Dean - DEE dan EGO nya (Brown Edition)


DEE dan EGO nya
(BROWN EDITION)

     Dee menghempaskan kasar tubuhnya di ranjang favorit nya, yang memang hanya ada satu – satunya di ruangan itu. Pikirannya menerawang dengan liar entah kemana, bibirnya mengerucut dan gestur tubuhnya yang melemas pasrah bagai tak bertulang, menambah kesan bosan di kala itu. Jam dinding menunjukkan pukul sekian malam yang pastinya sudah sewajarnya untuk anak – ralat – laki - laki sepertinya untuk terlelap. Namun tubuhnya dengan segala kehendak nya atau lebih populer disebut insomnia, mencegah Dee untuk terlelap barang sedetik pun. Waktu terus berjalan dengan anggun, meninggalkan Dee bersama segala macam sumpah serapah yang bercokol di hatinya. Oh sungguh sial. Dee benar – benar butuh tidur sekarang. Persetan dengan Insomnia yang selalu langganan menemaninya setiap malam. Menarik kasar selimut Teletubies Jingganya hingga mencapai dagu, Dee pun menutup – ralat – memaksa matanya untuk beristirahat. Namun, sepertinya Hipnos (Baca :  Dewa Tidur) tidak terlalu menyukai Dee, sehingga membiarkan remaja laki laki itu sengsara terjaga sepanjang malam. Semilir angin berhembus memasuki celah – celah kecil ventilasi buruk rupa persis diatas ranjang Dee. Entah lah itu bisa disebut Ventilasi, bentuknya lebih mirip dinding yang hampir jebol karena diseruduk Badak Bercula Satu. Well, Dee tidak melebih – lebihkan, ruangan yang sebenarnya enggan dia disebut Kamar itu memang adalah tempat yang menyeramkan. ‘Seperti Penjara Versailles’ begitu pikir Dee. Hawa dingin mulai masuk perlahan - lahan, seperti mencoba untuk menambah kesan menyebalkan di malam yang sakral bagi beberapa umat manusia. Dee tidak ambil pusing, dia sudah terlampau lelah, terlebih lagi harus menutup lubang buruk rupa yang dia sebut ventilasi. Tetap pada pendiriannya untuk memejamkan  mata memeluk guling berbalut selimut, Dee pun mengabaikan segala hal yang menggangu ritual elitnya untuk bermimpi. Cukup sudah. Meskipun meteor jatuh menimpa Asramanya dia tidak akan peduli. Dee tetap menutup mata dan menyamankan diri melanjutkan ritual anehnya untuk tidur. Namun, tidak sampai beberapa detik, Dee membuka matanya yang memerah karena dipejamkan paksa. Terganggu, tentu saja.  
“Oh Ayolah...” Dee menggerutu sebal memelototi objek bergerak di sampingnya. Yeah tentu saja, Dee lupa bahwa gangguan bermimpi di dunia ini bukan hanya sekedar Keisengan Hipnos atau Kesialan Meteor Jatuh. Segala sesuatu nya memiliki tingkatan. Jika diibaratkan permainan virtual yang digandrungi anak muda zaman ini, maka level objek bergerak di sampingnya ini sudah mencapai tahap ‘Berbahaya’. Menghela napas dengan dongkol Dee pun bergeser memberikan  jarak diantara mereka. Dia dan si objek bergerak tentu  saja. Setelah cukup lama menatap objek itu dengan teliti dan penuh dengki, Dee pun memantapkan hati. Diangkatnya tumit indah kesayangannya kemudian dibidikkan ke objek tersebut. Dee menahan napas dan meluapkan segala emosi yang menggerogoti hatinya, kemudian menendang objek disampingnya dengan tidak berperikemanusiaan. Korban tendangan Dee tersebut hanya bisa pasrah dan terjatuh dengan suara yang memekakkan telinga. Malang sekali nasib nya. Yeah, Dee memang bisa sangat kejam  jika ada yang mengganggu ketenangan pribadinya apalagi sampai menyebabkan dia tidak bisa tidur. “Aduh !” si Objek tersebut mengaduh kesakitan lalu mencoba berdiri dengan sempoyongan. Susah payah dia mencoba bertumpu diatas kakinya hanya sekedar untuk melihat dan memergoki rekan semata wayangnya dalam berbagi kamar mendelik kesal kearahnya.
“Nyenyak sekali sepertinya tidurmu pangeran keriting. Sungguh sangat menyenangkan. Huh !” Dee berseru sebal dan menunjuk – nunjuk si Pangeran keriting dengan dendam. Mereka bertatapan beberapa saat, saling mengamati dan meneliti di dalam diam. Keheningan yang tercipta cukup menambah  kesan mistis nan fantantis di ruangan itu. Seharusnya ini momen yang berbahagia. Kakek berjanggut putih berpakaian merah nge – jreng itu akan datang sebentar lagi. Yeah, begitu mungkin pikir si pangeran keriting yang berimajinasi tinggi. Tetapi tidak dengan  Dee, dia amat sangat murka. Omong kosong dengan Santa Clause dan bunyi ho-ho-ho miliknya. Dengan titik didih emosi yang dialaminya sekarang, bahkan seorang kakek Santa saja bisa gosong. Tidak ada yang mau berbicara. Tidak ada yang berniat membuka pembicaraan. Harga diri keduanya terlampau tinggi. Begitulah, hormon anak muda dan segala gengsi yang dimilikinya. Dee masih tetap terdiam seribu bahasa. ‘Ngambek’ begitu pikir si Pangeran keriting. Menyerah dengan keheningan yang mencekam dan mengundang nyamuk datang, si pangeran keriting pun mengalah,
“Ehem, maaf  Dean. Aku tidak bermaksud  mengganggu tidurmu. I..itu salah tanganku yang terlampau banyak bergerak.” Pangeran keriting meminta maaf menyadari kelancangannya. Dee mendengus pertanda tidak suka kepada si Pangeran  Keriting. Namun, akhirnya bersedia menerima genjatan  senjata mitra nya tersebut.
