Dean - Kiamat James (Purple Edition)
Kiamat James
(Purple Edition)
“Hei kau tidak serius bukan perihal
kiamat itu ?”
.
.
.
Kala
itu hujan lebat, suhu udara turun seketika mendekati titik nol. Bulir – bulir
embun malam menghalangi pandangan
beberapa meter jauhnya. Sepi. Hampa. Hampir tidak ada tanda kehidupan tampak
mewarnai kota itu. Semua kelabu. Gradiasi warna pucat, perpaduan hitam dan
putih yang mendominasi. Yeah, tentu saja. Nyaris. Kecuali seorang pemuda tinggi
jangkung yang sedang mengais – ngais tong sampah dibawah guyuran butiran beku
yang menusuk kulit. Namanya James. Seragam sekolahnya yang lecek dan kotor
mengukirkan nama itu. James tampak panik. Ia melemparkan apapun yang
dilihatnya, ketika benda itu tidak sesuai ekspektasinya. Sambil mengulang –
ulang ceracau tidak jelas, yang kurang lebih berbunyi “astaga”, “sayangku”,
“Rabku yang malang”. James terus – menerus bergumam tidak jelas. Beberapa detik
berlalu, atau menit ? jangan – jangan sudah berjam – jam ? Entahlah, James
tidak peduli. Kaki dan tangannya tetap setia mengais lusinan tong sampah yang
tertangkap oleh matanya, tampa mempedulikan tubuhnya yang lelah karena terlalu
banyak pergerakan. Wajar saja penampilannya saat ini seperti astronot luar
angkasa. Demi Neptunus ! entah apa yang dipikirkannya, sehingga memilih style seperti itu. Seharusnya dia berada
di Antariksa, bukan di kota kecil seperti Pensylvania.
.
.
.
“James
!” merasa dipanggil, sang pemilik nama menoleh kebelakang, mendapati kakak
sematawayangnya yang sangat teramat cerewet. Astaga. Bukan saatnya James
mengawali pagi dengan perasaan kesal. Terlebih pada makhluk berbahaya yang satu
itu.
“Ada
apa? Kau menggangu sekali sepagi ini kak.” Gerutu James sambil menyeruput susu
cokelat miliknya dan bergegas menyimpulkan tali sepatunya. Tidak lupa dengan iringan ocehan Dean, kakaknya, tentu saja.
Mencekcoki James dengan deretan kalimat memusingkan seperti, “James Park ! cepatlah bersiap payah !”
atau mungkin juga lengkingan yang memekakkan yang kurang lebih berbunyi “Berhenti menamai semua barang – barangmu
dengan kelinci !” atau barangkali “Kau
mencuri gantungan milikku yag baru saja kubeli heh ?” Entahlah. James tidak terlalu mempedulikan
ocehan Dean. Toh, dia akan diam dengan sendirinya nanti.
Satu
sentuhan terakhir, James menyelesaikan urusannya dengah tali – temali. Tanpa
repot – repot menanggapi Dean yang mengamuk, James bergegas mengambil tas
kesayangannya diatas meja makan, mengucapkan basa – basi penghormatan kepada Dean
atas omelan pagi yang menyebalkan, lalu melesat secepat mungkin menuju
sekolahnya. Namun, sepertinya ia melupakan sesuatu yang sangat penting.
Sungguh. Ia benar – benar lupa. Tapi ya sudahlah, paling dia akan ingat juga nanti.
James
mengeluarkan bungkusan hitam dari tasnya dan membuangnya ke tong sampah
terdekat, menghilangkan bukti kejahatan yang ia lakukan. Yeah, benar sekali. James
baru saja melakukan pelanggaran pagi ini, dan sangat fatal. Selain menghindari
omelan rutin Dean, James juga mengindari
menjadi sasaran kemurkaan sang kakak karena perbuatan nekatnya. Untuk kedepannya James akan
berpikir ulang untuk mencuri barang – barang sang kakak. Well, mencuri barang
pribadi memang termasuk kategori
pelanggaran hukum. Namun jika itu adalah barang milik perempuan perkasa bertenaga kuda. Itu adalah Pelanggaran
Hukum Berat. Vonisnya adalah siksaan seumur hidup.
