Dean - DEE dan EGO nya (Brown Edition)
DEE dan EGO nya
(BROWN
EDITION)
Dee menghempaskan kasar tubuhnya di ranjang
favorit nya, yang memang hanya ada satu – satunya di ruangan itu. Pikirannya
menerawang dengan liar entah kemana, bibirnya mengerucut dan gestur tubuhnya
yang melemas pasrah bagai tak bertulang, menambah kesan bosan di kala itu. Jam
dinding menunjukkan pukul sekian malam yang pastinya sudah sewajarnya untuk
anak – ralat – laki - laki sepertinya untuk terlelap. Namun tubuhnya dengan
segala kehendak nya atau lebih populer disebut insomnia, mencegah Dee untuk
terlelap barang sedetik pun. Waktu terus berjalan dengan anggun, meninggalkan
Dee bersama segala macam sumpah serapah yang bercokol di hatinya. Oh sungguh
sial. Dee benar – benar butuh tidur sekarang. Persetan dengan Insomnia yang
selalu langganan menemaninya setiap malam. Menarik kasar selimut Teletubies Jingganya hingga mencapai
dagu, Dee pun menutup – ralat – memaksa matanya untuk beristirahat. Namun, sepertinya
Hipnos (Baca : Dewa Tidur) tidak terlalu menyukai Dee,
sehingga membiarkan remaja laki laki itu sengsara terjaga sepanjang malam.
Semilir angin berhembus memasuki celah – celah kecil ventilasi buruk rupa
persis diatas ranjang Dee. Entah lah itu bisa disebut Ventilasi, bentuknya
lebih mirip dinding yang hampir jebol karena diseruduk Badak Bercula Satu.
Well, Dee tidak melebih – lebihkan, ruangan yang sebenarnya enggan dia disebut
Kamar itu memang adalah tempat yang menyeramkan. ‘Seperti Penjara Versailles’ begitu
pikir Dee. Hawa dingin mulai masuk perlahan - lahan, seperti mencoba untuk
menambah kesan menyebalkan di malam yang sakral bagi beberapa umat manusia. Dee
tidak ambil pusing, dia sudah terlampau lelah, terlebih lagi harus menutup
lubang buruk rupa yang dia sebut ventilasi. Tetap pada pendiriannya untuk
memejamkan mata memeluk guling berbalut
selimut, Dee pun mengabaikan segala hal yang menggangu ritual elitnya untuk bermimpi.
Cukup sudah. Meskipun meteor jatuh menimpa Asramanya dia tidak akan peduli. Dee
tetap menutup mata dan menyamankan diri melanjutkan ritual anehnya untuk tidur.
Namun, tidak sampai beberapa detik, Dee membuka matanya yang memerah karena
dipejamkan paksa. Terganggu, tentu saja.
“Oh
Ayolah...” Dee menggerutu sebal memelototi objek bergerak di sampingnya. Yeah
tentu saja, Dee lupa bahwa gangguan bermimpi di dunia ini bukan hanya sekedar
Keisengan Hipnos atau Kesialan Meteor
Jatuh. Segala sesuatu nya memiliki tingkatan. Jika diibaratkan permainan
virtual yang digandrungi anak muda zaman ini, maka level objek bergerak di
sampingnya ini sudah mencapai tahap ‘Berbahaya’. Menghela napas dengan dongkol
Dee pun bergeser memberikan jarak
diantara mereka. Dia dan si objek bergerak tentu saja. Setelah cukup lama menatap objek itu
dengan teliti dan penuh dengki, Dee pun memantapkan hati. Diangkatnya tumit
indah kesayangannya kemudian dibidikkan ke objek tersebut. Dee menahan napas
dan meluapkan segala emosi yang menggerogoti hatinya, kemudian menendang objek
disampingnya dengan tidak berperikemanusiaan. Korban tendangan Dee tersebut
hanya bisa pasrah dan terjatuh dengan suara yang memekakkan telinga. Malang
sekali nasib nya. Yeah, Dee memang bisa sangat kejam jika ada yang mengganggu ketenangan pribadinya
apalagi sampai menyebabkan dia tidak bisa tidur. “Aduh !” si Objek tersebut
mengaduh kesakitan lalu mencoba berdiri dengan sempoyongan. Susah payah dia
mencoba bertumpu diatas kakinya hanya sekedar untuk melihat dan memergoki rekan
semata wayangnya dalam berbagi kamar mendelik kesal kearahnya.
“Nyenyak
sekali sepertinya tidurmu pangeran keriting. Sungguh sangat menyenangkan. Huh
!” Dee berseru sebal dan menunjuk – nunjuk si Pangeran keriting dengan dendam.
Mereka bertatapan beberapa saat, saling mengamati dan meneliti di dalam diam.
Keheningan yang tercipta cukup menambah kesan
mistis nan fantantis di ruangan itu. Seharusnya ini momen yang berbahagia.
Kakek berjanggut putih berpakaian merah nge
– jreng itu akan datang sebentar lagi. Yeah, begitu mungkin pikir si pangeran
keriting yang berimajinasi tinggi. Tetapi tidak dengan Dee, dia amat sangat murka. Omong kosong
dengan Santa Clause dan bunyi ho-ho-ho miliknya. Dengan titik didih emosi yang dialaminya sekarang, bahkan seorang
kakek Santa saja bisa gosong. Tidak
ada yang mau berbicara. Tidak ada yang berniat membuka pembicaraan. Harga diri
keduanya terlampau tinggi. Begitulah, hormon anak muda dan segala gengsi yang
dimilikinya. Dee masih tetap terdiam seribu bahasa. ‘Ngambek’ begitu pikir si Pangeran keriting. Menyerah dengan
keheningan yang mencekam dan mengundang nyamuk datang, si pangeran keriting pun
mengalah,
“Ehem, maaf
Dean. Aku tidak bermaksud mengganggu tidurmu. I..itu salah tanganku yang
terlampau banyak bergerak.” Pangeran keriting meminta maaf menyadari
kelancangannya. Dee mendengus pertanda tidak suka kepada si Pangeran Keriting. Namun, akhirnya bersedia menerima genjatan senjata mitra nya tersebut.