“Sekali lagi kau salah pegang saat tidur, aku  tidak akan segan menendang mu lagi. Ditempat yang seharusnya.” Dee memperingatan dengan  keji, seraya menunjuk Pangeran keriting tepat di – sensor – miliknya. Uhm, cukup memalukan memang harus terbangun karena diraba – raba oleh entitas lain selain orang tua mu, terlebih lagi dia meraba di tempat yang tidak seharusnya. Siapa juga yang betah  tertidur. Dee bergidik ngeri, kemudian menatap si Pangeran keriting tajam, seolah tatapannya dapat berbicara ‘menjauh dariku keriting mesum’. Sungguh ironis memang suasana malam bagi kedua penghuni kamar tersebut. Sial bagi mereka harus berbagi ruangan berdua pada liburan ini. Padahal seluruh rekan  mereka dapat menghabiskan waktu dirumah sambil mendendangkan Jinglle Bell bersama keluarga mereka. Oh, pasti sekarang Dean (baca:perempuan) sedang bersenang – senang di rumahnya. Pikiran Dee kembali melayang kepada Perempuan bermata cokelat, berisik, hiperaktif, serta paling menyebalkan sejagat raya. Dee tentu saja kesal. Disaat kakaknya beda pabrik tersebut berbahagia diluar sana, dia harus keracunan bubur gandum buatan  Ms. Philine sepekan ini di Asrama tua kelabu berbau kaos kaki butut. Dee memang baru mengenal Dean. Selain dari pada nama mereka mirip, oh bukan lebih tepatnya disebut identik, kakaknya tersebutlah yang paling betah dekat – dekat dengannya. Dean  juga menjadi  alasan Dee lebih suka dipanggil ‘Dee’. Ibunya bilang nama mengandung kekuatan, dan Dee percaya itu. Dia membayangkan kakaknya Dean dan segala keisengan dan sisi Psikopat yang mengerikan miliknya. Oh tidak. Dee tidak mau  ketularan. Sudah cukup dia diasingkan (baca : dibuang) ke Perguruan kuno sejuta kutukan tempat dimana dia berada sekarang. Dia tidak perlu lagi menambah daftar kesialannya. Bukan berarti Dean kakaknya pembawa sial, hanya saja Dee tidak mau mengambil resiko yang berarti. Menyadari begitu lama waktu yang di buang untuk sekedar mengumpat – umpat kasar dan memperpanjang deretan dosanya di dalam Kitab Kehidupan, Dee pun memilih untuk kembali kepada tujuan awalnya. Tidur, tentu saja.
.
.
.
“Well, katamu kau benci gandum.” Dee mengendikkan bahu tidak peduli mendengar, Yonathan Fram, rekannya, mendelik sebal kepadanya.
“Aku butuh asupan gizi. Kau membuatku kekurangan energi semalaman” Dee beralasan.
“Yang  benar saja Dean Frelton ! setelah menyiksaku  kau masih bisa berdalih kurang vitamin !” Yo, begitu nama panggilan sayang laki - laki yang sedari tadi berargumen dengan  Dee. Yeah setidaknya itu nama panggilan pemberian Dean kakak senior Dee.
“Gizi Yonathan, gizi.” Dee mengkoreksi.
“Apapun itu, terserah. Kau tetap saja menendangku.” Yo mendelik sengit.
“Ya ya ya. Maaf kalo begitu. Setidaknya kau masih hidup” kembali beralasan, Dee kembali menyendok bubur gandum dihadapannya, mengabaikan cita rasa yang cukup parah untuk semangkuk bubur gandum. Yo mendengus dan menatap jengah laki - laki mini berambut pirang dihadapannya. Dee terkesan tidak peduli dan menggeser sebaskom besar bubur gandum bukan favoritnya namun  penyambung hidup tersebut ke dekatnya, mengabaikan pelototan protes dari makhluk ceking keriting dihadapannya. Menyendok, mengunyah, menelan, minum. Begitulah pola yang terjadi selama beberapa menit kedepan, hingga di dalam ruangan itu hanya bersisa setumpuk  peralatan makan yang kotor dan lengket, ditambah dua orang laki - laki tidak tahu diri yang suka makan. Suara langkah terdengar mendekat. Cukup pelan dan hati – hati, sampai – sampai Dee dan Yo tidak menyadarinya. Mereka berdua masih sibuk berkutat dengan tetes – tetes kehidupan didalam  mug susu masing – masing.
“Sedang apa kalian?” Yo tersentak kaget dan hampir saja menjatuhkan setumpuk piring setinggi seperempat meter di samping kanannya. Mengelus dada menenangkan diri, Yo hampir terkena serangan jantung. Berkebalikan dengan  Dee yang tampak santai. Lengkingan yang nyaring dan berpotensi merusak saraf  telinga. Dee tidak mungkin lupa suara yang menyerupai suara Banshee (Baca : Hantu pencabut nyawa legenda Irlandia yang  jeritannya sangat nyatring dan mematikan) tersebut. Hanya satu nama yang menjadi kandidat terkuat.
“Dean? Apa yang kau lakukan disini?” Dee mengernyit heran, tidak habis pikir kakaknya berdiri dihadapannya. Yo yang sudah lebih tenang membalikkan badan menghadap sosok yang mengejutkannya -ralat- hampir membunuhnya tersebut.
“Apa yang kakak lakukan disini?” Yo mengulangi pertanyaan yang sama. Dean menatap kedua adik kecilnya antipati. Terlihat tidak rela untuk sekedar menjawab pertanyaan mereka.
“Entahlah. Aku bosan dirumah” mendesis bosan, Dean pergi ke sisi kursi dimana Yo menyamankan diri untuk duduk. Mencomot mug susu yang masih berisi, Dean menenggaknya dalam sekali tegukan. Yo hanya menatap heran kakaknya tersebut, sedangkan Dee mati – matian tidak menjambak Dean hidup - hidup. Ayolah , demi celana dalam Mr. Bean !  itu adalah mug susu miliknya.
“Ehem, permisi nona Park. Kau mencuri asupan gizi ku.” Dee menatap Dean dengan pongah, bak rentenir menagih hutang.
“Hey bocah, kau sudah minum tiga gelas, yang benar saja. Kau tidak akan tambah tinggi.” Meledek dengan malas. Yo menyibukkan diri mengangkati tumpukan peralatan makan, mengkamuflasekan niat kotornya untuk tertawa. Dee hendak protes namun tertahan, tahu bahwa ia tetap akan kalah tanding dari Dean perihal  melemparkan ledekan  sadis. Hanya lenguhan tertahan yang keluar dari mulut Dee.
“Sudahlah Dee. Sebaiknya kau bantu Yo membereskan semua ini.” Dean menunjuk kekacauan yang dihasilkan kedua adiknya.
“Kenapa harus aku?” kembali protes.
