PEREMPUAN : SEMANGAT KEUGAHARIAN DALAM MERANGKAI PUSPA PRIBUMI


PEREMPUAN : SEMANGAT KEUGAHARIAN DALAM MERANGKAI PUSPA PRIBUMI

PENDAHULUAN
Perempuan identik dengan keindahan, sikap yang lemah lembut, bersahaja, dan rapuh. Perempuan menjadi salah satu oknum penting dalam perjalanan kesejarahan bangsa Indonesia. Sejak lampau, peran perempuan turut serta membangun Indonesia mejadi satu tubuh yang merdeka hingga pada saat sekarang ini. Namun, dalam perjalanannya tidak selalu pembicaran mengenai peran perempuan berjalan mulus. Budaya yang berkembang di Indonesia, seringkali membatasi ruang gerak perempuan. Kerena, perempuan kerap kali masih dianggap sebagai ‘pelengkap’ atau hanya sebagai ‘orang kedua’ dalam rumah tangga ataupun dalam masyarakat. Perjalanan kemerdekakan perempuan dikalangan masyarakat juga dapat ditilik dari buku karangan R.A. Kartini, ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Sejarah juga menyatakan bagaimana R.A. Kartini menuliskan pokok – pokok pikirannya kedalam surat – surat tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan untuk kemajuan rakyat, permintaan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan bagi kaum perempuan kelas menengah serta penghapusan praktik poligini. Dalam konteks masyarakat adat, banyak ditemukan peran dari perempuan dalam membangun tatanan masyarakat dan pendidikan terhadap anak. Namun, tidak sedikit juga ditemukan pendiskreditan terhadap perempuan. Mayoritas budaya di Indonesia menganut sistem patriarkhi. Sistem Patriarkhi memandang laki-laki lebih utama dan lebih penting serta lebih berharga dibandingkan dengan perempuan. Masyarakat yang patrilinial/ menganut garis keturunan laki-laki sudah pasti patriarkhis.
PEREMPUAN DALAM CITA RASA DAERAH
Masyarakat Batak, pada umumnya lebih mengutamakan laki – laki daripada perempuan. Konsep tentang laki – laki dan perempuan dalam budaya Batak yang paling mendasar bahwa laki-laki adalah ‘Raja’, perempuan adalah ‘Boru ni Raja’. Perempuan tidak pernah diikutsertakan dalam pengambilan keputusan, peranan perempuan dalam adat Batak lebih cenderung hanyalah sebagai ‘Parhobas’ atau pelayan, sedangkan laki-laki adalah ‘Parhata’ atau juru bicara. Peta Genealogis dan Sejarah orang Batak hanya dapat ditelusuri melalui garis laki-laki, sangat jarang dapat ditelusuri dari garis perempuan, karena istri dan anak perempuan sering tidak tercatat namanya dalam silsilah (Tarombo). Selain itu, juga terdapat perbedaan hak antara perempuan dan laki – laki dalam budaya Batak. Hak perempuan dalam budaya Batak adalah hak mangihutihut (mengikut) atau manumpang (menumpang). Perempuan dalam budaya Batak tidak berhak memiliki warisan dari orangtuanya. Jikapun perempuan memperoleh sesuatu dari orangtua, itu adalah sebagai silehonlehon (pemberian), bukan sebagai warisan. Perempuan Batak mendapat sesuatu dari orangtuanya karena pemberian, bukan karena berhak memperoleh warisan. Dalam budaya Batak juga dikenal istilah Sinamot, yaitu adalah pemberian dari pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan berupa uang dan/atau barang. Arti ‘tuhor’ dikemudian hari mengalami perubahan menjadi ‘membeli’, laki-laki membeli perempuan untuk menjadi istrinya, seolah-olah seperti membeli barang. Dengan demikian perempuan yang menjadi istrinya terkadang dianggap sebagai property yang bisa diperlakukan sesuka hati oleh suami dan keluarga besar mertuanya. Ini menyebabkan perempuan sering dianggap ‘lemah’ dan perempuan sendiri sering sekali merasa ‘lemah’.