“Sekali
lagi kau salah pegang saat tidur, aku tidak
akan segan menendang mu lagi. Ditempat yang seharusnya.” Dee memperingatan
dengan keji, seraya menunjuk Pangeran
keriting tepat di – sensor – miliknya. Uhm, cukup memalukan memang harus
terbangun karena diraba – raba oleh entitas lain selain orang tua mu, terlebih
lagi dia meraba di tempat yang tidak seharusnya. Siapa juga yang betah tertidur. Dee bergidik ngeri, kemudian menatap
si Pangeran keriting tajam, seolah tatapannya dapat berbicara ‘menjauh dariku keriting mesum’. Sungguh
ironis memang suasana malam bagi kedua penghuni kamar tersebut. Sial bagi
mereka harus berbagi ruangan berdua pada liburan ini. Padahal seluruh rekan mereka dapat menghabiskan waktu dirumah sambil
mendendangkan Jinglle Bell bersama
keluarga mereka. Oh, pasti sekarang Dean (baca:perempuan) sedang bersenang –
senang di rumahnya. Pikiran Dee kembali melayang kepada Perempuan bermata
cokelat, berisik, hiperaktif, serta paling menyebalkan sejagat raya. Dee tentu
saja kesal. Disaat kakaknya beda pabrik tersebut berbahagia diluar sana, dia
harus keracunan bubur gandum buatan Ms.
Philine sepekan ini di Asrama tua kelabu berbau kaos kaki butut. Dee memang
baru mengenal Dean. Selain dari pada nama mereka mirip, oh bukan lebih tepatnya
disebut identik, kakaknya tersebutlah yang paling betah dekat – dekat dengannya.
Dean juga menjadi alasan Dee lebih suka dipanggil ‘Dee’. Ibunya
bilang nama mengandung kekuatan, dan Dee percaya itu. Dia membayangkan kakaknya
Dean dan segala keisengan dan sisi Psikopat yang mengerikan miliknya. Oh tidak.
Dee tidak mau ketularan. Sudah cukup dia
diasingkan (baca : dibuang) ke Perguruan kuno sejuta kutukan tempat dimana dia
berada sekarang. Dia tidak perlu lagi menambah daftar kesialannya. Bukan
berarti Dean kakaknya pembawa sial, hanya saja Dee tidak mau mengambil resiko
yang berarti. Menyadari begitu lama waktu yang di buang untuk sekedar mengumpat
– umpat kasar dan memperpanjang deretan dosanya di dalam Kitab Kehidupan, Dee
pun memilih untuk kembali kepada tujuan awalnya. Tidur, tentu saja.
.
.
.
“Well,
katamu kau benci gandum.” Dee mengendikkan bahu tidak peduli mendengar,
Yonathan Fram, rekannya, mendelik sebal kepadanya.
“Aku butuh
asupan gizi. Kau membuatku kekurangan energi semalaman” Dee beralasan.
“Yang benar saja Dean Frelton ! setelah menyiksaku kau masih bisa berdalih kurang vitamin !” Yo,
begitu nama panggilan sayang laki - laki yang sedari tadi berargumen
dengan Dee. Yeah setidaknya itu nama
panggilan pemberian Dean kakak senior Dee.
“Gizi
Yonathan, gizi.” Dee mengkoreksi.
“Apapun
itu, terserah. Kau tetap saja menendangku.” Yo mendelik sengit.
“Ya ya ya.
Maaf kalo begitu. Setidaknya kau masih hidup” kembali beralasan, Dee kembali
menyendok bubur gandum dihadapannya, mengabaikan cita rasa yang cukup parah
untuk semangkuk bubur gandum. Yo mendengus dan menatap jengah laki - laki mini
berambut pirang dihadapannya. Dee terkesan tidak peduli dan menggeser sebaskom
besar bubur gandum bukan favoritnya namun penyambung hidup tersebut ke dekatnya,
mengabaikan pelototan protes dari makhluk ceking keriting dihadapannya.
Menyendok, mengunyah, menelan, minum. Begitulah pola yang terjadi selama beberapa
menit kedepan, hingga di dalam ruangan itu hanya bersisa setumpuk peralatan makan yang kotor dan lengket,
ditambah dua orang laki - laki tidak tahu diri yang suka makan. Suara langkah
terdengar mendekat. Cukup pelan dan hati – hati, sampai – sampai Dee dan Yo
tidak menyadarinya. Mereka berdua masih sibuk berkutat dengan tetes – tetes
kehidupan didalam mug susu masing –
masing.
“Sedang apa
kalian?” Yo tersentak kaget dan hampir saja menjatuhkan setumpuk piring
setinggi seperempat meter di samping kanannya. Mengelus dada menenangkan diri,
Yo hampir terkena serangan jantung. Berkebalikan dengan Dee yang tampak santai. Lengkingan yang
nyaring dan berpotensi merusak saraf
telinga. Dee tidak mungkin lupa suara yang menyerupai suara Banshee (Baca : Hantu pencabut nyawa
legenda Irlandia yang jeritannya sangat
nyatring dan mematikan) tersebut.
Hanya satu nama yang menjadi kandidat terkuat.
“Dean? Apa
yang kau lakukan disini?” Dee mengernyit heran, tidak habis pikir kakaknya
berdiri dihadapannya. Yo yang sudah lebih tenang membalikkan badan menghadap
sosok yang mengejutkannya -ralat- hampir membunuhnya tersebut.
“Apa yang kakak
lakukan disini?” Yo mengulangi pertanyaan yang sama. Dean menatap kedua adik
kecilnya antipati. Terlihat tidak rela untuk sekedar menjawab pertanyaan
mereka.
“Entahlah.
Aku bosan dirumah” mendesis bosan, Dean pergi ke sisi kursi dimana Yo
menyamankan diri untuk duduk. Mencomot mug susu yang masih berisi, Dean
menenggaknya dalam sekali tegukan. Yo hanya menatap heran kakaknya tersebut,
sedangkan Dee mati – matian tidak menjambak Dean hidup - hidup. Ayolah , demi
celana dalam Mr. Bean ! itu adalah mug
susu miliknya.
“Ehem,
permisi nona Park. Kau mencuri asupan gizi ku.” Dee menatap Dean dengan pongah,
bak rentenir menagih hutang.
“Hey bocah,
kau sudah minum tiga gelas, yang benar saja. Kau tidak akan tambah tinggi.”
Meledek dengan malas. Yo menyibukkan diri mengangkati tumpukan peralatan makan,
mengkamuflasekan niat kotornya untuk tertawa. Dee hendak protes namun tertahan,
tahu bahwa ia tetap akan kalah tanding dari Dean perihal melemparkan ledekan sadis. Hanya lenguhan tertahan yang keluar
dari mulut Dee.
“Sudahlah
Dee. Sebaiknya kau bantu Yo membereskan semua ini.” Dean menunjuk kekacauan
yang dihasilkan kedua adiknya.
“Kenapa
harus aku?” kembali protes.