“Karena kau adalah penyumbang  piring  kotor  tebanyak tuan  muda” Yo menambahi. Bersungut – sungut kesal, Dee akhirnya mengindahkan perintah kakaknya tersebut. Yo tersenyum menang , terlihat kegirangan.
“Aku tidak menyuruhmu berhenti cuci piring Yonathan !” Dean  mendelik sengit.
“Dasar nenek kejam. Kenapa dia tidak liburan saja” Yo mendesis dongkol.
“Kali ini aku sepakat denganmu Pangeran  keriting.” Dee membenarkan.
“Aku dapat mendengar kalian kurcaci – kurcaci malas.” Dean Memperingatkan. Begitulah, acara sarapan pagi yang berakhir dengan perbuatan durjana Dean, kakak senior kejam favorit Dee. Setidaknya begitu sih pengakuan Dee pada reporter Perguruan triwulan yang lalu, pasca penerimaan murid baru. Dee menyesal harus memilih Dean menjadi kakak senior terfavorit. Dibalik senyum  ramah dan sikap yang mulia, Dean merupakan bukti nyata dari serigala berbulu domba. Sudahlah, lupakan saja, kepala Dee menjadi pusing memikirkannya.
.
.
.
Sore yang cerah. Dua minggu sudah berlalu sejak kedatangan tiba – tiba Dean dan  menambah populasi manusia di Asrama tua ini. Dee pikir tidak begitu buruk untuk tinggal selama liburan Natal. Membayangkan dia akan mendominasi Kastil Perguruan seorang diri, tentu saja tanpa Yo, Dee tidak memperkirakan bahwa makhluk keriting itu turut serta. Namun, sepertinya cita – cita mulia itu harus sirna. Selama dua minggu ini dia cukup menerima derita menjadi  kacung  pribadi Dean dan bahan guyonan para koki didapur. Yo juga tidak membantu sama sekali. Keberadaan yo yang seperti cacing kepanasan semakin membuat suasana hati Dee mendung. Hari ini juga tidak jauh berbeda. Dee masih menjadi bulan – bulanan  Dean, seperti sekarang.
“Dee, adikku sayang. Kemarilah.” Dean  memanggil Dee dengan anggun, tentu saja dengan suara lembut yang dibuat – buat. Dee sebenarnya cukup tahu diri untuk kabur, namun sosok disamping Dean membuat dia mengurungkan niatnya. Seorang anak kecil, perempuan, dan mini sedang bercengkerama dengan Dean. Dee sengaja menyeret – nyeret kakinya, menambah kesan enggan. Mungkin saja si anak kecil akan menyelamatkan dia dari keisengan Dean kali ini.
“Siap lapor komandan. Perlu bantuan ?” Dee sengaja menggunakan pilihan kata tersebut, berharap Dean tersinggung. Namun ternyata si Komandan menikmatinya. Dean tertawa sumbang dan mengibaskan tangannya sok anggun. Oh yang benar saja, Dee ingin muntah sekarang. Dia serius. Baru saja Dee hendak menyatakan  niatnya untuk ke kamar kecil, si anak kecil buka suara,
“Siapa dia Dean?” suara anak ini seperti mencicit, pelan dan halus sekali. Dee hampir saja terpesona, namun dengan cepat mengusir pemikiran laknat tersebut.
“Siapa kau?” Dee bertanya balik, menatap si anak kecil dengan penuh selidik. Kesan lugu dan manis yang sedari tadi dilihat Dee menghilang. Si anak kecil menyipit tajam menatap Dee, mulutnya terkatup rapat, kilatan berbahaya terlihat dari sepasang mata mata hazel miliknya. Lebih parahnya,
“Kau tampak masih muda, putra salah satu koki? “ kata – kata nya sepedas pasta buatan Ms. Chilly, ‘dasar kecil – kecil cabai rawit’ begitu pikir Dee. Mungkin saja si tengik ini tidak sadar umur, dia tampak seperti murid Sekolah Dasar. Yeah, begitulah pemikiran Dee.
“Hey, Erm. Ini adik yang kuceritakan. Mirip sekali bukan denganmu?” Dean tiba – tiba memotong pembicaraan, sadar bahwa kedua adik kecilnya mengibarkan bendera perang.
“Mirip siapa?” Dee yang terlebih dahulu sadar dari trans nya.
“Aku tidak yakin. Dia Murid disini Dean?” Anak kecil yang bernama Erm tersebut buka suara, terlihat bingung. Ditatapnya Dee dari atas hingga kebawah. Oh tentu saja bukan ‘bawah’ yang di raba – raba si keriting Yo. Erm terlihat tidak yakin. Tidak nyaman dengan tatapan mengintimidasi akan dirinya, Dee pun mundur teratur, menciptakan jarak.
“Ehm. Tidak baik memelototi orang yang belum kau kenal anak kecil.” Protes Dee terganggu. Merasa di hina, Erm mendelik sengit.
“Kau tidak sadar bahwa kau juga kecil idiot?” membalas dengan tajam. Saling melirik penuh dengki. Dee dan Erm terlibat Agresi dadakan.
“Maaf  mengganggu perkenalan kalian. Tapi ini sudah jam makan siang.” Dean kembali melerai, sebelum terjadi perang. Kedua adik kecil Dean tidak menghiraukan. Hingga akhirnya kerumunan murid lapar bak zombie yang memisahkan perseteruan Erm dan Dee.
Erm yang pertama sekali berpaling, namun perempuan  itu langsung  melenggang pergi, melenyapkan kesan kalah dari laki - laki menyebalkan yang baru pertama kali dia temui. Dee berpaling kemudian, berbalik menuju kamar kecil, dia harus menuntaskan urusan dengan perutnya. Dee tidak main – main mengenai ingin muntah. Sarapan pagi ini yang notabenenya adalah makanan yang paling dibencinya, Chesee Burger , ditambah dengan sikap sok manis yang kelihatan sekali dibuat - buat, milik Dean, turut mengundang keinginannya untuk mengeluarkan isi perutnya. Dee cepat – cepat berjalan meninggalkan  Dean  dan  Erm,  kemudian  fokus menuju kamar kecil. Dean menatap bingung Adik lelakinya kemudian mengendikkan bahu. ‘Paling – paling Dee ingin buang air besar’ begitu pikir Dean.
“Ada apa dengan nya?” Erm sepertinya merasakan kebingungan Dean.
“Entahlah, PMS mungkin.” Menjawab asal.
“Dia laki – laki Dean.” Erm mendelik malas.