Masyarakat Aceh dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal, yaitu tinggal di rumah orangtua istri selama beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung Jawab ayah sepenuhnya.Pada orang Alas garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal atau menurut garis keturunan laki-laki. Laki - laki berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung Jawab seorang perempuan yang utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.Pada masyarakat gayo, garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matriokal (angkap). Dalam masyarakat adat Aceh perempuan fungsi perempuan juga masih dalam hal rmah tangga dan mengasuh anak.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa perempuan dewasa dapat disebut sebagai wanita. Dalam bahasa Jawa Kata wanita berasal dari kata wani (berani) dan ditata (diatur), artinya adalah sosok yang berani ditata dan diatur. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, wanita atau perempuan adalah sesosok yang selalu mengusahakan keadaan tertata sehingga untuk itu pula dia harus menjadi sosok yang berani ditata. Keadaan perempuan acap kali dipandang remeh dalam masyarakat Jawa. Dalam konsep peternalistik yang secara formal hadir dalam hal pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, memilki beberapa konsepsi yang berkembang didalam masyarakat Jawa bahwa seorang istri adalah konco wingking (belahan jiwa). Gambaran tentang kondisi perempuan tersebut juga mempengaruhi konsep pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dikonsepkan pekerja di luar rumah (wilayah publik), sedangkan perempuan dikonsepkan pekerja di dalam rumah tangga (wilayah domestik). Konsep seperti ini sudah melekat di masyarakat Jawa, yang kemudian terisolasi dalam masyarakat dan akhirnya dikenal dengan istilah ‘jender’. Perempuan Jawa dalam berperan dalam kekuasaan mereka tidak terjun secara langsung seperti halnya seorang laki-laki, namun seorang perempuanJawa berperan dari dalam (wilayah domestik) seperti halnya dalam keluarga. Salah satu orang Jawa mengatakan Asal mula wanita menjadi konco wingking tertera dalam kitab suci. Ketika Tuhan menciptakan manusia pertama, yang diciptakan dahulu adalah laki-laki, setelah itu baru wanita yang diambil dari tulang rusuk Adam sebelah kiri. Wanita terbuat dari tulang rusuk laki-laki sebelah kiri, yang intinya derajat wanita lebih rendah dari laki-laki.”Secara tidak langsung kita bisa menangkap bahwa konsep tersebut diambil dari kitab suci agama Islam maupun Kristen. Dari segi publik atau formal baik berdasarkan persepsi laki-laki maupun wanita derajat wanita dipandang lebih rendah dari pada laki-laki.
Dalam masyarakat Toraja, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak. Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Dalam masyarakat adat Toraja, perempuan berperan penting dalam menentukan status sosial. Disni dapat dilihat bahwa fungsi perempuan cukup penting.
Dalam tradisi dan budaya suku Amungme di Papua, perempuan diidentikkan sebagai sumber kehidupan. Gara-gara perempuan, sesama warga Amungme bisa perang. Atau baku bunuh antara satu kampung dengan kampung yang lain atau antara satu marga dengan marga yang lain. Karena sangat berharganya nilai seorang perempuan. Apalagi jika ia punya karya tangan (in nago nin ), hatinya (nart nin), dan pengaruh yang nyata (in nagawan) bagi keluarga, suami dan masyarakat. Karena itu jika kehormatan, keamanan, dan keselamatan seorang perempuan terancam, maka akan terjadi reaksi massal terhadap pihak yang dianggap telah melakukan tindakan tercela itu. Dalam masyarakat adat Papua, perempuan cukup memegang kendali penting dalam tatanan adat masyarakat.