“Karena kau
adalah penyumbang piring kotor tebanyak
tuan muda” Yo menambahi. Bersungut –
sungut kesal, Dee akhirnya mengindahkan perintah kakaknya tersebut. Yo
tersenyum menang , terlihat kegirangan.
“Aku tidak
menyuruhmu berhenti cuci piring Yonathan !” Dean mendelik sengit.
“Dasar
nenek kejam. Kenapa dia tidak liburan saja” Yo mendesis dongkol.
“Kali ini
aku sepakat denganmu Pangeran keriting.”
Dee membenarkan.
“Aku dapat
mendengar kalian kurcaci – kurcaci malas.” Dean Memperingatkan. Begitulah,
acara sarapan pagi yang berakhir dengan perbuatan durjana Dean, kakak senior
kejam favorit Dee. Setidaknya begitu sih pengakuan Dee pada reporter Perguruan
triwulan yang lalu, pasca penerimaan
murid baru. Dee menyesal harus memilih Dean menjadi kakak senior terfavorit.
Dibalik senyum ramah dan sikap yang
mulia, Dean merupakan bukti nyata dari serigala berbulu domba. Sudahlah,
lupakan saja, kepala Dee menjadi pusing memikirkannya.
.
.
.
Sore yang
cerah. Dua minggu sudah berlalu sejak kedatangan tiba – tiba Dean dan menambah populasi manusia di Asrama tua ini.
Dee pikir tidak begitu buruk untuk tinggal selama liburan Natal. Membayangkan
dia akan mendominasi Kastil Perguruan seorang diri, tentu saja tanpa Yo, Dee
tidak memperkirakan bahwa makhluk keriting itu turut serta. Namun, sepertinya
cita – cita mulia itu harus sirna. Selama dua minggu ini dia cukup menerima
derita menjadi kacung pribadi Dean dan bahan guyonan para koki
didapur. Yo juga tidak membantu sama sekali. Keberadaan yo yang seperti cacing
kepanasan semakin membuat suasana hati Dee mendung. Hari ini juga tidak jauh berbeda.
Dee masih menjadi bulan – bulanan Dean, seperti
sekarang.
“Dee,
adikku sayang. Kemarilah.” Dean memanggil
Dee dengan anggun, tentu saja dengan suara lembut yang dibuat – buat. Dee
sebenarnya cukup tahu diri untuk kabur, namun sosok disamping Dean membuat dia
mengurungkan niatnya. Seorang anak kecil, perempuan, dan mini sedang
bercengkerama dengan Dean. Dee sengaja menyeret – nyeret kakinya, menambah
kesan enggan. Mungkin saja si anak kecil akan menyelamatkan dia dari keisengan
Dean kali ini.
“Siap lapor
komandan. Perlu bantuan ?” Dee sengaja menggunakan pilihan kata tersebut,
berharap Dean tersinggung. Namun ternyata si Komandan menikmatinya. Dean tertawa
sumbang dan mengibaskan tangannya sok anggun. Oh yang benar saja, Dee ingin
muntah sekarang. Dia serius. Baru saja Dee hendak menyatakan niatnya untuk ke kamar kecil, si anak kecil
buka suara,
“Siapa dia Dean?”
suara anak ini seperti mencicit, pelan dan halus sekali. Dee hampir saja
terpesona, namun dengan cepat mengusir pemikiran laknat tersebut.
“Siapa
kau?” Dee bertanya balik, menatap si anak kecil dengan penuh selidik. Kesan
lugu dan manis yang sedari tadi dilihat Dee menghilang. Si anak kecil menyipit
tajam menatap Dee, mulutnya terkatup rapat, kilatan berbahaya terlihat dari
sepasang mata mata hazel miliknya. Lebih parahnya,
“Kau tampak
masih muda, putra salah satu koki? “ kata – kata nya sepedas pasta buatan Ms.
Chilly, ‘dasar kecil – kecil cabai rawit’
begitu pikir Dee. Mungkin saja si tengik ini tidak sadar umur, dia tampak
seperti murid Sekolah Dasar. Yeah, begitulah pemikiran Dee.
“Hey, Erm.
Ini adik yang kuceritakan. Mirip sekali bukan denganmu?” Dean tiba – tiba
memotong pembicaraan, sadar bahwa kedua adik kecilnya mengibarkan bendera
perang.
“Mirip
siapa?” Dee yang terlebih dahulu sadar dari trans nya.
“Aku tidak
yakin. Dia Murid disini Dean?” Anak kecil yang bernama Erm tersebut buka suara,
terlihat bingung. Ditatapnya Dee dari atas hingga kebawah. Oh tentu saja bukan
‘bawah’ yang di raba – raba si keriting Yo. Erm terlihat tidak yakin. Tidak
nyaman dengan tatapan mengintimidasi akan dirinya, Dee pun mundur teratur,
menciptakan jarak.
“Ehm. Tidak
baik memelototi orang yang belum kau kenal anak kecil.” Protes Dee terganggu.
Merasa di hina, Erm mendelik sengit.
“Kau tidak
sadar bahwa kau juga kecil idiot?” membalas dengan tajam. Saling melirik penuh
dengki. Dee dan Erm terlibat Agresi dadakan.
“Maaf mengganggu perkenalan kalian. Tapi ini sudah
jam makan siang.” Dean kembali melerai, sebelum terjadi perang. Kedua adik
kecil Dean tidak menghiraukan. Hingga akhirnya kerumunan murid lapar bak zombie
yang memisahkan perseteruan Erm dan Dee.
Erm yang
pertama sekali berpaling, namun perempuan itu langsung melenggang pergi, melenyapkan kesan kalah dari
laki - laki menyebalkan yang baru pertama kali dia temui. Dee berpaling
kemudian, berbalik menuju kamar kecil, dia harus menuntaskan urusan dengan perutnya.
Dee tidak main – main mengenai ingin muntah. Sarapan pagi ini yang notabenenya
adalah makanan yang paling dibencinya, Chesee
Burger , ditambah dengan sikap sok manis yang kelihatan sekali dibuat -
buat, milik Dean, turut mengundang keinginannya untuk mengeluarkan isi
perutnya. Dee cepat – cepat berjalan meninggalkan Dean dan Erm,
kemudian fokus menuju kamar
kecil. Dean menatap bingung Adik lelakinya kemudian mengendikkan bahu. ‘Paling – paling Dee ingin buang air besar’ begitu
pikir Dean.
“Ada apa
dengan nya?” Erm sepertinya merasakan kebingungan Dean.
“Entahlah,
PMS mungkin.” Menjawab asal.
“Dia laki –
laki Dean.” Erm mendelik malas.
“Terserahlah.