James
kembali mendengar sayup - sayup omelan Dean yang berkepanjangan tiada henti, Ia
pun memacu langkah kakinya. Suara – suara sumbang Dean lambat
laun hilang ditelan jarak. Mungkin teriakan penghabisan terakhir dari
sang kakak yang masih terdengar jelas oleh James, “Berhenti atau kau akan mati
nanti malam bodoh!” Mendengus keras, James mempercepat langkahnya, setidaknya
sekarang frekuensi suara Dean tidak lagi mengusik gendang telinganya. Ck, Bisa
– bisanya nenek sihir yang satu itu mendoakan adiknya cepat menamatkan kehidupan.
Besok – besok ia harus ingat untuk merekomendasikan kepada Mom dan Dad untuk
membelikan Dean obat anti mengamuk. Setidaknya dia tidak perlu harus sarapan omelan setiap pagi. Namun, James tidak
menyadari bahwa hari dimana dia menanti – nantikan festival kebudayaan tahunan
di sekolahnya, merupakan hari dimana dia
berduka dan meratapi nasib diatas ubin yang dingin dan beku. Yeah, tentu. Sungguh
sial nasibnya. James yang malang. Lain kali dia akan mempertimbangkan jika ada
yang ingin memberikannya jasa meramal gratis. Meskipun orang itu adalah
perempuan manis berlesung pipit.
.
.
.
“Hei James
!” seorang perempuan memanggil James bersemangat.
James
menoleh. Perempuan itu membawa tumpukan kartu warna – warni. Hanya butuh lima
sekon. James mengerti apa keinginan si manis berbahaya ini. James pun
meluncurkan amunisi penolakan sebelum makhluk dihadapannya saat ini buka suara.
“Tidak,
terimakasih Lois. Aku tidak percaya kartu tarot!” James menolak sopan.
“Ini
hanya permainan kok. Kau boleh menggabaikannya saja. Aku hanya ingin mencoba –
coba, sungguh” perempuan itu menatap James penuh makna, lengkap dengan mata
berkaca – kaca.
“Tidak
Lois. Kau tahu aku benci itu.” James mengelak.
“Ayolah
James. Kumohon.” Kembali menatap penuh makna.
“Lois,
yang benar saja. Tidak tetap tidak.” membalas tatapan dengan bosan. Masih
menolak.
“James.
Oh ayolah.” Mulai merengek, menarik baju James.
“Kau
menakutiku.” Menatap curiga.
“
Ayolah. James, kumohon.” kembali merengek manja.
“Apapun
yang kau lakukan, tetap tidak.” James mendelik sengit.
“Akan
kulakukan apapun untukmu.” Mulai bernegosiasi.
“Aku
tidak tertarik Dear. Aku bisa melakukan apapun yang kumau tanpa bangtuanmu.
S-e-n-d-i-r-i.” Membalas dengan sengit. James sengaja menekankan kata sendiri.
Entah mengapa penawaran ini membuatnya jengkel. Dia bukan tipe laki – laki yang
menganut paham kabul mengabulkan permintaan. James bukan Aladdin dan perempuan ini bukan Jin.
James tahu benar itu.
“Kalau
begitu, aku akan mentraktirmu makan” tidak menyerah begitu saja. Perempuan ini
menakjubkan.
“Aku
tidak suka makan.” James menjawab jujur. What
a joke ! Dia pikir James akan tergoda dengan makanan ? Sungguh lelucon yang
menghibur.
“Baiklah,
ini penawaran terakhirku. Dan kau tidak
akan menolak” semangat yang luar biasa. James terpana. Tentu saja, kepercayaan
diri Perempuan ini patut diacungi jempol. Bila perlu jempol kaki.
“Tidak
Per...” James kembali akan menolak, namun si Cerdik memotong dengan segera.
“Voucher
Belanja di Briliant Book Store, Newyarne City Walk.” Perempuan berlesung pipit,
berambut keriting, kurus, dan licik tersenyum simpul. Dia tau dia menang.
“Apa?”