Ada suatu keunikan yang dimiliki oleh etnis Minangkabau, yaitu sistem kekerabatan diambil dari keturunan ibu (Matrilineal), satu satunya yang ada di dunia (Tsuyoki Kato, 1989:152). Sistem ini masih dianut sampai sekarang , walaupun unsur-unsur kebudayaan lain ada yang berubah. Sistem Matrilineal mempunyai ide kehidupan yang senantiasa menghayati budi pekerti yang baik/ luhur. Hasil riset terdahulu menunjukkan perempuan dalam budaya Miangkabau mempunyai arti yang penting, sebagaimana yang dikemukakan oleh Mu’is (2005: 4) dan Gayatri dkk (2001:7) bahwa perempuan Minangkabau menurut adat, mempunyai kedudukan tertentu, mempunyai kepribadian, mempunyai kewajiban-kewajiban dan tangungJawab serta dibina, dilindungi dan diarahkan agar bisa berbuat dan berprilaku sesuai dengan adat dan peraturan adat. Seorang perempuan harus patuh dan taat kepada adat artinya perempuan itu melaksanakan aturan adat. Ungkapan di atas menegaskan bahwa, seorang perempuan Minangkabau harus mempunyai kepribadian yang sesuai dengan adat Minangkabau.Gayatri dkk (2001:6) menyebutkan bahwa baik - buruknya arah kehidupan suatu rumah tangga dan masyarakat ditunjukkan oleh seorang perempuan dalam hal ini adalah ibu. Menurutnya, kaum ibu adalah pokok utama dalam penghayatan budi luhur oleh setiap aspek kehidupan masyarakat. Pandangan Gayatri dkk sesuai dengan pendapat Hakimy (1978:48) bahwa perempuan dalam falsafah adat Minangkabau dinyatakan sebagai berikut: ”Bundo kandung nan gadang baso batuah, Limpapeh rumah nan gadang, Hiasan didalam kampuang, Sumarak dalam nagari, Kok iduik tampek banasa, Kok mati tampek baniaik, Ka undang-umdang ka Madinah, Ka payung panji kasarugo”. Hal ini membuktikan bahwa dalam masyarakat Minangkabau seorang perempuan memegang kunci utama dalam perbaikan tatanan masyarakat dan dalam pembinaan dalam suatu keluarga.
Mendarat di tanah Borneo, dengan salah satu masyarakat adat yang cukup besar jumlah penduduknya adalah masyarakat suku Dayak. Sebagai sebuah suku yang menganut patrilenial, suku Dayak bukan berarti tidak memperhitungkan posisi perempuan dalam hirarki sosialnya. Karena pada dasarnya kedudukan perempuan dalam suku Dayak merupakan bagian integral dari segala kedudukan dalam hirarki sosial masyarakat Dayak sendiri. Dengan demikian pada dasarnya posisi perempuan dalam hirarki sosial Dayak memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan konsep mayoritas masyarakat adat di Indonesia.
MASALAH ? KITA BERSAMA.
Konsep tentang perempuan dalam masyarakat Indonesia memiliki keorisinilannya masing – masing, tergantung bagaimana kultur yang melekat di setiap daerah di Indonesia. Melihat realita yang terjadi di sebaran daerah di seluruh Indonesia, permasalahan yang ditemui oleh kaum perempuan hampir sama. Meskipun di zaman milenial ini sudah banyak terjadi pergeseran kultur yang menyebabkan peran dan fungsi perempuan melemah. Faktor – faktor yang menjadi permasalahan perempuan di daerah di Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke, dapat disimpulkan menjadi :
1.      Kemerdekaan atas pendidikan belum merata di seluruh daerah di Indonesia. Hal ini menjadi sumber masalah yang menyebabkan perkembangan perempuan, khususnya perempuan desa menjadi sangat lambat. Karena di beberapa daerah di Indonesia perempuan menjadi agent of studyng bagi anak. kerap kali urusan pendidikan anak diserahkan serta merta kepada perempuan, tanpa peduli pengalaman pendidikan si perempuan. Sangat disayangkan memang, tidak ada pemerataan pendidikan dan pembekalan terhadap perempuan dalam hal urusan rumah tangga serta dalam merawat serta membimbing anak – anak.
2.      Perempuan dikungkung dalam ‘sangkar rumah tangga’ dan menjadi ‘hamba suami’ yang menetap di penjara yang disebut rumah. Mengapa hal itu terjadi ? perempuan tidak dibebaskan untuk mengekspresikan diri melalui ‘karya nyata’ dan tidak di ijinkan untuk mencoba ‘inovasi baru’. Persepsi bahwa perempuan cukuplah hanya ‘pelengkap’ justru membatasi ruang gerak perempuan untuk mencipkatan karya yang kreatif dan solutif, yang justru dibutuhkan masyarakat. Karena ada hal yang tidak bisa dikerjakan oleh laki – laki, namun dapat disentuh oleh perempuan yang dapat mengatasi permasalahan sosial di masyarakat. Seperti, dalam hal ‘kepekaan lingkungan’ yang jarang sekali diperhatikan kaum laki – laki. Ataupun dalam hal ‘bisnis kreatif’, yang sudah dirintis oleh beberapa kaum perempuan Indonesia.