“Terserahlah. Ayo kedapur. Ini giliran kita membantu menyiapkan hidangan. Semakin banyak murid yang kembali ke Asrama. Ck, mereka memangnya tidak berlibur ? merepotkan.” Dean bersungut – sungut, tentu saja kedatangan murid – murid menambah pekerjaannya. Senior adalah percontohan, begitu kata Kepala Perguruan. Sehingga Dean dengan terpaksa harus berperan  menjadi murid teladan. Dean begitu dongkol, sehingga tidak menyadari Erm yang sedari tadi mencoba mengobrol dengannya.
“Dean ? kau dengar tidak ?” Erm sudah tiga kali mengulangi pertanyaan yang sama dan Dean masih bungkam. Lama lama perempuan mini itu kesal juga.
“Ha? Apa? Kau berkata sesuatu?” Dean tersadar dari lamunannya dan mengerjapkan mata bingung.
“Oh tidak, aku  bernyanyi.” Erm semakin kesal.
“Tentu saja aku berkata Dean, aku bertanya apakah si kerdil sombong itu murid disini?” mengulangi pertanyaan dengan geram.
“Disini apanya? Dimana?” beo Dean  berlagak bodoh.
“Perguruan ini Efthemia Deandra !” Erm berseru frustasi kearah seniornya itu. ‘untung sayang’ pikir Erm. Menambah kesabaran ekstra didalam rongga dada, Erm mengulangi pertanyaannya yang entah sudah  ke berapa kali dia lontarkan.
“Oh. Seharusnya kau bilang dari tadi dik.” Dean menyengir tanpa dosa.
“Dee di Asrama Accounting, sama seperti ku. Wajar kau tidak kenal, kalian masih tingkat satu. Semester depan barulah kalian akan digabung.” Tambah nya. Erm mengangguk mengerti dan kembali bertanya tentang ini – itu kepada Dean. Maklum saja tingkat keingintahuan Adiknya ini lumayan tinggi. Mereka berdua bercakap – cakap sepanjang perjalanan menuju dapur. Terlihat sangat akrab. Semua entitas yang melihat interaksi Dean dan Erm tersenyum maklum. Chemistry  mereka begitu kuat. Tetapi tidak untuk seorang saja. Matanya mengekori setiap gerak – gerik Dean dan Erm. Mengawasi dengan waspada. Perutnya yang masih mual dihiraukannya. Dia termakan api iri hati. Well, Dee memang cenderung ego. Jika di dunia ini ada kontes laki - laki paling ego sedunia, dia pasti masuk setidaknya perempatan final, sama halnya dengan perempatan yang sekarang muncul di dahinya, pertanda kesal.
“Bocah tengik itu menyebalkan.” Gerutu Dee. Sekalipun Dean itu kakak senior dengan keanehan paling wahid dan ke isengan paling membuat gulana, Dee tidak rela harus berbagi dengan Erm. Meskipun Erm itu anak perempuan. Tidak ada pengecualian untuk syndrom  ‘ingin menang sendiri’ milik Dee. Tetapi dia juga tidak rela hanya Dean yang akrab dengan si Kerdil –begitu julukan Dee untuk Erm- , enak saja. Dee juga mau diperhatikan dan diakrabkan, dengan kata lain Erm juga mengakrabkan diri dengan Dee bukan hanya dengan kakaknya Dean. Entahlah, tiba – tiba saja pemikiran ambigu ini muncul dikepala Dee. Mungkin ini karena egonya dan tingkat kepercayaan diri yang  terlampau diambang batas. Jika dalam kondisi normal mana sudi Dee mengemis perhatian anak kecil. Banyak sekali murid perempuan aduhay yang tinggi, ramping, dan enak dilihat diluar sana. Jika dibandingkan dengan  ukuran mini, tatapan tajam, dan mulut pedas, tentu saja Dee  lebih memilih yang pertama. Cukup lama bertahan dengan aksi spy nya, Dee pun mengendap – endap di antara tanaman Bonsai yang menghiasi pinggiran koridor menuju Dapur dan  ruang makan. Berkilah layaknya detektif profesional, Dee bergerak lincah ke kiri dan ke kanan, langkahnya dijinjit untuk menyamarkan suara, berharap keberadaannya bagaikan bayangan. Malang sungguh malang, imajinasi superhero yang dibayangkan Dee tidak sekeren kelihatannya. Yo yang  tidak sengaja melihat Dee dalam posisi bak Sherlock Holmes menekuk wajah, mengelus rahang yang mengeras, kelihatan berpikir ala jenius, mendengus geli. Yo lebih sepakat jika Dee sekarang lebih kelihatan seperti patung cupid di taman belakang Asrama dari pada Detektif profesional.
“Kau pikir ini syuting Film laga?” Dee terkaget – kaget karena bisikan tiba - tiba Yo ditelinganya, membuat beberapa orang mendelik terganggu ke arahnya, dan Yo tertawa keras melihatnya.
“Film laga pantatmu. Aku sedang dalam misi.” Selesai mengumpat, Dee kembali ke skenario kecilnya, bermain detektifan, padahal beberapa saat yang lalu dia terkaget sampai berteriak.
“Terserah deh. Aku tidak ikut – ikutan. Kau tidak makan siang?” mendengar kata ampuh bin ajaib tersebut, Dee perlahan lupa diri dengan misi dan berbinar senang.
“Benar juga. Aku lapar. Idemu sungguh jenius kawan.” Menggamit lengan Yo secara paksa, Dee menyeret rekan sekamarnya tersebut ke ruang makan. ‘cepat sekali dia berubah pikiran’ sungut Yo dalam hati. Langkah mantap, dada membusung, dan perut keroncongan. Dee memilih meja paling pojokan, dekat dengan dapur. Berjaga – jaga mana tahu jatah  makan siangnya kurang banyak, dia bisa mengendap – endap ke sumbernya langsung. Dapur tentu saja. Membayangkannya saja Dee sudah antusias. Jika tempat favorit Yo adalah kamar, dan Dean adalah Perpustakaan, maka Dee adalah  dapur. Bagi laki - laki kurang kalsium tersebut, dapur bagaikan Kuil Parthenon bagi Athena, Nektar bagi kupu – kupu, atau Ibu bagi Ayahnya. Tidak ada yang lebih menentramkan dari pada berdiam diri di dapur dan menikmati pesona aneka ragam dan warna makanan. Uh, membayangkannya saja Dee sampai berliur. Misi memata – matai seniornya Dean dan si kerdil Erm sirna sudah. Yo menatap horror rekan sekamarnya, tidak habis pikir berteman dengan makhluk mini hobi makan seperti Dee. Kegaduhan di ruangan itu semakin merajalela. Keributan di sana – sini memecah ketentraman Desember penuh berkah. Dee dan Yo masih bertahan dengan posisi masing - masing. Yo melipat – lipat bosan serbet Pinochio nya menjadi bentuk- bentuk abstrak, sedangkan Dee masih antusias memelototi pintu dapur,berharap kekasih sejatinya (baca : makanan) segera keluar. Dari kejauhan, rombongan murid laki – laki bergerak menuju pojokan Dee dan Yo menyamankan diri. Salah satu dari mereka berseru keras – keras,
“Hey. Yonathan. Bagaimana liburanmu ?” seorang murid yang berambut jabrik hitam legam, dengan kaos longgar dan celana penuh sobekan  menyapa Yo dengan penuh semangat.