James bersorak spontan karena terkejut, lalu terdiam. Lagi – lagi terpana. Oh,
bukan. Kali ini dia takjub. Wah. Ini baru namanya transaksi jual beli. Persetan
dengan teori pasar ala Dean yang acap kali James dengar dirumah. Inilah bisnis
yang sebenarnya. ‘Kau jual, makan akan ku
beli’ ‘kau pelanggan maka akan
kulayani’. Begitu pikir James. Akhirnya dia menemukan hakikat permintaan
dan penawaran pasar yang sesungguhnya. Omong kosong dengan Adam smith dan teori
– teori memusingkan miliknya. Lois dan vouchernya benar – benar membuat James
terlena.
“Kau
mau atau tidak ? James ?” Perempuan itu. Lois menawarkan kembali. Senyum
manisnya penuh misteri. Menatap James penuh arti.
James
berpikir sejenak. Menatap perempuan itu sekali lagi penuh makna. Kemudian
menimbang, mengingat, dan memutuskan
untuk mengikuti permainan si keriting berambut panjang. Toh, tidak ada ruginya
bagi James. Hanya permainan. Sebagai bonus, ia bahkan mendapatkan imbalan yang
sepadan. Oh ayolah. Voucher belanja itu sungguh menggiurkan. Salahkan saja ibu
dan ayahnya yang memprogram James menjadi makhluk maniak buku seperti Dean.
Sepertinya usul untuk mendirikan komunikas pencinta buku keluarga bagus juga.
.
.
.
“Bagaimana
? sudah selesai?” James bertanya dengan bosan kepada perempuan dihadapannya.
Berharap permainan ini cepat berakhir. Sudah hampir berjam – jam dia menunggu
bosan. Well, sebenarnya masih berjalan dua puluh lima menit. Memang sudah
dasarnya James saja yang melebih – lebihkan. Si lesung pipi tersenyum ganjil.
Menyeringai puas. Lalu tiba – tiba terdiam.
“well,
begini...” kelihatan berpikir dan menatap James dengan serius.
“Apanya
yang begini?” James mulai geram. Dia kesal setengah mati. Perrempuan ini
sungguh lelet sekali.
Satu
detik, dua detik, tiga detik. Perempuan itu tidak menjawab. James mulai bosan
dan memutuskan pergi meninggalkan perempuan tersebut. Buang buang waktu saja.
Saat James hendak bangkit dari tempat duduknya. Perempuan itu bersuara. Bagai
halilintar. Sekilas membuat James merinding.
“Kkau
tahu tidak? Hari ini adalah kiamat bagimu. Kau akan merasakan kedinginan dan
membeku dalam bungkusan cahaya purnama.”
Si perempuan yang bernama Lois itu bertitah. James kehabisan kata - kata. Permainan
yang sungguh membuat merinding. Penuh dengan musibah. James mengusir pikiran
menyesatkan tersebut. Tersenyum simpul. Menghargai usaha perempuan dihadapannya. Setidaknya ini hanya permainan.
Yeah, dia juga dapat voucher gratis. James tidak boleh menyesal akan
keputusannya.
“Terimakasih
Lois. Sungguh ramalan yang indah. Permisi.” James tertawa kecut, terkesan
sumbang. Lalu beranjak pergi meninggalkan si perempuan penggemar tarot. James
berlari dengan bahagia, menggenggam
Rab generasi kedua. Yeah, dia memutuskan
untuk menamai voucher kesayangannya itu dengan Rab generasi kedua. James tidak
ingin berlama lama dan membuang – buang waktu nya yang berharga, dia
mempercepat langkahnya. Ada peragaan kostum yang harus dihadirinya. Well,
festival kebudayaan tahunan telah dimulai. James harus bergegas. Bahkan untuk
menoleh kebelakang pun tidak. Dia tidak peduli Lois tersinggung atau tidak. James
sudah dapat vouchernnya, itu lebih dari pada cukup.
.
.
.
James,
James. Kau harus belajar untuk memperhatikan sekelilingmu. Bahkan hal sekecil
itu kau lupa. Selamat menikmati kiamatmu.
.
.
.
“Halo
? Lois ?” napasnya terburu – buru, terdengar berat.
“Ya.
Ini siapa ? Ada yang bisa kubantu sir?” terdengar suara perempuan yang
kebingungan. Sepertinya badai membuat jariangan terputus putus, sehingga sulit
mengenali suara.
“James.
Aku James. ” suaranya terdengar semakin parau.