3.      Perempuan tidak diberi kesempatan untuk berkarir dalam bidang ekonomi. Karena perempuan tidak dianggap sebagai pencari nafkah. Persepsi masyarakat Indonesia secara keseluruhan masih menganggap laki – laki lah ‘tulang punggung keluarga’. Padahal, perempuan bisa saja membantu fungsi penopang perekonomian keluarga. Karena seyogya nya, perempuan dapat menutupi lubang perekonomian keluarga dengan bisnis ‘kecil – kecilan’ tanpa harus mengurangi peran laki – laki dalam menopang perekonomian keluarga.
4.      Permasalahan kesehatan dikalangan kaum perempuan sedang maraknya terjadi. Kekerasan fisik yang terjadi terhadap perempuan dapat mengakibatkan dampak yang fatal, salah satunya adalah gangguan mental dan ketahanan fisik yang berkurang. Perdagangan perempuan dan prostitusi juga merupakan ancaman serius bagi perempuan Indonesia, terutama mereka yang miskin dan kurang berpendidikan. Dalam enam tahun terakhir (data : sampai tahun 2016), ada lebih dari 1.500 kasus dilaporkan, di mana 227 merupakan kasus perkosaan dan 128 kasus pelecehan sosial. Jumlah faktual di masyarakat diyakini jauh lebih tinggi, karena perempuan masih enggan melaporkan kasus perkosaan atau pelecehan seksual yang dialaminya. Alasan utamanya adalah karena dalam proses hukum, perempuan akan kembali menjadi korban untuk kedua kalinya. Diluar dari itu, salah satu masalah kesehatan perempuan yang umum terjadi di Indonesia adalah perihal kelahiran dan kehamilan. Penanganan yang keliru untuk kehamilan dan kelahiran seirng menyebabkan cacat fisik bagi sang ibu maupun bayi bahkan sampai resiko kematian.
5.      Masalah yang dihadapi kaum perempuan di pelbagai daerah di Indonesia adalah mengenai keterlibatan dalam menjadi pemimpin atau pengambilan keputusan. Hal ini sangat dekat dengan konsep politik. Perempuan di daerah masih dianggap belum mampu untuk menjadi pengambil kebijakan atau memipin suatu kesepakatan. Secara nasional di Indonesia juga dapat kita lihat dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Sangat sedikit kaum Hawa yang turut serta ambil kursi di dewan yang katanya ‘perwakilan rakyat’. Seharusnya, perempuan juga diikutsertakan sebanyak kaum Adam yang turut terjun didalamnya.
PANDANGAN RAGAM TEOLOGIS
Dengan begitu banyak permasalahan yang terjadi di daerah – daerah yang tersebar di Indonesia, perlu ada penanganan khusus terkait dilema yang dialami kaum perempuan. Agar permasalahan yang terjadi di kalangan perempuan bukan hanya sekedar ‘cuap – cuap sepuluh menit’ namun menjadi ‘solusi sepuluh dekade’. Jika ditinjau dari segi Teologis agama - agama, perempuan sebenarnya memiliki arti yang penting dalam kehidupan suatu rumah tangga atau dalam tatanan kemasyarakatan. Dalam agama Islam, Secara umum Al-Qur'an dapat disimpulkan telah memberikan tempatyang cukup tinggi terhadap kaum perempuan. Salah satu bukti formal yangtampak ialah bahwa di dalam Al-Qur'an ada satu surat yang diberi nama perempuan, yaitu surat An-Nisa’. Di samping itu beberapa surat lainnya jugabanyak membicarakan perempuan dari berbagai sudut pandang dan padaprinsipnya memberikan apresiasi yang cukup positif. Secara garis besar ruhdan spirit Al-Qur'an menginginkan agar kaum perempuan tidak lagi dijadikanmakhluk pelengkap dan hanya menempati nomor dua dibandingkan dengankaum laki-laki.
