blam yang keras. “kau tahu berapa lama
aku menunggu kebahagiaan ? lima tahun !” Abdias mulai terengah – engah,
“...hhh... aku menantikan seorang gadis satu tahun lamanya di negeri terkutuk
ini. Dan kami butuh tiga tahun untuk mendapatkan seorang bayi kecil. Kau tahu
?!” ia berseru keras dan menendang pria itu hingga menampar dinding kayu yang
kokoh. “dan kau mau tahu lagi ? aku hanya butuh satu bulan lagi agar bayi itu
lahir dan memiliki keluarga bahagia. Tapi kau menghancurkannya ! kalian orang
mesir yang menjijikkan membunuh
kebahagiaanku !!” Abdias menarik kerah pria itu dan menghempaskannya dengan
keras ke lantai tanah gubuknya. “kalian memang pantas mati ! Yunani tidak kalah
dengan mudah, mereka hanya mengambil rute yang sulit. Kau tahu kenapa ? karena
mereka itu ksatria sejati ! bukan pengecut seperti kalian !” Abdias
melampiaskan emosinya dan melemparkan pria itu sekali lagi. Namun, semua terjadi
begitu cepat, pria itu terlempar ke arah yang tepat, tempat pisau miliknya yang
sebelumnya terlepas berada. Diambilnya pisau itu dengan cepat dan dihujamnya Abdias
tepat di pahanya. Abdias mengerang kesakitan, dan ambruk seketika. Dipandangnya
pria itu dengan gertakan gigi dan tatapan kebencian. “sepertinya aku berubah
pikiran. Aku juga akan membunuhmu. Kalian orang yunani tidak tahu diuntung.”
Desis pria itu dengan sinis dan mengangkat pisaunya tinggi. Hening. Tidak
terdengar jeritan atau erangan. Pria itu rubuh seketika dan sesuatu menyerupai
busa keluar dari mulutnya. Matanya seperti akan keluar, sungguh pemandangan
yang mengenaskan. “terimakasih atas pujian perihal ksatria sejati barusan.
Omong – omong kami memilih rute bukan karena itu sulit dan menantang. Tapi itu
semata – mata untuk mengecoh. Tapi pendapatmu boleh juga” seorang pria tua
berjalan mendekati Abdias. Dia berjalan sedikit pincang, namun aura nya sungguh
perkasa, membuktikan dia bukan orang sembarangan. “kau masih bisa berdiri bukan
? kita selamatkan bayimu terlebih dahulu. Pria tua itu memasukkan busurnya ke
tempatnya dan berjalan kearah ruang depan gubuk Abdias, tempat mayat isterinya
terbujur kaku. “siapa kau ?” hanya itu kalimat yang keluar dari bibir Abdias,
ia tidak punya banyak tenaga untuk melayangkan deretan pertanyaan panjang. “aku
bukan orang asing bung. Kita dari negeri yang sama. Segeralah balut lukamu. Aku
akan urus bayimu, sepertinya masih belum terlambat.” seru pria tua itu sebelum
sepenuhnya meninggalkan Abdias sendirian, untuk mengurusi luka – lukanya.
Perjumpaan yang singkat bagi Abdias. Dia pikir kebahagiaan telah
meninggalkannya selamanya. Ternyata, sang dewa petir berkehendak lain. Dia
mengutus pria tua entah siapa ini untuk menyelamatkan Abdias dari kesengsaraan.
Setidaknya itulah yang dipikirkan Abdias.
.
.
.
“ayah. Buatkan aku busur yang
baru. Ayolah. Oke ?” seorang anak laki – laki berumur sepuluh tahunan merengek
kepada Abdias. Berkali – kali dia menarik – narik jubah panjang Abdias,
menggangu pekerjaannya membuat lemari kayu. Anak ini tidak menyerah begitu
saja, dia berjalan entah kemana dan kembali membawa seikat gandum mentah.
“ayolah yah. Aku akan membayar untuk itu. Ini akan kuberikan seluruh gandum
yang berhasil kupanen bersama dengan kakek. Tenang saja, aku akan memberikan
potongan harga untuk ayah.” Anak itu menepuk – nepuk dada dengan angkuh, merasa
ia telah melalukan transaksi yang besar.
“berhentilah nak. Kau tidak akan bisa menyogokku kali ini.” Abdias tertawa
kecil melihat putra kesayangannya memberengut kesal. “kau bisa meminjam punya
kakek jika punyamu sudah tidak bagus” Abdias menambahi, berharap puteranya akan
setuju dan berhenti menginterupsi pekerjaannya. Dia harus menyelesaikannya setidaknya
malam ini. Pelanggannya terus menerus mengeluh mengenai waktu pengerjaan
pesanan mereka, tanpa tahu menahu bahwa membuat lemari kayu tidak semudah
menggoreng bebek didalam kuali. Tapi, apa mau dikata, ini sudah pekerjaannya. Abdias
tidak boleh mengeluh apalagi membandingkan pelanggannya dengan bebek. Uh, sangat
tidak pantas. Tentu saja bebek lebih berharga bagi Abdias, dari pada pelanggan
cerewet yang suka mengomel. “baiklah. Aku pergi. “ anak itu berdesis kesal,
dengan wajah berkerut ia kembali menghilang entah kemana. Abdias tersenyum,
puteranya telah tumbuh dewasa ternyata. Ia kembali berfokus pada lemarinya.