“Apa yang kau kerjakan?” salah seorang lagi, berwajah lonjong dengan kumis tipis mengernyit melihat tingkah Yo.
“Tentu saja membosankan Jeremy, kau  tahu aku menghabiskan liburan di Asrama. Jangan disentuh  Rud.” Yo membalas sekedarnya pertanyaan laki - laki jabrik bernama Jeremy, dan melotot sebal ke arah  Rud, yang menanyakan serbetnya tadi.
“Apa ini ? Kau penggemar Pikokio?” laki – laki disamping Rud mulai mengacak – acak  karya Yo seraya  mencela.
“Pinochio David.” Anggota terakhir dari geng pesakitan yang baru datang itu mengoreksi ejaan David, seorang laki - laki paling normal dari tiga yang lainnya, bermata abu - abu dan berambut hitam. Yeah, normal, jika belum mengenalnya secara mendalam.
“Ayolah Nico. Hanya ejaan.” David memprotes tidak terima.
“Bisakah kalian diam? Aku semakin lapar.” Gerutu Dee yang akhirnya buka suara dari tadi.
“Sejak kapan kau berada disini Nico ?” Dee bingung melihat Nico yang duduk manis didepannya. Nico masih tampak tidak peduli dengan pertanyaan Dee, menyeruput teh di hadapannya, kemudian membuka buku yang dibawanya sedari tadi.
“Oi. Nico?” Dee masih bersikukuh, seperti biasa, ego nya kembali tidak terima ketika diabaikan.
“Sebaiknya kau berhenti Dee. Senior kita ini sepertinya sedang buruk hati.” Itu David yang bersuara.
“Hormon lelaki” tambah Jeremy.
“Serta harga diri yang terlampau tinggi” tutup Rud dengan yakin. Dee hanya mengendikkan bahu tidak peduli, namun dia masih penasaran mengapa Nico tiba – tiba berada dihadapannya, dan tiba – tiba saja kembali ke Asrama. Seingatnya Nico liburan ke Austria bersama keluarga.
“Brother kita ini sedang dilanda kesal tujuh turunan Dee.” Yo menjawab kalem,  sepertinya membaca isi hati Dee. Kembali menekuni aktivitas mempelototi pintu dapur, Dee mengabaikan suara berisik di sekitarnya. Namun, percakapan masih berlansung.
“Lama sekali sih makan siangnya.” Itu Jeremy yang menggerutu.
“Aku sudah lapar.” Rintih David dengan pilu. Di dalam hati Dee membenarkan keluhan teman – temannya.
“Hey itu Erm kan ?” Rud tiba – tiba bersemangat.
“Siapa? Siapa?” David penasaran.
“Jangan bilang kalian naksir sepupuku.” Nada Jeremy terlihat mengancam.
“Ha? Sejak kapan kau bersepupu dengan dia ?” Dee tidak bisa menahan rada penasarannya.
“Sejak Ibuku dan ibu nya memiliki nenek yang bersaudara Dee.” Jeremy menjawab dengan berlaga cerdas.
“Nenek siapa? Apanya yang bersaudara?” tanya  Yo bingung.
“Nenekku dan neneknya tentu saja” Jeremy kebali sok cerdas.
“Kenapa dengan nenek – nenek? Kau  naksir ya?” David bertanya sok polos, atau lebih tepatnya idiot.
“Tentu saja, dengan Nenek Erm” Jeremy tidak kalah idiot. Menyadari ke – absdurd- an percakapan mereka, Jeremy dan David memerah malu, sedangkan Rud, Yo dan Dee terpingkal – pingkal. Nico juga tidak tahan sehingga menghentikkan bacaannya. Mereka menikmati suasana humor akibat kebodohan Jeremy dan David. Tetapi hanya sesaat.
“Kenapa dengan  nenekku?” tidak ada yang tahu kapan tepatnya si empunya nenek datang. Erm menenteng sebaskom Gulai Kare yang asap nya masih mengepul, menggoda Dee untuk mencicipinya.
“Tidak ada sepupuku. Kami hanya berkelakar.” Jeremy beralasan. Erm masih menatap deretan laki - laki pembuat onar didepannya ini curiga. Matanya menyipit dan hidungnya mengendus tanda – tanda  dusta. Tetapi mode siaganya segera luntur menyadari keberadaan bocah mini berambut pirang disampingnya.
“Apa yang kau lakukan ?” Erm spontanitas terkaget.
“Ini  Kare ya ?” Dee bertanya polos seperti anak kecil melihat permen, kali ini sungguhan.
“Apa? Apa yang kau katakan?” Erm menatap laki - laki aneh dihadapannya heran.
“Sebaiknya kau jauhkan Kare itu darinya Erm, atau seisi Asrama batal makan siang.” Entah dari mana Dean datang, tidak diundang.
“Pergi sana !” Dean mengusir Dee bak mengusir kucing yang ketahuan mencuri ikan.
“Kau tetap kejam ya Rab.” Suara itu menghentikkan aksi pukul -centong nasi- ala Dean terhadap Dee. Dean berbalik, berhadapan langsung dengan sosok yang berani – beraninya memanggil nya dengan Rab. Abu – abu bertemu Cokelat. Serigala bertemu Vampire, “entahlah apa hubungan  keduanya’ pikir Dee, yang terpenting Dee menggambarkan eufora peperangan dasyat yang akan terjadi. Sepertinya teman – teman Dee yang lain juga cukup tahu diri untuk mundur teratur. Begitu pula dengan Erm, dia sangat hafal sejarang panjang kedua seniornya ini, tidak melibatkan diri adalah tindakan bijaksana.