            Agama Khatolik memandang Konsep gender yang ideal dalam Perjanjian Lama mengenai penciptaan adalah kitab kejadian 1 dan 2 yaitu perempuan bersama dengan laki-laki adalah tujuan penciptaan Allah dan mahkota ciptaanNya. Perempuan dan laki-laki diciptakan untuk saling melengkapi. Peran perempuan tidak tergantikan dalam segala aspek kehidupan keluarga dan sosial yang meliputi relasi insani dan pemeliharaan orang lain. Yesus melepaskan dan membebaskan semua kelompok masyarakat yang tertindas, dimana perempuan dan anak menjadi bagian dari kelompok yang dibebaskan Yesus (Lukas 4:18-20). Figur Maria telah dimasukkan oleh Para Bapa Konsili Vatikan II ke dalam bab terakhir Konstitusi Dogmatic mengenai Gereja. Paus Yohanes XXIII menunjukkan bahwa perempuan semakin sadar akan martabat mereka, mereka semakin melaksanakan hak dan kewajiban yang setara dengan laki-laki dalam keluarga maupun dalam hidup publik justru atas dasar kodrat mereka yang unggul.
Dalam konteks Agama Kristen Protestant bahwa di dalam Alkitab tercatat beberapa tokoh pemimpin yang adalah perempuan. Misalnya, Miryam, kakak Musa, disebut sebagai nabiah (Keluaran 15:20) dan terlihat jelas bahwa ia pun memegang peran kepemimpinan di samping Harun dan Musa. Juga Debora yang adalah istri Lapidot (Hakim-Hakim 4), memerintah sebagai hakim di Israel dan ini menandakan bahwa kepemimpinan tertinggi saat itu dipegang oleh seorang perempuan. Tuhan Yesus pun melibatkan perempuan dalam pelayanan-Nya sebagaimana dicatat oleh Lukas, di antaranya adalah Maria Magdalena, Yohana istri Khuza bendahara Herodes, dan Susana yang berperan besar sebagai penyandang dana bagi Tuhan Yesus dan para murid-Nya (Lukas 8:2-3).Tuhan tidak anti perempuan dan Ia justru melibatkan perempuan dalam pekerjaan-Nya. Hal ini terbukti dari pelbagai karunia yang Ia berikan kepada kita, tanpa mengenal perbedaan gender (1 Korintus 12, Roma 12:4-8, Efesus 4:7-12, 1 Petrus 4:10-11 ). Kenyataannya ialah baik laki-laki maupun perempuan, keduanya setara di hadapan Tuhan; keduanya adalah penerima pelbagai karunia Tuhan; dan keduanya dilibatkan dalam pekerjaan Tuhan. Firman Tuhan menegaskan, “Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan dan segala sesuatu berasal dari Allah.” (1 Korintus 11:11-12). Dalam konteks agama Kristen pun perempuan tetap mendapat peran penting dan tidak bisa dikesampingkan.
            Idealisme ajaran agama Hindu tentang keutamaan wanita dapat kita jumpai dalam Kitab Suci Weda, yang menyatakan:“Wahai wanita, engkau adalah perintis, cemerlang, mantap, pendukung, yang memberi makan dan aturan-aturan seperti bumi. Kami memiliki engkau dalam keluarga untuk usia panjang, kecemerlangan, kemakmuran/kesuburan pertanian dan kesejahteraan” (Yajur Veda XIV.21). Sloka tersebut memberikan penegasan kebenaran atas idealisme tentang keutamaan wanita ini seharusnya menjadi landasan perjuangan bagi kaum wanita dewasa ini untuk menumbuh - kembangkan kemuliaannya ditengah-tengah masyarakat yang beradab. Dalam peradaban Veda semua wanita dihormati sebagai ibu yang memiliki sifat-sifat kedewasaan. Berdasarkan dari uraian diatas, maka peran dan tanggung Jawab wanita yang patut ditumbuh kembangkan adalah sebagai perintis (pelopor), yang berkepribadian cemerlang, pembimbing yang penuh kasih sayang dalam keluarga, pendidik yang berkualifikasi sarjana guna mencetak generasi yang cakap dan berkepribadian yang luhur dan bahkan sebagai generasi penerus bangsa yang akan membawa kemajuan untuk negeri ini.  Dari pernyataan ini tercermin bahwa peran status dan Tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan adalah setara dan berkeadilan.