Ayo kedapur. Ini giliran kita membantu menyiapkan hidangan. Semakin banyak
murid yang kembali ke Asrama. Ck, mereka memangnya tidak berlibur ?
merepotkan.” Dean bersungut – sungut, tentu saja kedatangan murid – murid
menambah pekerjaannya. Senior adalah percontohan, begitu kata Kepala Perguruan.
Sehingga Dean dengan terpaksa harus berperan
menjadi murid teladan. Dean begitu dongkol, sehingga tidak menyadari Erm
yang sedari tadi mencoba mengobrol dengannya.
“Dean ? kau
dengar tidak ?” Erm sudah tiga kali mengulangi pertanyaan yang sama dan Dean masih
bungkam. Lama lama perempuan mini itu kesal juga.
“Ha? Apa?
Kau berkata sesuatu?” Dean tersadar dari lamunannya dan mengerjapkan mata
bingung.
“Oh tidak,
aku bernyanyi.” Erm semakin kesal.
“Tentu saja
aku berkata Dean, aku bertanya apakah si kerdil sombong itu murid disini?”
mengulangi pertanyaan dengan geram.
“Disini
apanya? Dimana?” beo Dean berlagak
bodoh.
“Perguruan
ini Efthemia Deandra !” Erm berseru frustasi kearah seniornya itu. ‘untung sayang’ pikir Erm. Menambah
kesabaran ekstra didalam rongga dada, Erm mengulangi pertanyaannya yang entah
sudah ke berapa kali dia lontarkan.
“Oh.
Seharusnya kau bilang dari tadi dik.” Dean menyengir tanpa dosa.
“Dee di Asrama
Accounting, sama seperti ku. Wajar kau tidak kenal, kalian masih tingkat satu.
Semester depan barulah kalian akan digabung.” Tambah nya. Erm mengangguk
mengerti dan kembali bertanya tentang ini – itu kepada Dean. Maklum saja
tingkat keingintahuan Adiknya ini lumayan tinggi. Mereka berdua bercakap –
cakap sepanjang perjalanan menuju dapur. Terlihat sangat akrab. Semua entitas
yang melihat interaksi Dean dan Erm tersenyum maklum. Chemistry mereka begitu
kuat. Tetapi tidak untuk seorang saja. Matanya mengekori setiap gerak – gerik
Dean dan Erm. Mengawasi dengan waspada. Perutnya yang masih mual dihiraukannya.
Dia termakan api iri hati. Well, Dee memang cenderung ego. Jika di dunia ini
ada kontes laki - laki paling ego sedunia, dia pasti masuk setidaknya
perempatan final, sama halnya dengan perempatan yang sekarang muncul di
dahinya, pertanda kesal.
“Bocah
tengik itu menyebalkan.” Gerutu Dee. Sekalipun Dean itu kakak senior dengan
keanehan paling wahid dan ke isengan paling membuat gulana, Dee tidak rela
harus berbagi dengan Erm. Meskipun Erm itu anak perempuan. Tidak ada
pengecualian untuk syndrom ‘ingin menang sendiri’ milik Dee. Tetapi
dia juga tidak rela hanya Dean yang akrab dengan si Kerdil –begitu julukan Dee
untuk Erm- , enak saja. Dee juga mau diperhatikan dan diakrabkan, dengan kata lain
Erm juga mengakrabkan diri dengan Dee bukan hanya dengan kakaknya Dean.
Entahlah, tiba – tiba saja pemikiran ambigu ini muncul dikepala Dee. Mungkin
ini karena egonya dan tingkat kepercayaan diri yang terlampau diambang batas. Jika dalam kondisi
normal mana sudi Dee mengemis perhatian anak kecil. Banyak sekali murid
perempuan aduhay yang tinggi, ramping, dan enak dilihat
diluar sana. Jika dibandingkan dengan ukuran mini, tatapan tajam, dan mulut pedas,
tentu saja Dee lebih memilih yang
pertama. Cukup lama bertahan dengan aksi spy
nya, Dee pun mengendap – endap di antara tanaman Bonsai yang menghiasi
pinggiran koridor menuju Dapur dan ruang
makan. Berkilah layaknya detektif profesional, Dee bergerak lincah ke kiri dan
ke kanan, langkahnya dijinjit untuk menyamarkan suara, berharap keberadaannya
bagaikan bayangan. Malang sungguh malang, imajinasi superhero yang dibayangkan Dee tidak sekeren kelihatannya. Yo yang tidak sengaja melihat Dee dalam posisi bak Sherlock Holmes menekuk wajah, mengelus
rahang yang mengeras, kelihatan berpikir ala jenius, mendengus geli. Yo lebih
sepakat jika Dee sekarang lebih kelihatan seperti patung cupid di taman
belakang Asrama dari pada Detektif profesional.
“Kau pikir
ini syuting Film laga?” Dee terkaget – kaget karena bisikan tiba - tiba Yo
ditelinganya, membuat beberapa orang mendelik terganggu ke arahnya, dan Yo
tertawa keras melihatnya.
“Film laga
pantatmu. Aku sedang dalam misi.” Selesai mengumpat, Dee kembali ke skenario
kecilnya, bermain detektifan, padahal beberapa saat yang lalu dia terkaget
sampai berteriak.
“Terserah
deh. Aku tidak ikut – ikutan. Kau tidak makan siang?” mendengar kata ampuh bin
ajaib tersebut, Dee perlahan lupa diri dengan misi dan berbinar senang.
“Benar
juga. Aku lapar. Idemu sungguh jenius kawan.” Menggamit lengan Yo secara paksa,
Dee menyeret rekan sekamarnya tersebut ke ruang makan. ‘cepat sekali dia berubah pikiran’ sungut Yo dalam hati. Langkah
mantap, dada membusung, dan perut keroncongan. Dee memilih meja paling pojokan,
dekat dengan dapur. Berjaga – jaga mana tahu jatah makan siangnya kurang banyak, dia bisa
mengendap – endap ke sumbernya langsung. Dapur tentu saja. Membayangkannya saja
Dee sudah antusias. Jika tempat favorit Yo adalah kamar, dan Dean adalah
Perpustakaan, maka Dee adalah dapur.