“Hai. Selamat Natal.” Hanya kata itu yang keluar dari indra pengecap milik Nico, sedang Dean masih diam seribu bahasa. Sesaat hening. ‘Saat – saat mencekam’ begitu pikir Dee. Ego yang sangat tinggi, terpancar dari setiap pori – pori Dean. Dia masih diam, tidak menanggapi sapaan Nico. Setelah menatap dendam  kearah  si abu – abu tampan, dengan sepenuh hati, Dean melenggang pergi. Meletakkan baskom berisi nasi dan centongannya diatas meja serta mengkodekan  Erm untuk mengambil alih sisa tugasnya, Dean pun  menghilang bak ditelan bumi. Setelah punggung Dean benar – benar tidak terlihat lagi di ujung pintu keluar, barulah seluruh pernapasan di pojokan  itu berjalan kembali normal.
“Haaah... Kupikir aku akan mati sesak napas.” Jeremy yang pertama kali bersuara.
“Ada apa dengan kalian Nico?” Kali ini Rud menuntut penjelasan. Nico terdiam cukup lama, hingga akhirnya membereskan bukunya dan bergegas pergi.
“Well, ini urusan orang dewasa. Aku akan menyusulnya.” Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Nico mengejar kepergian Dean. Setelah menghilangnya kedua senior ditengah – tengah murid tingkat satu tersebut, mereka kembali berargumen seru, kentara sekali penasaran. Well, hubungan kedua senior mereka itu memang cukup naas. Tugas tambahan disana - sini, langganan kursi pesakitan Kepala Perguruan, acap kali dipanggil Komisi Kedisiplinan, hingga Detensi mengerikan.Dee bergidik ngeri. Bayangan Detensi gila – gilaan sebulan yang lalu yang menimpa Nico dan Dean menggerayangi otaknya. Semoga saja Detensi menjadi tukang kebun sepekan  tidak akan pernah dialaminya. Sibuk dengan pikiran seramnya, Dee melupakan perdebatan seru teman – teman nya.
“Nico sepertinya pulang ke Asrama secepat ini karena suatu alasan.” David mulai berargumen.
“Pasti berhubungan dengan Dean.” Jeremy kembali lagi dalam mode sok taunya.
“Tahu dari mana kalian? Jangan membual.” Erm mencoba untuk logis.
“Aku rasa asumsi tidak salah kok.” Dee menimpali, membela kedua sobatnya, membantah rival kerdilnya.
“Oh ya ? seperti kau tahu saja apa itu asumsi” Erm kembali mencela, menatap sinis.
“Kau judes sekali.” Dee mulai geram.
“Terimakasih kembali. Aku tahu aku manis.” Tidak mau kalah.
“Manis dengkulmu.” Mulai kasar.
“Kau kasar sekali. Tidak beretika.” Lebih kasar.
“ Oh, tentu saja nona penuh etika.” Mendelik sengit. Keduanya terjebak dalam dimensi tatap – menatap yang mengerikan, sampai Yo melerai dengan perlahan,
“Ehm, kita sudah lari dari topik kawan – kawan” Yo menengahi.
“Memangnya apa topik kita ?” Rud kebingungan.
“Nico dan Dean bodoh.” Erm yang menjawab, terlihat gusar. Baru saja Dee akan membantah seru,  
“Jangan dibalas Dee.” Yo memperingatkan Dee dengan bisikan, tidak sampai terdengar yang lainnya. Hening sejenak. Suara sendok dan garpu saling mendominasi.
“Mungkhhin, therjhadi seshuatu di aussthria...” David kembali berargumen dengan mulut penuh terasi super pedas.
“Pelan – pelan David Goodvield. Makananmu menyembur kemana – mana” Yo terlihat jengkel. David memerah dengan cepat, satu  tangannya melambai - lambai meminta bantuan, sedangkan satunya lagi mengurut urat lehernya yang mengejang.
“Kau kenapa Dav? Sesak pipis?” Dee mulai terganggu dengan aksi kejang – kejang  David.
“Dia kepedasan kerdil.” Erm menghardik Dee dan menuangkan air mineral ke gelas milik David. Teguk, teguk, teguk. David menghabiskan hampir seteko air mineral.
“Lihat lah yang berbicara. Tidak  sadar kah bahwa kau kerdil bocah.” Dee mendelik sengit Erm yang masih menepuk – nepuk pundak David, membantu proses pemadaman kebakaran di dalam tubuh David.
“Kerdil berisik. Cih.” Dee kembali menyulut emosi Erm, namun perempuan itu sibuk mengurus David, yang tiba – tiba jadi pasien dadakan. Dee mendelik kesal ke arah duo dokter dan pasien dadakan dihadapannya. Terlihat sekali tidak suka akan interaksi Erm dan David. Namun Dee buru - buru mengalihkan pembicaraan, takut Yo, yang paling dekat posisinya dengan dia mengenali ekspresi terlarang yang ditunjukkan Dee.
“Apa yang coba dikatakan David  tadi memangnya ?” Dee meluncurkan pengalihan perhatian.
“Dia bilang ada sesuatu yang terjadi diantara Nico dan Dean.” Rud mengulangi argumen David.
“Aha ! kenapa tidak terpikir olehku.” Jeremy tampak antusias, dia sampai bangkit dari kursinya.
“Kau kenapa?” Dee menatap heran.
“Kalian tidak ingat ? Dean baru pulang dari Austria kan ?” timpal Jeremy bersemangat.
“Oh, aku mengerti. Astaga mungkin saja.” Yo juga kelihatan bersemangat, entahlah karena dia memang mengerti atau pura- pura mengerti. Dee masih bingung dengan pembicaraan yang berlangsung, otaknya tiba – tiba macet.
“Tidak ada yang terjadi. Kalian sok tau sekali.” Kali ini Erm buka suara, setelah menyelesaikan urusannya dengan pasien dadakannya.
“Sudah selesai bermain dokter – dokteran  kerdil?” Dee tidak menguasai lagi dirinya. Entah mengapa setiap kali Erm berbicara dia kesal sendiri. Erm kembali tidak menanggapi, acuh tak acuh. Begitulah makan siang terakhir ditengah salju di liburan perdana mereka, tentu saja para murid. Tahun ajaran baru beberapa hari lagi.
.
.
.