SOLUSI : RAJUT SEMANGAT KEUGAHARIAN
            Beragam sudut pandang jika membahas tentang perempuan dan permasalahan yang terjadi di daerah serta yang terjadi juga di tengah – tengah suku, ras, dan agama (SARA) yang saat ini menjadi sorotan tajam. Jika ingin menganalisa solusi yang dapat mengatasi kemelut permasalahan mengenai perempuan di daerah. Perlu untuk melakukan survey mendasar tentang kebutuhan apa yang paling mendasar untuk perempuan dalam mengahadapi adaptasi zaman milineal dan dalam fungsi merawat pondasi rumah tangga dalam masyarakat. Sejarah panjang dari emansipasi perempuan di Indonesia sudah mewarkan banyak solusi untuk mengatasi permasalahan mendasar tersebut. Namun, permasalahan kita di kerangka nusantara ini selalu adalah eksekusi. Kita mayoritas konseptor namun minim eksekutor. Hal ini yang menjadi penyebab utama permasalahan tentang perempuan semakin merebak. Solusi seperti pendirian Yayasan perempuan perlu untuk diseriusi. Indonesia perlu untuk menyeragamkan fasilitas pendiikan terhadap perempuan di daerah – daerah di sekujur bumi Indonesia. Jika memungkinkan adanya Yayasan Perempuan Paralel di daerah - daerah yang masih minim pendidikan dan masih terisolasi. Agar pemerataan ilmu terhadap perempuan dapat tercapai. Metode kelompok – kelompok feminis di daerah – daerah juga dapat diviralkan serta dijalankan. Dengan adanya kelompok – kelompok feminis yang konsen akan permasalahan seputar perempuan dan solusinya, maka daerah juga akan terbantu dalam menangani isu sosial budaya yang banyak bersentuhan dengan kaum perempuan. Pelatihan advokasi dan pengembangan isu juga perlu dikalangan perempuan. Karena, di zaman milenial ini, suara nafiri dari kaum Hawa jarang terdengar. Dengan adanya pelatihan Advokasi, kaum perempuan dapat dilatih cara mengolah isu dan teknik – teknik advokasi. Melalui Yayasan paralel perempuan se -  Indonesia, pelatihan – pelatihan terkait dengan skill rumah tangga dan pendidikan yang efektif untuk anak serta pembangunan karakter anak juga dapat dijlanakan. Jika solusi ini dapat diseriusi dan di jadikan fokus oleh pemerintah, terkhususnya Bidang Pemberdayaan Perempuan. Sepuluh tahun kedepan, permasalahan perempuan dapat dimanajemen dan diatasi dengan kondusif. Karena kedua metode ini, yaitu pendirian Yayasan Perempuan Paralel dan Kelompok – Kelompok Feminis Kedaerahan dibangun oleh semangat tolong – menolong, semangat ‘keugaharian’ dan di rancang dalam konsep masyarakat Gemeinschaft yang erat akan semangat kerja sama dan tolong - menolong. Maksudnya disini adalah Yayasan dan Kelompok yang dibangun semangat gotong royong. Tidak atas dasar individualistis. Namun, bagaimana pemerataan pendidikan bagi kaum perempuan dan saling membantu dalam proses belajar.
PENUTUP
Kesimpulan dari seluruh uraian diatas, adalah permasalahan perempuan tidak dapat lepas dari tatanan masyarakat adat di Indonesia dan bagaimana pandangan berbagai agama mengenai perempuan dan perannya. Permasalahan yang terjadi bukan karena kesengajaan, namun kerena kultur yang membudidaya dan adat yang mendarah daging. Perlu proses sebenarnya menuju masyarakat modern yang memiliki kaum perempuan merdeka yang berdampak ‘garam dan terang’. Diperlukan keseriusan, sistematika, dan kedisiplinan dalam ‘mengerosi’ permasalahan perempuan di daerah – daerah di Indonesia secara perlahan. Solusi Yayasan  paralel se – Indonesia dan metode Kelompok feminis hanya lah satu dari sekian ribu sousi yang ada. Terpenting adalah eksekusinya. Bagaimana pemerintah serta rakyat Indonesia bersedia bekerja sama mewujudkannya. Karena sesungguhnya, para kaum perempuan dapat berfungsi dengan baik karena ‘semangat gotong royong’ dan Indonesia dapat hidup hingga sekarang karena ‘semangat keugaharian’.
                                                                                                               



 
Shalom, UOUS


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SUDAHKAH GMKI MENJADI SEKOLAH PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN NILAI – NILAI GMKI ?

REFLEKSI DIRI : PAHLAWAN SAMAR DALAM MEMORIAL

Perkenalan Edisi I