Bagi laki - laki kurang kalsium tersebut, dapur bagaikan Kuil Parthenon bagi Athena, Nektar bagi kupu – kupu, atau Ibu bagi Ayahnya. Tidak ada
yang lebih menentramkan dari pada berdiam diri di dapur dan menikmati pesona
aneka ragam dan warna makanan. Uh, membayangkannya saja Dee sampai berliur. Misi memata – matai seniornya Dean dan
si kerdil Erm sirna sudah. Yo menatap horror rekan sekamarnya, tidak habis
pikir berteman dengan makhluk mini hobi makan seperti Dee. Kegaduhan di ruangan
itu semakin merajalela. Keributan di sana – sini memecah ketentraman Desember
penuh berkah. Dee dan Yo masih bertahan dengan posisi masing - masing. Yo
melipat – lipat bosan serbet Pinochio nya
menjadi bentuk- bentuk abstrak, sedangkan Dee masih antusias memelototi pintu
dapur,berharap kekasih sejatinya (baca : makanan) segera keluar. Dari kejauhan,
rombongan murid laki – laki bergerak menuju pojokan Dee dan Yo menyamankan
diri. Salah satu dari mereka berseru keras – keras,
“Hey.
Yonathan. Bagaimana liburanmu ?” seorang murid yang berambut jabrik hitam
legam, dengan kaos longgar dan celana penuh sobekan menyapa Yo dengan penuh semangat.
“Apa yang kau
kerjakan?” salah seorang lagi, berwajah lonjong dengan kumis tipis mengernyit
melihat tingkah Yo.
“Tentu saja
membosankan Jeremy, kau tahu aku
menghabiskan liburan di Asrama. Jangan disentuh
Rud.” Yo membalas sekedarnya pertanyaan laki - laki jabrik bernama
Jeremy, dan melotot sebal ke arah Rud,
yang menanyakan serbetnya tadi.
“Apa ini ?
Kau penggemar Pikokio?” laki – laki disamping Rud mulai mengacak – acak karya Yo seraya mencela.
“Pinochio
David.” Anggota terakhir dari geng pesakitan yang baru datang itu mengoreksi
ejaan David, seorang laki - laki paling normal dari tiga yang lainnya, bermata
abu - abu dan berambut hitam. Yeah, normal, jika belum mengenalnya secara
mendalam.
“Ayolah
Nico. Hanya ejaan.” David memprotes tidak terima.
“Bisakah
kalian diam? Aku semakin lapar.” Gerutu Dee yang akhirnya buka suara dari tadi.
“Sejak
kapan kau berada disini Nico ?” Dee bingung melihat Nico yang duduk manis
didepannya. Nico masih tampak tidak peduli dengan pertanyaan Dee, menyeruput
teh di hadapannya, kemudian membuka buku yang dibawanya sedari tadi.
“Oi. Nico?”
Dee masih bersikukuh, seperti biasa, ego nya kembali tidak terima ketika
diabaikan.
“Sebaiknya
kau berhenti Dee. Senior kita ini sepertinya sedang buruk hati.” Itu David yang
bersuara.
“Hormon
lelaki” tambah Jeremy.
“Serta
harga diri yang terlampau tinggi” tutup Rud dengan yakin. Dee hanya
mengendikkan bahu tidak peduli, namun dia masih penasaran mengapa Nico tiba –
tiba berada dihadapannya, dan tiba – tiba saja kembali ke Asrama. Seingatnya
Nico liburan ke Austria bersama keluarga.
“Brother
kita ini sedang dilanda kesal tujuh turunan Dee.” Yo menjawab kalem, sepertinya membaca isi hati Dee. Kembali
menekuni aktivitas mempelototi pintu dapur, Dee mengabaikan suara berisik di
sekitarnya. Namun, percakapan masih berlansung.
“Lama
sekali sih makan siangnya.” Itu Jeremy yang menggerutu.
“Aku sudah
lapar.” Rintih David dengan pilu. Di dalam hati Dee membenarkan keluhan teman –
temannya.
“Hey itu
Erm kan ?” Rud tiba – tiba bersemangat.
“Siapa?
Siapa?” David penasaran.
“Jangan
bilang kalian naksir sepupuku.” Nada Jeremy terlihat mengancam.
“Ha? Sejak
kapan kau bersepupu dengan dia ?” Dee tidak bisa menahan rada penasarannya.
“Sejak
Ibuku dan ibu nya memiliki nenek yang bersaudara Dee.” Jeremy menjawab dengan
berlaga cerdas.
“Nenek
siapa? Apanya yang bersaudara?” tanya Yo
bingung.
“Nenekku
dan neneknya tentu saja” Jeremy kebali sok cerdas.
“Kenapa
dengan nenek – nenek? Kau naksir ya?”
David bertanya sok polos, atau lebih tepatnya idiot.
“Tentu
saja, dengan Nenek Erm” Jeremy tidak kalah idiot. Menyadari ke – absdurd- an
percakapan mereka, Jeremy dan David memerah malu, sedangkan Rud, Yo dan Dee
terpingkal – pingkal. Nico juga tidak tahan sehingga menghentikkan bacaannya.
Mereka menikmati suasana humor akibat kebodohan Jeremy dan David. Tetapi hanya
sesaat.
“Kenapa
dengan nenekku?” tidak ada yang tahu
kapan tepatnya si empunya nenek datang. Erm menenteng sebaskom Gulai Kare yang
asap nya masih mengepul, menggoda Dee untuk mencicipinya.
“Tidak ada
sepupuku. Kami hanya berkelakar.” Jeremy beralasan. Erm masih menatap deretan laki
- laki pembuat onar didepannya ini curiga. Matanya menyipit dan hidungnya
mengendus tanda – tanda dusta. Tetapi
mode siaganya segera luntur menyadari keberadaan bocah mini berambut pirang
disampingnya.
“Apa yang
kau lakukan ?” Erm spontanitas terkaget.
“Ini Kare ya ?” Dee bertanya polos seperti anak
kecil melihat permen, kali ini sungguhan.
“Apa? Apa
yang kau katakan?” Erm menatap laki - laki aneh dihadapannya heran.
“Sebaiknya
kau jauhkan Kare itu darinya Erm, atau seisi Asrama batal makan siang.” Entah
dari mana Dean datang, tidak diundang.
“Pergi sana
!” Dean mengusir Dee bak mengusir kucing yang ketahuan mencuri ikan.
“Kau tetap
kejam ya Rab.” Suara itu menghentikkan aksi pukul -centong nasi- ala Dean
terhadap Dee. Dean berbalik, berhadapan langsung dengan sosok yang berani –
beraninya memanggil nya dengan Rab. Abu – abu bertemu Cokelat. Serigala bertemu
Vampire, “entahlah apa hubungan keduanya’ pikir Dee, yang terpenting Dee
menggambarkan eufora peperangan dasyat yang akan terjadi. Sepertinya teman –
teman Dee yang lain juga cukup tahu diri untuk mundur teratur. Begitu pula
dengan Erm, dia sangat hafal sejarang panjang kedua seniornya ini, tidak melibatkan
diri adalah tindakan bijaksana.