Sedikit sentuhan lagi lemari ini akan siap pakai. Baru aja Abdias akan memalu
potongan kayu terakhir, terdengar jeritan dari anaknya. “aarghh!!!!” lengkingan
anak itu terdengar nyaring. Secepat kilat Abdias berlari kearah anaknya, menuju
halaman belakang rumah. Dia sangat tergesa – gesa hingga tidak sadar menginjak
perangkap babi hutan yang sengaja mereka pasang di halaman belakang rumah. “oh,
tidak ! ouch.” Abdias mengadu kesakitan. Sekarang posisi tubuhnya terbalik
sempurna, kakinya berada diatas. Dia tidak main –main soal itu. Dia benar –
benar terjebak di dalam jebakannya sendiri. Kepalanya terasa pusing, sehingga
penglihatannya tampak buram. Samar –samar ia melihat puteranya tersenyum. Hey,
tunggu dulu, tersenyum ? “halo ayah !” anak
itu memulai dengan sapaan ringan. “ayah baik – baik saja kan ? hehe” si
anak hanya nyegir kuda, mempertontonkan wajah tidak bersalah kepada ayahnya.
Sedetik kemudian Abdias sadar anaknya telah menipu dia untuk kesekian kalinya.
Yeah, tentu saja resiko memiliki anak jenuis itu sangat tinggi. Kau mungkin
saja akan masuk perangkap babi hutan, terjebak disangkar, memakan buah yang
menyebabkan gatal - gatal, atau berakhir dengan digigiti kutu jerami. “wah,
wah, apa yang terjadi disini ? “ seorang pria tua tiba – tiba datang dari arah
kandang domba. “haha kau tertipu lagi oleh anakmu sendiri eh ? Abdias pahlawan
perkasa, diakali oleh bocah berumur sepuluh tahun? Haha” gelak pria tua itupun
pecah. “oh berhentilah mengolok – olokku aetos! Turunkan aku sekarang” Abdias
berseru kesal kepada pria tua itu, atau perlukah dia menyebut pria ini kakek ?
entahlah Abdias tidak peduli, yang terpenting dia dapat terlepas dari jebakan
ini secepatnya. “oh, oh, oh, tentu saja tidak yah. Aku akan melepaskanmu sampai
kau berjanji akan membuatkanku busur yang baru, yang seperti milik Theseus. Oh
bukan, aku ingin yang lebih bagus. Kau pasti bisa kan yah ? ayahku kan jago
banyak hal “ si anak mencoba bernegosiasi dengan licik, melontarkan deretan
perintah dengan kombinasi sedikit pujian, berharap pria dewasa yang sedang
bergantung terbalik dihadapannya menyetujui permintaannya. “Abercio !! ayah
memperingatkanmu !!” Abdias mengancam dengan sengit. Anak yang dipanggil
Abercio menelan ludah dengan gugup, ia tidak menyangka ayahnya akan marah.
Beberapa detik terdiam abercio tersenyum menyeringai. Abdias menatap anaknya
aneh, tidak habis pikir anaknya masih bisa tersenyum, padahal dia yakin sekali
sudah marah dengan benar. “aish, aku tahu ayah tidak marah. Hidungmu berkedut
menandakan kau sedang berbohong. Uh, aku sudah bilang kan akan memberikan
gandumku tapi ayah memaksaku untuk memakai cara keras. Aku memperingatkan ayah !!” abercio mengacungkan telunjuknya
dan berkacak pinggang angkuh, wajahnya tampak kesal. Aetos tampak melongo,
hampir menjatuhkan rahangnya. Abdias melotot tidak percaya, benarkah bocah
ingusan didepan nya ini anaknya ? zeus tidak salah memberikan dia anak kan?
Tentu saja tidak, Abdias menggeleng ngeri melihat abercio menghentakkan kaki
menunggu. “ayolah, ayah tinggal menjawab iya. Aku menunggu.” Abercio mengomel
tidak jelas dan bersungut – sungut manja. Yeah, tentu saja, sekejam apapun Abdias
membesarkan puteranya dia tidak pernah menang jika berurusan dengan puteranya yang
berotak jenius ini. Selalu saja seperti ini, ia akan melongo beberapa saat akan
kejeniusan puteranya dan detik kemudian akan mengiayakan kemauan puteranya.