Dee berjalan menyusuri koridor Sekolahnya dengan bersungut – sungut dan menghentak – hentakkan kaki. bulan pertama tahun keduanya, dia harus kena detensi, yang benar saja. Mendongkol dengan sepenuh hati, Dee mengutuk – ngutuk kepala Asramanya, Mr. Horrington. Tempat tidur yang ambruk bukan salahnya. Salahkan saja Yo yang tidur sambil karate setiap malam. Sialnya, tempat tidur itu menemui ajalnya ditangan Dee, disaat dia sedang tertidur pulas diatasnya. Mengenaskan nasib Dee memang. Dee semakin kesal mengingat Yo sama sekali tidak membantunya untuk berdalih kepada Kepala Asrama. Alasan si keriting itu Cuma ’aku masih sayang nyawa kawan’ Dee mempraktekkan dalam hati. Memangnya apa yang perlu ditakutkan dari Mr. Horrington. Selain dari pada rambut botak, tatapan  tajam, bermulut pedas, dan wajah sangar, oke yang  terakhir itu memang seram, tidak ada hal lain yang membuat Mr. Horrington masuk kedalam nominasi guru paling killer di Perguruan. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur, Dee tetap kena hukum. Memantapkan hati menuju lemari sapu, Dee melantunkan sumpah serapah kepada Mr. Horrington. Sesampainya di lemari sapu, secepatnya Dee meraih peralatan kebersihan yang diperlukannya dan melesat menuju Ruang makan. Detensi yang cukup ringan sebenarnya, namun mengingat Dee dan segala ego nya, segala jenis detensi tetap merepotkan baginya. Diraihnya gagang pintu dengan malas, memasuki ruang makan dengan malas kuadrat. Didalam ruang makan seorang perempuan berambut pendek, bermata hazel, dan kerdil sedang membersihkan remah – remah sisa makan malam dalam diam. Perempuan itu sibuk berkutat dengan kemocengnya. Dee mengenali sosok itu, sangat kenal malah. Hampir seminggu ini Dee selalu langganan adu mulut dengan perempuan itu, dan ditambah  langganan omelan panjang Prof. Augur setiap dua minggu sekali. Dee tidak habis pikir tahun ajaran baru ini sungguh menyiksa. Jauh sekali dari bayangan Dee. Seharusnya tingkat dua itu menyenangkan. Bertemu teman baru, suasana kelas yang baru, guru – guru yang baru, dan cerita kehidupan yang baru. Namun dewa keberuntungan sedang dengki juga kelihatannya dengan Dee. Dia harus bertemu Asrama Economy setiap dua kali seminggu, dengan kata lain bertemu perempuan ini dua kali  seminggu, parahnya bertemu guru paling dibencinya sepanjang masa, Prof. Augur, juga dua kali seminggu. Perempuan itu masih belum menyadari keberadaannya.
“Ehm, Sedang apa kau disini?” Dee berdehem singkat. Perempuan itu, Erm, menoleh singkat. Mata Hazel nya melebar terkejut nyaris melemparkan kumpulan bulu kemoceng digenggamannya, namun hanya sedetik, tidak cukup lama untuk membuat murid laki – laki sekelas Dee peka.
“Aku sedang bosan berkelahi. Detensi sudah cukup melelahkan, jangan kau tambah lagi.” Erm menjawab malas – malasan, dan terus melanjutkan aksi kebersihannya.
“Apa kesalahanmu?” Dee tetap bersikeras membuka topik.
“Bukan  urusanmu.” Ketus.
“Kalau  aku  merusak perabotan.” Dee nyengir lebar, sok pamer, entah apa yang dipamerkan dari kebodohannya.
“Siapa peduli.” Erm kembali menjawab asal.
“Coba kutebak. Kau merusak tempat tidur kan?” asal menebak. Erm berhenti bekerja, mata melotot tajam kearah Dee.
“Kau ! Darimana kau tahu?” Erm mulai gusar.
“Ha? Aku menebak asal.” Dee tampak kaget. ‘kok sama sihpikir Dee bingung.
“Kau menguntitku ya ?” Erm menuduh membabi buta, tampak murka.
“Enak saja. Aku menebak. Aku juga dihukum karena merusak tempat tidur.” Dee menjawab jujur. Erma tampak kaget, namun sejurus kemudian mendelik sengit kearah  Dee
“Dasar pembual. Baru saja kau katakan kesalahanmu merusak perabotan.” sangat kesal.
“Hey  kerdil, Aku bukan pembual. Itu yang sebenarnya. Lagi pula tempat tidur kan perabotan” Dee mulai kesal juga lama – kelamaan. Erm menatap tajam tepat di manik Hitam milik Dee, mencoba mencari sirat dusta. Namun, nihil, Erm hanya melihat kejujuran. Benci dengan kekalahan, Erm pun bungkam dan berusaha keras mengabaikan Dee.
“Kok diam? Tadi seperti kerasukan setan, marah - marah.” Dee bertanya sok lugu.
“Bukan urusanmu.” Menjawab ketus.
“Kau sedang PMS ya ?” Dee kembali menggoda Erm.
“Laki laki idiot.” Erm bergumam tak jelas.
“Kau bilang apa?” Dee mencoba menajamkan pendengaran.
“Kubilang bukan urusanmu” Erm lagi – lagi kesal setengah mati. Bosan menggangu, Dee pun melanjutkan aktifitas menyapu yang ditundanya. Sesekali diliriknya Erm yang begitu serius berkutat dengan meja – meja. Tidak tahan dengan keheningan yang tercipta, Dee kembali meneruskan aksi mengganggu Erm.
“Hey. Kenapa ya Kesalahan kita bisa mirip?” bertanya sok polos. Erm masih diam, malas menanggapi.
“Padahal kita dari Asrama yang bersebrangan, masa sih tempat tidur kita yang janjian?” Dee masih berusaha. Erm mulai gatal untuk menggetok kepala Dee dengan kemoceng, tetapi diuurungkannya niatnya dan kembali diam.
“Atau kita yang  janjian? Ah, tidak mungkin. Kau kan selalu sewot denganku.” Dee kembali berusaha. Erm hampir saja melanggar niatnya untuk mengiraukan Dee, namun disabarkan nya kembali hatinya. ‘aku berlapang dada’ ulang Erm dalam hati, menyemangati diri.