“Hai.
Selamat Natal.” Hanya kata itu yang keluar dari indra pengecap milik Nico,
sedang Dean masih diam seribu bahasa. Sesaat hening. ‘Saat – saat mencekam’ begitu pikir Dee. Ego yang sangat tinggi,
terpancar dari setiap pori – pori Dean. Dia masih diam, tidak menanggapi sapaan
Nico. Setelah menatap dendam kearah si abu – abu tampan, dengan sepenuh hati, Dean
melenggang pergi. Meletakkan baskom berisi nasi dan centongannya diatas meja
serta mengkodekan Erm untuk mengambil
alih sisa tugasnya, Dean pun menghilang
bak ditelan bumi. Setelah punggung Dean benar – benar tidak terlihat lagi di
ujung pintu keluar, barulah seluruh pernapasan di pojokan itu berjalan kembali normal.
“Haaah...
Kupikir aku akan mati sesak napas.” Jeremy yang pertama kali bersuara.
“Ada apa
dengan kalian Nico?” Kali ini Rud menuntut penjelasan. Nico terdiam cukup lama,
hingga akhirnya membereskan bukunya dan bergegas pergi.
“Well, ini
urusan orang dewasa. Aku akan menyusulnya.” Menggaruk tengkuknya yang tidak
gatal, Nico mengejar kepergian Dean. Setelah menghilangnya kedua senior
ditengah – tengah murid tingkat satu tersebut, mereka kembali berargumen seru,
kentara sekali penasaran. Well, hubungan kedua senior mereka itu memang cukup
naas. Tugas tambahan disana - sini, langganan kursi pesakitan Kepala Perguruan,
acap kali dipanggil Komisi Kedisiplinan, hingga Detensi mengerikan.Dee bergidik
ngeri. Bayangan Detensi gila – gilaan sebulan yang lalu yang menimpa Nico dan
Dean menggerayangi otaknya. Semoga saja Detensi menjadi tukang kebun sepekan tidak akan pernah dialaminya. Sibuk dengan
pikiran seramnya, Dee melupakan perdebatan seru teman – teman nya.
“Nico
sepertinya pulang ke Asrama secepat ini karena suatu alasan.” David mulai berargumen.
“Pasti
berhubungan dengan Dean.” Jeremy kembali lagi dalam mode sok taunya.
“Tahu dari
mana kalian? Jangan membual.” Erm mencoba untuk logis.
“Aku rasa
asumsi tidak salah kok.” Dee menimpali, membela kedua sobatnya, membantah rival
kerdilnya.
“Oh ya ?
seperti kau tahu saja apa itu asumsi” Erm kembali mencela, menatap sinis.
“Kau judes
sekali.” Dee mulai geram.
“Terimakasih
kembali. Aku tahu aku manis.” Tidak mau kalah.
“Manis
dengkulmu.” Mulai kasar.
“Kau kasar
sekali. Tidak beretika.” Lebih kasar.
“ Oh, tentu
saja nona penuh etika.” Mendelik sengit. Keduanya terjebak dalam dimensi tatap
– menatap yang mengerikan, sampai Yo melerai dengan perlahan,
“Ehm, kita
sudah lari dari topik kawan – kawan” Yo menengahi.
“Memangnya
apa topik kita ?” Rud kebingungan.
“Nico dan
Dean bodoh.” Erm yang menjawab, terlihat gusar. Baru saja Dee akan membantah
seru,
“Jangan
dibalas Dee.” Yo memperingatkan Dee dengan bisikan, tidak sampai terdengar yang
lainnya. Hening sejenak. Suara sendok dan garpu saling mendominasi.
“Mungkhhin,
therjhadi seshuatu di aussthria...” David kembali berargumen dengan mulut penuh
terasi super pedas.
“Pelan –
pelan David Goodvield. Makananmu menyembur kemana – mana” Yo terlihat jengkel.
David memerah dengan cepat, satu tangannya melambai - lambai meminta bantuan,
sedangkan satunya lagi mengurut urat lehernya yang mengejang.
“Kau kenapa
Dav? Sesak pipis?” Dee mulai terganggu dengan aksi kejang – kejang David.
“Dia
kepedasan kerdil.” Erm menghardik Dee dan menuangkan air mineral ke gelas milik
David. Teguk, teguk, teguk. David menghabiskan hampir seteko air mineral.
“Lihat lah
yang berbicara. Tidak sadar kah bahwa kau
kerdil bocah.” Dee mendelik sengit Erm yang masih menepuk – nepuk pundak David,
membantu proses pemadaman kebakaran di dalam tubuh David.
“Kerdil
berisik. Cih.” Dee kembali menyulut emosi Erm, namun perempuan itu sibuk
mengurus David, yang tiba – tiba jadi pasien dadakan. Dee mendelik kesal ke arah
duo dokter dan pasien dadakan dihadapannya. Terlihat sekali tidak suka akan
interaksi Erm dan David. Namun Dee buru - buru mengalihkan pembicaraan, takut
Yo, yang paling dekat posisinya dengan dia mengenali ekspresi terlarang yang
ditunjukkan Dee.
“Apa yang
coba dikatakan David tadi memangnya ?” Dee
meluncurkan pengalihan perhatian.
“Dia bilang
ada sesuatu yang terjadi diantara Nico dan Dean.” Rud mengulangi argumen David.
“Aha !
kenapa tidak terpikir olehku.” Jeremy tampak antusias, dia sampai bangkit dari
kursinya.
“Kau kenapa?”
Dee menatap heran.
“Kalian
tidak ingat ? Dean baru pulang dari Austria kan ?” timpal Jeremy bersemangat.
“Oh, aku
mengerti. Astaga mungkin saja.” Yo juga kelihatan bersemangat, entahlah karena
dia memang mengerti atau pura- pura mengerti. Dee masih bingung dengan
pembicaraan yang berlangsung, otaknya tiba – tiba macet.
“Tidak ada
yang terjadi. Kalian sok tau sekali.” Kali ini Erm buka suara, setelah
menyelesaikan urusannya dengan pasien dadakannya.
“Sudah
selesai bermain dokter – dokteran kerdil?” Dee tidak menguasai lagi dirinya.
Entah mengapa setiap kali Erm berbicara dia kesal sendiri. Erm kembali tidak
menanggapi, acuh tak acuh. Begitulah makan siang terakhir ditengah salju di
liburan perdana mereka, tentu saja para murid. Tahun ajaran baru beberapa hari
lagi.
.
.
.