“ba..baiklah. tapi turunkan ayah.” Abdias mendapatkan kembali kata – katanya
setelah sekian lama terdiam, dan meminta abercio menurunkannya segera. “ck, kau
selalu saja menuruti putera semata wayangmu ya nak. Sepertinya dia harta yang
berharga.” Aetos tersenyum pada Abdias setelah melemparkan komentar singkat,
menepuk pundak Abdias yang terbalik dengan keras, tentu saja diikuti erangan
mengaduh ala Abdias dan berjalan mengikuti abercio yang bersiul senang mencari
gunting rumput. “ya, dia memang harta ku aetos. Kebahagiaanku. Putera pertamaku.”
Abdias berbisik pelan setelah ditinggal oleh aetos. Ia melirik putera kecilnya,
meskipun dengan kondisi terbalik, ia tidak peduli, yang penting ia dapat
melihat senyum puteranya merekah. Ia memiliki mata yang cantik seperti
alexandra dan kepintaran seperti seorang putera Athena. Padahal Abdias yakin
tidak ada keluarganya yang pintar, mendekati saja pun tidak, contoh nyatanya
saja Abdias, dia tidak pintar, tidak terlalu tampan, dan tidak gagah. Dewi
fortuna yang turut campur menuntunnya sampai kemesir sehingga bertemu alexandra
dan mendapatkan seorang kesatria kecil tangguh seperti abercio. Seperti
namanya, putera pertama. Dia juga bak kebahagiaan pertama bagi Abdias. Oh,
tidak lupa juga dengan aetos atau jenderal aetos ? entahlah, dia tidak terlalu suka jika Abdias mengungkit
–ungkit perang dengan babylonia itu lagi. Setidaknya aetos memerankan sosok
penting disini.
“kakek ? apa kau pandai bermain pedang ?” pada
suatu malam abercio bertanya pada aetos. “tentu saja, kakekmu dahulunya adalah
seorang prajurit Yunani yang perkasa” Abdias menyeletuk dengan seenaknya,
menimbulkan kedutan di wajah aetos. Jujur saja, aetos merasa dihina dengan kata
prajurit. Huh, yang benar saja, dia seorang jenderal yang hebat. “tutup mulutmu
Abdias. Aku lebih dari seorang prajurit.” Aetos tersenyum bangga kepada anak
yang dia anggap cucunya sendiri. “whoa, kalau begitu ajari aku ! achilles
mengejekku karena tidak bisa bermain pedang. Huh menyebalkan.” abercio
bersungut - sungut kesal mengingat kejadian tempo hari, ketika achilles
mengolok – olok keterampilan pedang abercio yang lumayan buruk. Telunjuknya
mengacung keatas dan kebawah dengan geram, tampak berapi – api karena kesal.
“eh ? ajari apa?” aetos tersenyum miring. Tampak ragu. Dia merasa bencana
sebentar lagi akan datang. Abdias tertawa mengejek kearah aetos. Seakan
mengatakan ‘sekarang giliranmu bung!’. Aetos menelan ludah. Bergegas pergi
pelahan – lahan menuju pintu. Berharap abercio akan tertipu dengan alasan
memancing di sungai. “menyerahlah aetos, dia tidak akan berhenti sampai bisa
menggunakan pedang dengan mata tertutup. Alasan memancingmu tidak akan mempan.”
Abdias tiba – tiba saja berada di belakangnya, dan berbisik pelan, lalu berlalu
meninggalkannya dan abercio, hanya berdua. Mata anak itu tampak berbinar – binar.
Setidaknya dia tahu, mengapa Abdias tidak bisa menolak permintaan abercio. Anak
ini kelewat menggemaskan, dan eh apa ya namanya ? licik ? entahlah aetos tidak
memiliki kata –kata lagi. “aku anggap diam sebagai jawaban iya. Yeayy !!”
abercio berseru kegirangan. Dia tidak membayangkan akan belajar pedang sebentar
lagi. Lihat saja dia akan menyusul teman – teman nya. Enak saja mereka
meremehkannya, mengatakan dia anak kecil. Omong kosong, usianya sudah sepuluh
tahun sembilan bulan, hanya butuh tiga bulan lagi untuk menginjak sebelas
tahun, itu hanya tiga tahun lebih muda dari theseus dan lima tahun lebih muda
dari achiless. Sungguh menyebalkan. Abercio menggosokkan tangannya bersemangat,
tentu tidak lupa dengan seringai jahilnya. Dia membayangkan latihan yang
menyenangkan bersama ayah dan kakeknya. Sepertinya apa yang dikatakan ayah
tentang putera pertama memang benar. Dia memang selalu ingin yang pertama.
Tentu saja salah satu diantaranya adalah menjadi kebahagiaan pertama ayah dan
kakeknya.
Fin.
Komentar
Posting Komentar