“Oh, aku tahu. Jangan – jangan kita jodoh ya?” Dee mengakhiri dengan puas. Sejenak, tiba – tiba ruangan itu tenang, tanpa kegaduhan. Sedetik kemudian, ruangan makan itu seperti sedang pawai besar – besaran. Kemoceng beradu dengan sapu, debu bertebaran dimana - mana, meja dan kursi saling tabrak – menabrak, serta Dee dan Erm yang berakhir kejar – kejaran. Ah, sepertinya Dee harus menarik lagi kata – katanya perihal Nasib nya hari ini yang sial. Buktinya dia terhibur. Adu kecepatan dengan Erm lebih baik dari pada adu mulut. Hitung – hitung olahraga malam. Lagipula dikejar – kejar perempuan cantik, imut, dan menggemaskan boleh juga. Sepertinya Dee harus menarik kata – katanya tempo hari tentang Erm yang kerdil, bermata tajam, dan bermulut pedas. Yeah, sepertinya Dee mulai tertarik dengan ‘Mini Erm’. Besok – besok dia harus ingat menambahkan Erm ke agenda ‘daftar miliknya’, setidaknya Ego Dee berguna untuk menggaet calon  pacar. Untung – untung tidak ada lagi laki – laki yang mau dekat – dekat dengan Erm karena ego Dee dan sikap posesif menyebalkannya. Membayangkan ide jeniusnya, Dee menyeringai puas.
.
.
.
“Mau apa lagi kau ?” Erm menatap makhluk di depannya antipati.
“Mau susu cokelat?” mencoba beramah tamah.
“Enyahlah Bocah Templar !” Masih mencoba mengusir.
“Hey. Kau tidak boleh memanggilku dengan nama itu. “ tegur Dee.
“Memangnya kenapa?” mengernyit bingung.
“Nama punya kekuatan tahu. Ibuku bilang begitu.” Ujar Dee bangga.
“Hubungannya?” makin tidak mengerti.
“Errr... pokoknya, mau susu cokelat tidak?” menawarkan kembali.
“Menghilanglah segera atau kusentrum kau kerdil.” Mulai mengancam.
“Hey, hey. Kau juga kerdil.” Protes, tidak terima.
“Sudah, sudah. Cut ! Kalian berdua harusnya saling akrab. Seperti teman lama yang bertemu kembali, namun masih memiliki perasaan sakit hati karena ditinggalkan. Lagipula dialog macam apa itu? Kerdil ? Yang benar saja !” Prof. Arinda marah – marah kepada dua sejoli di hadapannya. Merasa tidak terima naskah teaternya di arensemen, terlebih lagi ‘arensemen ditempat’.
“Sudah kubilang kan Professor. Aku bukan pemeran yang cocok memerankan Perempuan manis penyuka cokelat.” Protes Erm sengit.
“Hanya kau dan postur minimu yang  memenuhi sarat pemeran  ini Ms. Ermynda Rinn.” Desis Prof. Arinda berbahaya. Beberapa murid yang menonton perdebatan kecil itu bergidik ngeri. Salah satu Proffesor tergalak dan salah  satu  murid pembangkang adu mulut. Dee bisa membayangkan betapa mengerikannya. Dia juga merasa terlupakan sedari tadi. Guru dan rekannya itu sibuk menatap saling benci dan berbagi delikan . Dee tidak ingin ikut - ikut. Dai masih sayang nyawa.
“Seharusnya kau mencontoh  Mr. Dean  Frelton. Dia memainkan  peran  dengan baik.” Pamer Prof.  Arinda sinis. Oh tidak, Dee merasakan bahaya mendekat. Erm perlahan mendelik kearahnya dan menatapnya tajam, seolah berkata ‘ini salahmu’ .  Menelan ludah kasar, Dee pun mencoba melerai.
“Eumm... Professor, bagaimana kalau kita ulang sekali lagi adegannya?” Dee mencoba bernegosiasi.
“Astaga! Aku hanya tidak tega padamu Mr. Frelton, Mr Rinn hanya akan  mengulangi kesalahan yang sama.” Prof. Arinda mendengus keras, terlihat meremehkan.
Seluruh penghuni kelas menatap Erm penuh iba sekaligus kagum. Erm bisa memberontak sekaligus menebar feromon kebencian kepada seluruh kelas terhadap guru seni mereka yang satu itu. Erm mulai bergerak gelisah, telinganya memerah pertanda marah, hidungnya berkedut, dan seolah – olah asap mengepul diatas kepalanya. Lama terdiam dengan posisi seperti itu, Erm akhirnya angkat muka, menatap dengan berani Prof. Arinda, tersenyum miring, lalu mengambil tasnya yang disampirkan di pojok ruangan. Diraihnya tasnya, berjalan anggun menuju  pintu keluar, lalu berhenti. Erm berbalik arah, menatap gurunya tepat di mata.
“Aku berhenti dari kelas bedebah ini. Sampai jumpa Professor. Mungkin anda bisa menjadi pemeran   utama perempuan dalam  naskah anda. Kalian terlihat serasi.” Erm mencela dengan pedas lalu menujuk – nunjuk gurunya kemudian menunjuk lawan mainnya.
“Kau...kau kurang ajar. Ms. Rinn ! Kau akan mendapatkan detensi dariku!” ancam Prof. Arinda.
Erm tidak menghiraukan ancaman gurunya. Peduli amat dengan detensi. Harga dirinya lebih berarti.
Dee menatap kepergian Erm dengan ngeri. ‘berani amat dia’ pikir Dee. Seumur – umur Dee belum pernah melawan guru, kalau melawan orang tua lumayan sering. Dalam hati dia kagum dengan kebeanian Erm, Namun di sisi lain dia juga takut akan respon Erm tadi. ‘pasti dia cemburu’ tebak Dee di dalam hati. Menyusahkan memang memiliki kekasih yang tingkat kecemburuannya setara Kilimanjaro (Baca : Gunung Berapi Tertinggi di Afrika). Okay, itu perumpamaan yang aneh. Tetapi tetap saja, Dee ketiban  sial. Harus bersabar mengadapi Prof. Arinda yang sentimentil, hey, nilai ujiannya dipertaruhkan, hanya di mata pelajaran ini dia ahli. Well, lebih tepatnya ahli menjilat Prof. Arinda. Belum lagi harus membujuk dan  meminta maaf kepada Erm. Sepertinya dia harus menerima nasib buruk di tahun ini. Ibunya benar, nama punya kekuatan. Termasuk kekuatan untuk menularkan kesialan. Tetapi, Dee juga harus bersyukur, cerita cintanya tidak serumit dan seaneh kakak seniornya, Dean.
Yeah, dia masih punya Erm.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SUDAHKAH GMKI MENJADI SEKOLAH PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN NILAI – NILAI GMKI ?

REFLEKSI DIRI : PAHLAWAN SAMAR DALAM MEMORIAL

Perkenalan Edisi I