Dee
berjalan menyusuri koridor Sekolahnya dengan bersungut – sungut dan menghentak
– hentakkan kaki. bulan pertama tahun keduanya, dia harus kena detensi, yang
benar saja. Mendongkol dengan sepenuh hati, Dee mengutuk – ngutuk kepala Asramanya,
Mr. Horrington. Tempat tidur yang ambruk bukan salahnya. Salahkan saja Yo yang
tidur sambil karate setiap malam. Sialnya, tempat tidur itu menemui ajalnya
ditangan Dee, disaat dia sedang tertidur pulas diatasnya. Mengenaskan nasib Dee
memang. Dee semakin kesal mengingat Yo sama sekali tidak membantunya untuk
berdalih kepada Kepala Asrama. Alasan si keriting itu Cuma ’aku masih sayang nyawa kawan’ Dee mempraktekkan dalam hati. Memangnya apa
yang perlu ditakutkan dari Mr. Horrington. Selain dari pada rambut botak,
tatapan tajam, bermulut pedas, dan wajah
sangar, oke yang terakhir itu memang
seram, tidak ada hal lain yang membuat Mr. Horrington masuk kedalam nominasi
guru paling killer di Perguruan.
Tetapi, nasi sudah menjadi bubur, Dee tetap kena hukum. Memantapkan hati menuju
lemari sapu, Dee melantunkan sumpah serapah kepada Mr. Horrington. Sesampainya
di lemari sapu, secepatnya Dee meraih peralatan kebersihan yang diperlukannya
dan melesat menuju Ruang makan. Detensi yang cukup ringan sebenarnya, namun
mengingat Dee dan segala ego nya, segala jenis detensi tetap merepotkan baginya.
Diraihnya gagang pintu dengan malas, memasuki ruang makan dengan malas kuadrat.
Didalam ruang makan seorang perempuan berambut pendek, bermata hazel, dan
kerdil sedang membersihkan remah – remah sisa makan malam dalam diam. Perempuan
itu sibuk berkutat dengan kemocengnya. Dee mengenali sosok itu, sangat kenal
malah. Hampir seminggu ini Dee selalu langganan adu mulut dengan perempuan itu,
dan ditambah langganan omelan panjang
Prof. Augur setiap dua minggu sekali. Dee tidak habis pikir tahun ajaran baru
ini sungguh menyiksa. Jauh sekali dari bayangan Dee. Seharusnya tingkat dua itu
menyenangkan. Bertemu teman baru, suasana kelas yang baru, guru – guru yang
baru, dan cerita kehidupan yang baru. Namun dewa keberuntungan sedang dengki
juga kelihatannya dengan Dee. Dia harus bertemu Asrama Economy setiap dua kali
seminggu, dengan kata lain bertemu perempuan ini dua kali seminggu, parahnya bertemu guru paling
dibencinya sepanjang masa, Prof. Augur, juga dua kali seminggu. Perempuan itu
masih belum menyadari keberadaannya.
“Ehm,
Sedang apa kau disini?” Dee berdehem singkat. Perempuan itu, Erm, menoleh
singkat. Mata Hazel nya melebar terkejut nyaris melemparkan kumpulan bulu
kemoceng digenggamannya, namun hanya sedetik, tidak cukup lama untuk membuat
murid laki – laki sekelas Dee peka.
“Aku sedang
bosan berkelahi. Detensi sudah cukup melelahkan, jangan kau tambah lagi.” Erm
menjawab malas – malasan, dan terus melanjutkan aksi kebersihannya.
“Apa
kesalahanmu?” Dee tetap bersikeras membuka topik.
“Bukan urusanmu.” Ketus.
“Kalau aku merusak
perabotan.” Dee nyengir lebar, sok pamer, entah apa yang dipamerkan dari
kebodohannya.
“Siapa
peduli.” Erm kembali menjawab asal.
“Coba
kutebak. Kau merusak tempat tidur kan?” asal menebak. Erm berhenti bekerja,
mata melotot tajam kearah Dee.
“Kau !
Darimana kau tahu?” Erm mulai gusar.
“Ha? Aku
menebak asal.” Dee tampak kaget. ‘kok
sama sih’ pikir Dee bingung.
“Kau
menguntitku ya ?” Erm menuduh membabi buta, tampak murka.
“Enak saja.
Aku menebak. Aku juga dihukum karena merusak tempat tidur.” Dee menjawab jujur.
Erma tampak kaget, namun sejurus kemudian mendelik sengit kearah Dee
“Dasar
pembual. Baru saja kau katakan kesalahanmu merusak perabotan.” sangat kesal.
“Hey kerdil, Aku bukan pembual. Itu yang
sebenarnya. Lagi pula tempat tidur kan perabotan” Dee mulai kesal juga lama –
kelamaan. Erm menatap tajam tepat di manik Hitam milik Dee, mencoba mencari
sirat dusta. Namun, nihil, Erm hanya melihat kejujuran. Benci dengan kekalahan,
Erm pun bungkam dan berusaha keras mengabaikan Dee.
“Kok diam?
Tadi seperti kerasukan setan, marah - marah.” Dee bertanya sok lugu.
“Bukan
urusanmu.” Menjawab ketus.
“Kau sedang
PMS ya ?” Dee kembali menggoda Erm.
“Laki laki
idiot.” Erm bergumam tak jelas.
“Kau bilang
apa?” Dee mencoba menajamkan pendengaran.
“Kubilang
bukan urusanmu” Erm lagi – lagi kesal setengah mati. Bosan menggangu, Dee pun
melanjutkan aktifitas menyapu yang ditundanya. Sesekali diliriknya Erm yang
begitu serius berkutat dengan meja – meja. Tidak tahan dengan keheningan yang
tercipta, Dee kembali meneruskan aksi mengganggu Erm.
“Hey.
Kenapa ya Kesalahan kita bisa mirip?” bertanya sok polos. Erm masih diam, malas
menanggapi.
“Padahal
kita dari Asrama yang bersebrangan, masa sih tempat tidur kita yang janjian?”
Dee masih berusaha. Erm mulai gatal untuk menggetok kepala Dee dengan kemoceng,
tetapi diuurungkannya niatnya dan kembali diam.
“Atau kita
yang janjian? Ah, tidak mungkin. Kau kan
selalu sewot denganku.” Dee kembali berusaha. Erm hampir saja melanggar niatnya
untuk mengiraukan Dee, namun disabarkan nya kembali hatinya. ‘aku berlapang dada’ ulang Erm dalam
hati, menyemangati diri.