“Aku
tidak mendengar apa yang kau katakan.” Koneksi semakin melemah. Hanya terdengar
suara bisisng yang memekakan telinga.
“Lois.
Lois. Ini James. Kau... Kau tidak serius bukan perihal kiamat itu?” mulai
berteriak frustasi.
“Lois
? apa? Ini bukan sambungan dengan Keluara Lois. Ini keluarga Lewis.” Menutup
telepon dengan bunyi tut panjang.
Diam.
Hening.
Halilintar
menyambar.
James
terkapar lunglai di atas lantai yang dingin.
Membeku
ditengah hawa beku, putus harapan.
.
.
.
James,
James. Bahkan mengeja nomor telepon pun kau keliru.
.
.
.
Di
sudut kota, Perempuan berlesung pipit, berambut keriting, kurus, dan licik,
bernama Lois sedang menyeruput Cokelat hangat beraroma manis. Disampingnya
perempuan tinggi, bermata cokelat, berambut panjang lebat, mendesah nikmat akan
lezatnya cokelat hangat.
“Apa James
baik – baik saja ya” perempuan bermata cokelat menyeletuk tiba – tiba.
“Entahlah,
dia meninggalkanku begitu saja tadi. Biarkan saja dia. Aku marah padanya.”
Perempuan berlesung pipit berseru jengkel.
“Hahaha...
kalian sungguh manis Lois.” Perempuan bermata Cokelat terkekeh geli.
“Jangan
menertawaiku kak. James kali ini keterlaluan.” Perempuan berlesung pipit protes
kesal, mengancam.
“Oh
ayolah, dia tetap adikku. Kau tidak boleh begitu.” Perempuan bermata cokelat
kerkomentar bijaksana.
“Lois
! Dean ! saatnya makan malam.” Terdengar suara wanita paruh baya dari lantai bawah. Seruannya menggema
memenuhi loteng bangunan tua disamping telaga.
“Baik
Aunt Mercy!” seru Lois
“Aye
– aye Mommy.” Jawab Dean.
Dan
mereka pun makan malam. Sungguh keluarga yang bahagia.
.
.
.
”Sayang,
apa kau sudah memperbaiki bel rumah kita ?” tanya wanita paruh baya kepada seorang
pria lima puluh tahunan.
“Astaga,
aku lupa dear. Aku akan urus itu besok. Sekarang tidak memungkinkan. Badai
semakin mengamuk diluar sana.” Pria itu beralasan.
“Selalu
saja lupa, bagaimana kalau ada tamu yang datang? Mereka akan terkurung diluar.”
Wanita peruh baya masih saja mendelik sengit.
“Ayolah
Mom, tidak ada yang akan bertamu. Diluar sudah seperti permukaan Antartika.” Dean
menjawab santai.
“Yeah.
Itu benar Aunt Mercy.” Lois membenarkan. Namun, wanita paruh baya yang
dipanggil Mercy itu masih ragu. Dia sepertinya gelisah akan suatu hal. Hal yang
penting. Anggap saja intuisi seorang ibu.
.
.
.
“Sekarang
kau percaya James?”
.
.
.
Headline Koran , Minggu 23 Desember
2016
Seorang Pemuda (17 tahun) ditemukan pingsan
ditengah tumpukan salju diteras salah satu bangunan tua di daerah Pensylvania. Dugaan
warga setempat yang menjadi saksi, pemuda tersebut jatuh tertidur karena
kelelahan dan kedinginan. “Beruntung sekali anak ini. Badai salju semalam
menyebabkan banyak hewan liar mencari tempat berteduh. Dia sangat beruntung
dapat tidur diantara tumpukan bulu – bulu anjing itu. Sehingga suhu tubuhnya
tetap panas.”
Pemuda yang dikenali bernama James ini
akhirnya dibawa ke Rumah Sakit pada pagi harinya oleh kedua orang tuanya. “Ini
menjadi pelajaran bagi seluruh remaja di kota Pensylvania agar lebih berhati –
hati di musim dingin ini. Selalu bawa persiapan dan jangan berkeliaran di malam
hari. Apalagi lupa membawa kunci rumah sendiri.” Ucap Walikota Pensylvania
menanggapi peristiwa mengebohkan sepagi ini.
Komentar
Posting Komentar