“Oh, aku
tahu. Jangan – jangan kita jodoh ya?” Dee mengakhiri dengan puas. Sejenak, tiba
– tiba ruangan itu tenang, tanpa kegaduhan. Sedetik kemudian, ruangan makan itu
seperti sedang pawai besar – besaran. Kemoceng beradu dengan sapu, debu
bertebaran dimana - mana, meja dan kursi saling tabrak – menabrak, serta Dee
dan Erm yang berakhir kejar – kejaran. Ah, sepertinya Dee harus menarik lagi
kata – katanya perihal Nasib nya hari ini yang sial. Buktinya dia terhibur. Adu
kecepatan dengan Erm lebih baik dari pada adu mulut. Hitung – hitung olahraga malam.
Lagipula dikejar – kejar perempuan cantik, imut, dan menggemaskan boleh juga.
Sepertinya Dee harus menarik kata – katanya tempo hari tentang Erm yang kerdil,
bermata tajam, dan bermulut pedas. Yeah, sepertinya Dee mulai tertarik dengan
‘Mini Erm’. Besok – besok dia harus ingat menambahkan Erm ke agenda ‘daftar
miliknya’, setidaknya Ego Dee berguna untuk menggaet calon pacar. Untung – untung tidak ada lagi laki –
laki yang mau dekat – dekat dengan Erm karena ego Dee dan sikap posesif
menyebalkannya. Membayangkan ide jeniusnya, Dee menyeringai puas.
.
.
.
“Mau apa
lagi kau ?” Erm menatap makhluk di depannya antipati.
“Mau susu
cokelat?” mencoba beramah tamah.
“Enyahlah
Bocah Templar !” Masih mencoba mengusir.
“Hey. Kau
tidak boleh memanggilku dengan nama itu. “ tegur Dee.
“Memangnya
kenapa?” mengernyit bingung.
“Nama punya
kekuatan tahu. Ibuku bilang begitu.” Ujar Dee bangga.
“Hubungannya?”
makin tidak mengerti.
“Errr...
pokoknya, mau susu cokelat tidak?” menawarkan kembali.
“Menghilanglah
segera atau kusentrum kau kerdil.” Mulai mengancam.
“Hey, hey.
Kau juga kerdil.” Protes, tidak terima.
“Sudah,
sudah. Cut ! Kalian berdua harusnya saling akrab. Seperti teman lama yang
bertemu kembali, namun masih memiliki perasaan sakit hati karena ditinggalkan.
Lagipula dialog macam apa itu? Kerdil ? Yang benar saja !” Prof. Arinda marah –
marah kepada dua sejoli di hadapannya. Merasa tidak terima naskah teaternya di
arensemen, terlebih lagi ‘arensemen ditempat’.
“Sudah
kubilang kan Professor. Aku bukan pemeran yang cocok memerankan Perempuan manis
penyuka cokelat.” Protes Erm sengit.
“Hanya kau
dan postur minimu yang memenuhi sarat
pemeran ini Ms. Ermynda Rinn.” Desis
Prof. Arinda berbahaya. Beberapa murid yang menonton perdebatan kecil itu
bergidik ngeri. Salah satu Proffesor tergalak dan salah satu murid
pembangkang adu mulut. Dee bisa membayangkan betapa mengerikannya. Dia juga
merasa terlupakan sedari tadi. Guru dan rekannya itu sibuk menatap saling benci
dan berbagi delikan . Dee tidak ingin
ikut - ikut. Dai masih sayang nyawa.
“Seharusnya
kau mencontoh Mr. Dean Frelton. Dia memainkan peran dengan baik.” Pamer Prof. Arinda sinis. Oh tidak, Dee merasakan bahaya
mendekat. Erm perlahan mendelik kearahnya dan menatapnya tajam, seolah berkata
‘ini salahmu’ . Menelan ludah kasar, Dee pun mencoba melerai.
“Eumm...
Professor, bagaimana kalau kita ulang sekali lagi adegannya?” Dee mencoba
bernegosiasi.
“Astaga!
Aku hanya tidak tega padamu Mr. Frelton, Mr Rinn hanya akan mengulangi kesalahan yang sama.” Prof. Arinda
mendengus keras, terlihat meremehkan.
Seluruh
penghuni kelas menatap Erm penuh iba sekaligus kagum. Erm bisa memberontak
sekaligus menebar feromon kebencian kepada seluruh kelas terhadap guru seni
mereka yang satu itu. Erm mulai bergerak gelisah, telinganya memerah pertanda
marah, hidungnya berkedut, dan seolah – olah asap mengepul diatas kepalanya.
Lama terdiam dengan posisi seperti itu, Erm akhirnya angkat muka, menatap
dengan berani Prof. Arinda, tersenyum miring, lalu mengambil tasnya yang disampirkan
di pojok ruangan. Diraihnya tasnya, berjalan anggun menuju pintu keluar, lalu berhenti. Erm berbalik
arah, menatap gurunya tepat di mata.
“Aku
berhenti dari kelas bedebah ini. Sampai jumpa Professor. Mungkin anda bisa
menjadi pemeran utama perempuan dalam naskah anda. Kalian terlihat serasi.” Erm
mencela dengan pedas lalu menujuk – nunjuk gurunya kemudian menunjuk lawan
mainnya.
“Kau...kau
kurang ajar. Ms. Rinn ! Kau akan mendapatkan detensi dariku!” ancam Prof.
Arinda.
Erm tidak
menghiraukan ancaman gurunya. Peduli amat dengan detensi. Harga dirinya lebih
berarti.
Dee menatap
kepergian Erm dengan ngeri. ‘berani amat dia’
pikir Dee. Seumur – umur Dee belum pernah melawan guru, kalau melawan orang
tua lumayan sering. Dalam hati dia kagum dengan kebeanian Erm, Namun di sisi
lain dia juga takut akan respon Erm tadi. ‘pasti
dia cemburu’ tebak Dee di dalam hati. Menyusahkan memang memiliki kekasih
yang tingkat kecemburuannya setara Kilimanjaro
(Baca : Gunung Berapi Tertinggi di Afrika). Okay, itu perumpamaan yang
aneh. Tetapi tetap saja, Dee ketiban sial. Harus bersabar mengadapi Prof. Arinda
yang sentimentil, hey, nilai ujiannya dipertaruhkan, hanya di mata pelajaran
ini dia ahli. Well, lebih tepatnya ahli menjilat Prof. Arinda. Belum lagi harus membujuk dan meminta maaf kepada Erm. Sepertinya dia harus
menerima nasib buruk di tahun ini. Ibunya benar, nama punya kekuatan. Termasuk
kekuatan untuk menularkan kesialan. Tetapi, Dee juga harus bersyukur, cerita
cintanya tidak serumit dan seaneh kakak seniornya, Dean.
Yeah, dia
masih punya Erm.
Komentar
Posting Komentar